38°C
29 March 2024
Cerpen

Ku Percayakan Hati Pada Sang Ilahi

  • Januari 22, 2017
  • 8 min read

hati ilahi

Detik demi waktu kian berlalu. Menyingsingkan serpihan asa yang bergemul menyelimuti lara. Simfoni mengalun amat sendu tatkala langit menghitam berhiaskan guntur yang memecah keheningan. Tetes demi tetes air lari bersahutan dari puncak lazuardi. Sama halnya musim gugur, merontokkan dedaunan yang berbaris rapi. Hujan kian menyapu hiasan demi hiasan. Akankah tersingkap rapuh, bila tak nyata terpandang. Bak nuansa senja yang melukiskan sayu, ataupun benamkan ukiran yang tlah terpatri dalam hati. Biarlah ku nikmati sapaan hujan yang mendinginkan jiwa. Semilir angin kan tetap membelai suka walau hujan tak mampu menghapus duka.

Mata bening itu menatap kosong ke pemandangan yang tak lagi asing dari atas gedung Unit Kegiatan Mahasiswa. Merekam para mahasiswa yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Lalu lalang kendaraan nampak memadati suasana yang terbilang cukup ramai. Selendang biru pucat itu berkibar tertiup angin, musim dingin mengaburkan segala harapan sunyi yang pernah terlintas di benak semua orang. Saat panas mentari yang dahulu membakar semangat jiwa-jiwa yang tengah asyik berdendang dalam dunianya, kini musim dingin kembali menidurkan teriknya mentari. Mengesampingkan nuansa yang dahulu di penuhi hiruk pikuk lautan manusia yang terbakar sulutan api kemarahan. Itulah dunia. Sebuah tempat yang menjadi mangsa setiap manusia. Dunia yang dipenuhi euphoria yang mampu menenggelamkan mereka ke dalam kenikmatan sementara. Sungguh dunia bukanlah tempat yang pantas untuk di jadikan panutan. Apalah arti panutan bila ia tak kekal?

“Apa yang kau dapat dari lamunan mu itu, Aisyah?.”

Sebuah sapaan halus membuyarkan lamunannya sesaat, aku menghembuskan nafas ketika tersadar sepenuhnya dari mimpi-mimpi yang semestinya tak boleh diharapkan.

“Dunia terlalu luas untuk kau lamunkan, apa kau adalah salah satu dari para pecinta dunia itu, Aisyah?,”

Aku berbalik badan dan mendapati Nur, seorang gadis berlesung pipit yang selalu terlihat lebih muda dari usianya. Aku tersenyum menatap teman sekaligus sahabat ku di kampus ini. Sahabat yang ku percaya dalam berbagi urusan duniawi, bahkan urusan yang ku nilai amat asing. Ya, dia adalah cinta.

“Lalu apa yang kau lakukan di belakang sahabat mu yang tengah asyik menyenandungkan lamunan nya,?”

“Tentunya tugas ku menarik mu sebelum kau terjatuh lebih dalam ke lamunanmu itu aisyah,”

Ia tertawa kecil membalas perkataan ku, tangannya mengulurkan sebuah buku yang sangat ku kenali.

“Ku rasa ini lebih penting dari lamunan sendu mu itu, kawan,” ucapnya sembari memindahkan buku novel milik Asma Nadia itu ke tangan ku.

Baca Juga:  Al-Qur'an untuk laila

“Darimana kau mendapatkannya? Bukankah … ,”

Bibir ku terkatup rapat tatkala seorang lelaki berkaca mata minus berjalan intens tepat di hadapan ku dan Nur, ia menatap ku sekilas sebelum menyunggingkan senyum manis nya yang entah ditujukan pada ku atau Nur.

“Astagfirullah,” ucap ku tergagap karena terlalu lama memandang lelaki yang belum sah untuk ku. Sebuah desiran halus mengaliri denyut nadi ku saat tak sengaja mendapatinya ada di dekat ku. Apa yang terjadi? Adalah hal yang amat biasa bila bertegur sapa dengan sesama mahasiswa, namun mengapa hati ini mendadak berdegup amat pilu. Pertanda apakah ini?

Tepukan halus di pundak ku menyadarkan ku kembali dari alam bawah sadar ku. Nur tersenyum penuh arti menyadari kegugupan ku yang telah lewat.

