38°C
23 April 2024
Kampus

Antara Skill dan IPK, Sarjana Siap di Dunia Kerja

  • Juni 10, 2012
  • 12 min read
  • 30 Views
Antara Skill dan IPK, Sarjana Siap di Dunia Kerja

Antara Skill dan IPK,
Sarjana Siap di Dunia Kerja

Laporan: Ridho, Marya, Nurul, Feri, Imam

Kelulusan dari perguruan tinggi banyak yang beranggapan menjamin akan langsung terpakai. Namun pada realitanya di lapangan kata-kata tersebut 100 persen tidak semua benar. Hal itu diindikasi karena kesiapan dari lulusan perguruan tinggi yang tidak semuanya memiliki kesiapan matang baik itu dari segi kemampuan dan keterampilannya untuk bersaing di dunia kerja. Seperti data yang Kronika dapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) kota Metro tercatat terakhir tahun 2010 masih ratusan output perguruan tinggi yang sibuk mencari pekerjaan. Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi mahasiswa sebelum tamat dan menyematkan gelar diploma atau sarjana.
Data yang tercatat di BPS kota Metro tersebut dari kalangan lulusan diploma I dan II sedikitnya ada 26 pencari kerja. Sementara untuk lulusan diploma III sebanyak 207 orang. Terakhi dari lulusan sarjana strata 1 (S1) ada 260 yang sedang berusaha mencari pekerjaan. Sehingga jika dikalkulasikan jumlah keseluruhan pencari kerja dari kalangan lulusan perguruan tinggi mecapai 493 orang. Data tersebut adalah yang tercatat di Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan (Dinsosnaker) kota Metro yang didapat dari laporan pencari kerja. Hal tersebut juga belum termasuk pencari kerja yang tidak melapor ke dinas terkait. Sehingga kemungkinan angka pencari kerja lebih dari jumlah tersebut. Sementara untuk tahun 2011 ke atas pihak BPS belum memiliki datanya.
Kepala Badan Pusat Statistik kota Metro Paulus Santosa mengatakan setiap lulusan ada tingkat pendidikan yang setiap orang memiliki keinginan dan cita-cita berbeda-beda. Untuk kota Metro sendiri menurutnya dalam kondisi pendidikan dari segi fasilitas sudah baik. Hal itu juga dikatakannya karena pihak pemerintah daerah sudah melaksanakan program-program untuk mendukung pendidikan yang juga visi kota Metro sebagai kota pendidikan.
Menurut Paulus terkait angka pengagguran dan pencari kerja dari kalangan pendidikan tinggi perlu adanya penelitian lebih lanjut. Selain itu perlu adanya survey untuk mengetahui lebih dalam lagi persentasi lulusan perguruan tinggi untuk bisa terserap di bursa kerja.Dari studi kasus yang ada di perguruan tinggi menurutnya dapat dilakukan dari pihak perguruan tinggi untuk menyiapkan lulusan yang siap berdaya saing. Selanjutnya mengenai lulusan yang tidak terserap di bursa kerja ada juga yang tidak terpantau secara khusus melalui BPS. “Masalah tersebut sebenarnya bisa dilakukan perguruan tinggi sendiri, yang selanjutnya dapat dikonsultasikan ke BPS,” kata Paulus yang sudah menjabat sejak 2011 lalu.
Diungkapkan Paulus, masalah ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa lulusan perguruan tinggi banyak yang tidak siap. Hal itu menurutnya perlu adanya program-program yang dibuat pihak perguruan tinggi agar mahasiswa saat duduk di bangku kuliah benar-benar memiliki kemampuan. “Adanya program yang dilakukan juga, harus sesuai dengan jurusan setiap mahasiswa,” katanya. Masih menurutnya, pihak perguruan tinggi untuk mampu meningkatkan kualitas dosen pengajar agar mahasiswa mendapat pengajaran yang sesuai dan lebih bermutu. Selain itu, lanjutnya, untuk meningkatkan daya kemampuan dalam mempersiapkan lulusan perguruan tinggi tidak terlepas dari dukungan orang tua yang selayaknya untuk terus mengarahkan anaknya. “Tapi kebanyakan mahasiswa yang penting IPK (indeks prestasi komulatif, red) tinggi, asalkan lulus,” ujar Paulus.
Solusi yang ditawarkan Paulus dalam menindak lanjuti hal ini pihak perguruan tinggi juga harus mampu melihat dunia perkembangan ekonomi dan sosial. Menurutnya jika hal itu tidak dilakukan dari tahun ke tahun perguruan tinggi akan terasa pasif. “Perguruan tinggi harus mampu membuat program-program inovatif yang mengarahkan pada satu sektor,” ucanya. Ditambahkannya, perguruan tinggi diupayakan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga penyalur tenaga kerja yang berhubungan.
Paulus juga menuturkan bahwa saat berada di dunia kerja antara skill dan IPK dikatakannya lebih utama skill. Hal itu dikatakan karena nilai IPK dapat diperoleh dengan sistem kebut semalam dan nilai tidak menentukan kemampuan mahasiswa. Menurutnya juga skill mampu didapat bukan hanya dari bangku kuliah saja, tetapi dengan mengikuti organisasi dan mengabdi kepada masyarakat mampu menambah kemampuan seseorang. “Di sini perlunya menanamkan kepada mahasiswa tidak hanya mengejar pegawai atau PNS, tetapi bisa juga menjadi interpreneur atau wirausaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan,” katanya.
Dari pengamatannya, Paulus mengatakan bahwa banyak lulusan sarjana yang menjadi pengagguran karena latar belakang tidak ada kesiapan dari individu walaupun IPK tinggi. “IPK tinggi tapi banyak yang menjadi pengangguran. IPK tinggi tapi harus sesuai dengan talenta atau bakatnya. Ada juga teman bapak saat kuliah mengambil jurusan perternakan kerjanya di bank,” tutur Paulus.
Begitu juga dikatakan Rosita selaku Kepala Bidang Tenaga Kerja Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan (Dinsosnaker) kota Metro. Menurutnya lulusan dari kalangan perguruan tinggi yang telah menamatkan gelar sarjana sebagian besar klasifikasi pekerjaan yang dicari sesuai dengan pendidikannya. Dikatakan Rosita juga, untuk lingkup kota Metro sendiri tidak ada perusahaan besar yang juga mayoritas lulusan sarjana mengincar menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sehingga, hal tersebut menurutnya menjadi dampak masih banyaknya jumlah pencari kerja (pengangguran) dari kalangan sarjana.
Seharusnya, kata Rosita, seorang lulusan perguruan tinggi tidak mengandalkan dari pekerjaan yang dibuat orang lain, namun bagaimana caranya dapat berwirausaha sehingga membuka lapangan pekerjaan. “Klasifikasi yang mereka cari tidak seimbang, pasti lulusan sarjana mencari pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikan. Kalau ada pekerjaan yang kasar pasti malas, padahal kalau sudah berwirausaha baik itu industri rumah tangga akan mampu menjadi pekerjaan yang menghasilkan,” tuturnya.
Menurut Rosita dari lembaga pendidikan juga ikut berperan aktif untuk memberdayakan lulusan yang siap di tempatkan di bursa kerja. Menurutnya hal itu dapat dilakukan dengan membekali ilmu kewirausahaan kepada mahasiswa saat duduk di bangku kuliah. Sehingga, lanjutnya, untuk mengantisipasi saat lapangan pekerjaan tidak mencukupi menampung semua lulusan.
Dari keterangannya, secara umumnya dalam menekan angka pengagguran pihak Dinsosnaker sendiri telah mengadakan berbagai program padat karya yang dananya dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Program tersebut antara lain seperti infrastruktur dan produktif. Selain itu juga dilaksanakan pelatihan kewirausahaan dan mencari informasi di dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga, tambah Rosita, Dinsosnaker sendiri memiliki informasi terkait lowongan pekerjaan dari lokal maupun luar daerah dan luar negeri. “Jadi bagi yang sedang mencari pekerjaan, bisa cari info di Dinas Tenaga Kerja karena di sini ada informasi tentang lowongan pekerjaan. Setiap tahunnya pasti ada. Tapi selama ini di masyarakat belum familier, selain info lowongan juga ada informasi tata cara bekerja di luar negeri,” tutur Rosita.
Rosita juga berharap dari pihak perguruan tinggi ikut andil dalam mempersiapkan lulusan perguruan tinggi yang siap di dunia kerja. Hal itu menurutnya dapat dilakukan juga dengan memiliki bursa kerja sehingga lulusannya dapat langsung di tempatkan. “Harapannya ada hubungan kerjasama, dengan berusaha menempatkan alumni ke bursa kerja. Jadi, bukan tugas Dinas Tenaga Kerja saja, tapi perguruan tinggi harus memiliki fungsi juga,” ujarnya. Diungkapkannya juga, selama ini dari pihak perguruan tinggi belum pernah memberikan data lulusan perguruan tinggi ke Dinsosnaker. Sehingga menurutnya hal tersebut menjadi sebuah kendala pihak Dinsosnaker untuk mendata lulusan perguruan tinggi agar valid dalam klasifikasi lulusan yang sudah bekerja maupun yang masih pengangguran.
Terakhir Rosita berpesan kepada mahasiswa untuk bekal harus memiliki semangat berwirausaha. Karena dikatakannya, negara Jepang maju dengan wirausaha yang tidak bergantung pada pekerjaan orang lain, tapi berpikir bagaimana untuk membuka lapangan pekerjaan. “Dari pada wira-wiri mencari pekerjaan, mendingan berwirausaha. Karena wirausaha penting sekali untuk mejadi pekerjaan,” katanya. Namun Rosita juga menuturkan bahwa antara skill dan IPK sama-sama penting. Hal tersebut dikatakan karena IPK sebagai standar mengikuti test, sedangkan skill sebagai keahlian yang menjadi nilai lebih.
Dari penuturan Pembantu ketua IV, Khusnul Fatarib yang mengurusi bidang hubungan masyarakat (Humas) mengenai output perguruan tinggi yang siap pakai adalah yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan mampu menyesuaikan diri di lingkungan tempat dia berada. Sementara untuk lulusan STAIN Metro sendiri yang siap berdaya saing di dunia kerja dari pandangannya, belum melihat secara detail. Menurutnya tujuan utama kuliah bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi untuk mengembangkan pola pikir (mindset) dan menata hati yang dapat bermanfaat untuk dirinya dan orang disekitarnya.
“Mengenai lulusan STAIN siap atau tidaknya bersaing di dunia kerja dari penglihatan saya belum bisa melihat secara detail mampu atau tidak. Sebagian besar alumni STAIN sudah bekerja, meskipun ada pula yang tidak sesuai dengan jurusan yang mereka ambil. Namun sebenarnya, tujuan utama kuliah atau belajar itu bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan, mengejar PNS atau ajang bergengsi karena teman atau tetangga sebelah rumah kuliah. Tetapi tujuan utama belajar adalah untuk mengembangkan pola pikir/mind set dan menata hati, yang bisa bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, orang terdekat dan masyarakat umum. Karena sesungguhnya semua ilmu itu bermuara pada satu tujuan, yaitu kepada Allah,” tutur Khusnul
Menurut Khusnul, di dunia kerja memiliki skill merupakan suatu hal yang lebih utama dipertimbangkan dari pada IPK yang tinggi. Hal tersebut dikatakan karena masyarakat lebih membutuhkan output (lulusan) yang berkemampuan dan mau bekerja. “Skill yang membantu dia beradaptasi, kesopan santunan dari seorang mahasiswa juga dapat menjadi pertimbangan pihak lembaga yang akan merekrut para lulusan untuk bekerja,” ujarnya.
Dijelaskan Puket IV ini, dari pihak STAIN Metro sudah banyak hal yang dilakukan untuk mempersiapkan output yang mampu berdaya saing. Hal tersebut di antaranya merevisi kurikulum, memperketat penerimaan mahasiswa baru (PMB), penguatan program studi dengan membuat program perkuliahan yang sesuai dengan konsentrasinya dan lebih di fokuskan prodi yang diambil oleh mahasiswa. Masih dikatakan Khusnul, upaya lainnya dengan dilakukan pengembangan jaringan dari pihak lembaga dan membangun image lembaga untuk citra almamater. “Karena biasanya perekrutan pekerja baru dilihat dari lulusan mana mereka,” ucapnya.
Sementara dalam kerja sama keluar antara lembaga STAIN Metro dan lembaga yang lain untuk menempatkan lulusan dikatakan Khusnul sementara ini belum ada. Namun, lanjutnya, sudah banyak mahasiswa maupun alumni STAIN Metro yang dapat membangun lapangan kerja sendiri dan mampu bekerja di dunia kerja. “Para lembaga luar yang akan mengadakan kerjasama untuk penempatan itu,” kata Khusnul.
Sama halnya dengan itu, Pembantu ketua I Mukhtar Hadi menuturkan bahwa perguruan tinggi STAIN Metro sudah mampu bersaing dan siap pakai di dunia kerja. Karena hal itu dikatakan dengan alasan lulusan STAIN Metro secara keilmuan tidak kalah dengan perguruan tinggi lainnya. Selain itu juga menurutnya, STAIN Metro memiliki kelebihan pada aspek spiritual dan berharap berkualitas secara akademik, skill dan keterampilan.
“Logikanya seperti ini perguruan kita secara keilmuan dapat bersaing dengan perguruan tinggi lain dan kelebihan perguruan tinggi kita pada aspek spiritualnya itu, dan kita berharap lulusan kita cepat terserab sehingga tidak teralalu lama nganggur setelah lulus,” tutur Mukhtar.
Masih dikatakan Mukhtar, dalam mempersiapkan lulusan yang mampu bersaing antara skill dan IPK sama penting. Hal itu dikatakan dengan dasar bahwa kemampuan pertama mahasiswa dilihat dari aspek nilai atau pencapaian akademisnya yang tergambar di indeks prestasi. Namun menurutnya dengan mengedepankan IPK saja belum cukup yang harus diikuti skill dan keterampilan yang memadai. “Dua-duanya penting, kemampuan pertama mahasiswa itu dilihat dari nilai atau pencapaian akademisnya. Dan pencapaian akademis itu kan tergambar dari indek prestasi. Tapi IPK saja tidak cukup harus diikuti dengan skill, keterampilan, kemampuan yang memadai. Di dunia kerja yang namanya sarat formal biasanya juga selalu dijadikan syarat utama dan diringi dengan tes-tes lainnya yang berhubungan dengan skill. Sesengguhnya karena IP besar belum tentu juga bisa bersaing, dan dua-duanya juga penting secara formal dan belum tentu juga orang yang IP nya kecil tidak punya kemampuan,” katanya menjelaskan.
Terkait langkahnya dalam mempersiapkan lulusan yang berdaya saing, pembantu ketua I ini mengungkapkan bahwa STAIN Metro sendiri secara berkesinambungan akan berusaha memperbaiki proses baik itu dari segi akademik, pembelajaran, administrasi dan sarana prasarana fasilitasnya untuk ditingkatkan.
Sementara untuk ke depannya dalam persiapan mencapai lulusan yang berkualitas dijelaskan Mukhtar Hadi pihak lembaga setiap tahun sudah mengupayakan meningkatkan kualitas dari kalangan tenaga pengajar/dosen untuk menempuh minimal pendidikan Strata 2 (S2). Selain itu juga, dosen yang sudah menyematkan strata 3 didorong untuk menjadi guru besar. “Khusus untuk dosen itu sendiri sudah setiap tahun kita sudah dorong dari S1 ke S2, tahun ini semua dosen sudah S2 lah. Kemudian yang sudah S3 kita dorong untuk menjadi guru besar dan di bidang itu juga kemudian akan kita fasilitasi yang memiliki tulisan-tulisan bagus akan kita bantu. Di kalangan mahasiswa juga demikian dan UKM juga bisa ikut andil sebagai wadah pengembangan kreatifitas mahasiswa di bidangnya masing-masing. Dan UKM itu kita berharap juga menjadi ajang sosialisasi STAIN, serta memupuk bakat akademik mahasiswa,” paparnya.
Terakhir Mukhtar berharap kepada mahasiswa yang masih mengemban ilmu untuk dapat lulus tepat pada waktunya. Selain itu pihaknya akan merevisi kurikulum sehingga mahasiswa dapat lulus pada jangka waktu 3 tahun 6 bulan. Karena selama ini program ditempuh dengan waktu 4 tahun. “Menurut program kita kan 4 tahun atau 8 semester. Dan memang kurikulum kita masih agak sukar dan belum bisa menjadikan mahasiswa lulus tepat pada waktunya. Nanti kurikulumnya akan kita revisi, kita akan rubah sehingga memungkinkan mahasiswa dapat lulus tiga tahun setengah. Karena ini sistem berkaitan dengan output,” ujarnya.
Khusnul Fatarib juga berpesan kepada mahasiswa untuk menata niat belajar yang sesungguhnya agar menjadi lebih baik lagi dan yang perlu diingat semua ilmu yang diperoleh tujuannya hanya satu yaitu mencari ridho Allah Swt.
Kronika pun mewawancarai salah satu sarjana lulusan STAIN Metro tahun 2012. Deni Angga Saputra yang merupakan Sarjana Pendidikan Islam dari program studi Pendidikan Bahasa Inggris menuturkan bahwa dirinya setelah lulus dari perguruan tinggi membuat usaha perikanan di daerah asalnya Purbolinggo Lampung Timur. Hal tersebut dilakoninya sebagai kegiatan berwirausaha karena untuk mengisi kesibukan menunggu untuk melanjutkan studi.
Deni mengatakan bahwa dirinya memang ada kemauan untuk mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Tapi menurutnya dari pekerjaan menjadi PNS suatu saat nanti bukan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan. Hal tersebut dikatakan karena lebih mengutamakan untuk berwirausaha untuk kemandirian dan tidak bergantung pada suatu instansi. Melainkan dapat membuka lapangan pekerjaan sendiri. “Ada planning dua tahun ke depan ingin membuka bisnis percetakaan dan photo copy,” katanya.
Saat ini Deni juga sibuk menjabat sebagai sekretaris eksekutif Lembaga amal, zakat, infak dan sodakoh (Lazis) kota Metro. Mengenai pengalaman dari pentingnya antara skill dan IPK Deni menuturkan bahwa IPK merupakan salah satu hal penting sebagai standar. Tapi menurutnya, IPK hanya sebuah angka yang tak bernilai. Hal itu dikatakan karena IPK tidak menjamin kemampuan seseorang dan segala sesuatu tidak dinilai dari angka.
Selanjutnya mengenai skill merupakan hal penting yang harus dibangun dan diperoleh. “Karena setiap orang pasti memiliki skill terpendam, tergantung orangnya mau mengembangkan atau tidak,” kata Deni. Diungkapkan Deni dari pengalamannya, untuk mengembangkan skill dapat dilakukan saat duduk di bangku kuliah atau sesudahnya. Tapi menurutnya saat berada di bangku kuliah lebih tepat dengan mempelajari dari lingkungan sekitar, berorganisasi dan buku-buku. “Mengembangkan skill kalau hanya bertatapan dengan dosen saat kuliah saja malah tidak sama sekali. Karena dengan dosen hanya transfer ilmu saja. Seseorang minimal memiliki skill kerjasama, kalau yang bisa diajak kerjasama dari orang organisasi karena terbiasa bekerja dengan tim,” tuturnya.[]

Bagikan ini:
Baca Juga:  LCSM Adakan Diskusi Rutin
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *