38°C
20 April 2024
Cerpen

Pada Ujung Senja

  • Februari 20, 2018
  • 6 min read
  • 21 Views
Pada Ujung Senja

***

“Sastra klasik adalah awal dari segala tulisan modern. Tidak ada hal baru yang bisa dipelajari dari karya modern yang tidak dipelopori oleh para penulis di masa-masa sebelumnya, para penulis yang sudah Sastra mati.

Cerita klasik adalah cerita yang tak kenal batasan waktu. Ia bisa dinikmati sekarang atau seribu tahun dari sekarang. Isinya selalu relevan terlepas dari siapa yang membacanya atau di mana cerita itu diterbitkan. Dan secara keseluruhan cerita tersebut mampu memberikan nilai resonansi yang kuat bagi para pembacanya.

Selain itu, kata ‘klasik’ tidak melulu mengacu pada umur sebuah karya. Cerita klasik bisa ditulis seratus tahun yang lalu, atau kemarin. Cirinya adalah puisi berbentuk terikat dan kaku dan masih banyak lagi ciri-cirinya kau bisa membacanya di buku catatan ku.”
Tuturku kepada lelaki berkaca mata ini. Hembusan angin sore menemani sejuknya taman ini. Taman yang di rawat dengan baik oleh pihak kampus.
“lalu apa bedanya dengan sastra modern?’ tanya nya sambil membuat catatan tambahan di buku nya
“sastra modern puisi bersifat bebas, baik bentuk maupun isinya dan prasa baru yang dinamis”
Terangku kepadanya yang terlihat menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Dengan perlahan mata sayu itu menatap dalam ke manik mata lelaki di depannya yang ikut menatapnya.
Hening…

Daun daun kering yang berguguran menambah kesan dua insan yang terdiam satu sama lain. Aku menghela nafas dan mengalihkan pandangan ku darinya. Hamparan rumput liar seakan melambai-lambai mengejek kebiasuan diantara kami.

“aku belum tau namamu” bisiknya pelan
Aku masih terdiam, berdua dengan seorang lelaki di taman yang mengalunkan romansa adalah hal yang asing untukku.
Ia tersenyum, mendekatkan arah duduknya yang membuat ku harus menggeser sedikit tubuhku.
“Namaku Raffa, sebenarnya kelas kita berdekatan. Tapi, kau terlihat seperti tidak pernah melihatku walaupun aku termasuk mahasiswa yang aktif di organisasi”
Aku