“Ia adalah seorang aktifis dalam bidang english club, kau tidak mengenalnya?”

“Aku sama sekali tidak tahu mengenalnya”

“Lalu mengapa wajahmu bersemu merah laksana tepukan senja di rongrong pasir yang berkilau?”

“Ah kau terlalu berlebihan sahabat ku”

“Ku rasa cinta tengah menguasai jiwa sahabat ku ini,” senyumnya.

Hatiku mencelos menanggapi tanggapannya yang ku rasa amatlah menambah desiran hati ku ini. Ya tuhan apakah yang saat ini ku fikirkan?

“Mengapa kau bisa berdalih secepat itu, nur? Sungguh kau tlah salah paham. Tak ada cinta maupun segala urusan yang mengatasnamakannya, aku…” aku terdiam menyadari tatapan menggelikan dari nur yang tengah tersenyum membaca gerak-gerik ku.

“Cinta bukanlah sesuatu yang menakutkan melainkan sebuah bentuk kasih sayang sang pencipta pada setiap makhluknya.”

Aku tersenyum menanggapi gurauannya. Aku pernah memungkiri keberadaan cinta. Mengasingkannya nun jauh dari hati juga fikiranku. Namun, segalanya berubah indah saat ku tatap pancaran pesona itu. Tatapan yang menggetarkan hati yang tlah lama tak tersentuh. Apa ini cinta? Sebuah prasa indah yang kan mampu mengubah segalanya. Walau hanya satu kedipan mata, namun mampu menghipnotis siapapun yang terjerat olehnya.

Sebaiknya jangan mencintainya, bila cinta kan mengubur mu dalam lubang sengsara. Sebaiknya jangan menyayanginya, tak tahukah dirimu bahwa senja kan meninggalkanmu tanpa sepatah kata yang kan membuatmu terenyuh. Masihkah kau kan berharap padanya yang bahkan mampu berdiri tanpa tatapan sendu mu itu?

***

Lelaki itu bernama fatan, seorang mahasiswa jurusan Tarbiyah semester 5. Seorang aktifis juga pemikat hati dosen krena kepintarannya di bidang akademis. Tubuhnya tinggi tegap. Pandangannya tajam namun begitu teduh. Tak hanya itu, ia adalah seorang hafidz 25 juz al-qur’an. Subhanallah, bagaimana para kaum hawa tiada tergila gila padanya. Seorang lelaki yang selalu tampil sederhna di balik kecerdasaannya yang amat luar biasa. Salahkah apa yang kini ku rasa? Kau bukanlah seorang gadis belia yang terkurung dalam sangkar cinta, apalagi yang kau tunggu kini, aisyah?

Baca Juga:  Senja Milik Laki-Laki Tua

Aku tengah terduduk di dekat jendela mushala, menutup quran kecil selepas menghafal beberapa surah yang ditugaskan oleh murabbi maupun inisiatif ku sendiri. Sayup terdengar lantunan ayat suci alquran dari suara yang amat ku kenali memenuhi seisi ruangan dengan khidmatnya. Subhanallah.

“Assalamualaikum aisyah.”

Sapaan halus yang terdengar bagai bisikan itu menghampiri telinga ku tatkala ku langkahkan kaki kelua dari mushala yang mulai sepi, hanya ada beberapa satu dua mahasiswa yang tengah asyik mengerjakan tugas akhir. Aku tertegun menatap seorang lelaki yang tak habis nya mengisi relung hati ku yang kosong ini. Kami sama-sama tertunduk malu saat tatapan kami tak sengaja bertemu.

“Wa’alaikumsalam akhi,” balas ku pelan

“Ada yang ingin aku bicarakan padamu, apakah kau keberatan wahai aisyah?”

“Apa itu akhi?”

“Maaf, nama ku fatan. Kau bisa memanggilku fatan aisyah, maaf aku lancang menanyakan nama mu ke aktifis lain”

Aku menganggukkan kepala, ‘sungguh aku pun tlah lancang mengetahui nama mu tanpa izin dari mu jua,’ batinku

“Apa yang ingin kau bicarakan, fatan? Aku takut menimbulkan fitnah bila kita terusan berdua di sini. Lagipula, aku harus menemui dosen untuk suatu hal,” ujar ku pelan. Tak tahukah ia akan desiran yang kini menghinggapi kalbu ku?

“Maafkan aku. Akhir-akhir ini aku sedikit terganggu dengan suatu hal. Sebuah hal asing yang kini mendera  jiwa ku. Aku sangat terganggu dengan kenyataan itu, aisyah. Sungguh aku takut terjebak dalam tipu muslihat jin untuk menjauhkan diri ku pada allah. Kerap kali aku menenggelamkan diri tuk selalu berada di dekat nya karena sungguh aku takut aisyah,” gumamnya dengan masih tertunduk tanpa berani mengangkat wajah tepat di hadapan gadis di depannya.

“Bolehkah aku tau apa yang mengganggu mu, fatan? Jauhkanlah segala sesuatu yng bisa menjauhkan diri mu dari  allah”

Semilir angin bertiup bagai saksi bisu akan segala yang terjadi, pertemuan dua insan yang berkonflik dalam kalbu.

“Perkara itu adalah cinta. Aku tengah jatuh cinta pada seseorang.”

Aku tertegun menanggapi pernyataan jujur nya itu. Ia bergeming dalam diam, menunggu jawaban ku.

“Itu hal yang dialami setiap manusia menuuju kedewasaan fatan, mengapa kau takut selagi kau bisa mengendalikan nafsu mu? Masya allah, sungguh kaum hawa mana yang membuat mu seperti itu, sahabat ku?”

Baca Juga:  Se Usai Purnama

“Aku tidak tahu, aisyah”

Aku tersenyum.

“Mungkin lain kali kita bisa berbincang lebih banyak lagi. Tapi, maaf karena saat ini ada urusan lain yang harus segera ku selesaikan, fatan”

“Aisyah” Panggilnya lembut.

Aku memberanikan diri tuk menatap nya yang juga tengah menatap ragu ke arah ku.

“Demi allah, aku mencintaimu”

Bagai tersambar petir di siang yang gersang tatkala kata yang di tunggu setiap kaum hawa terlontar dari bibirnya. Namun di saat bersamaan segala tipu daya muslihat syaitan bergejolak di dadaku. Cinta, suatu prasa indah yang kan memakan mu dalam lingkaran dosa kemaksiatan bila kau membiarkannya berlarut dalam hati dan fikiranmu. Oh tuhan aku mencintainya tapi saat ini aku tak boleh memilikinya hingga saat nya tiba.

‘Aisyah?”

“Maafkan aku fatan,”

Aku melangkahkan kaki menjauhi fatan yang tengah gelisah dengan fikirannya sendiri. Tak tahan dengan segala desir yang hampir merobohkan kekuatanku, tak lama lagi. Senja terbentang manis di cakrawala, menyingsingkan penatnya hari demi waktu yang seakan terus menerus berputar tanpa henti. Mentari terbenam di ufuk timur. Mengakhirkan kisah pada hari ini. Hari yang dipenuhi debar akan hal asing yang tanpa izin memasuki ruang kosong di hati. Cinta. Bukan hal asing tuk dibicarakan gadis dewasa yang hampir menginjk kepala dua. Namun, apalah arti cinta? Bukankah cinta tak boleh merasuki jiwa yang belum sah di hadapan tuhannya. Oh tuhan, jauhkanlah rasa itu dari belenggu yang ku rasa.

Tiada syair lebih indah dibanding lantunan ayat-ayat suci alquran yang kian terdengar tiap waktu. Sebuah lantunan yang kan membawa tiap insan tenggelam dalam kecintaan akan akhirat. Menepis dunia yng tak ubahnya peluruh waktu. Dunia yang sejatinya bukanlah tempat abadi tuk bernaung. Manakala hati menggeliat mengusik renungan, renungn akan cinta maupu kasih  yang kan memporak porandakan benteng hati. Pada siapa lagi kan ku taruh segala resah tentang cinta. Pada siapa lagi kan ku panjatkan rindu selain padanya, allah swt. Sang pemilik cinta. Ku percayakan hati  padanya wahai sang pembolak-balik hati juga penguasai segala cinta. Ku pasrahkan cinta pada sang kuasa. Ku relakan cinta kan meninggalkan ku demi mencegah diri terhimpit lautan dosa. Oh tuhan, bantu aku mengarungi nya. (Bunga Dwi Puspita)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *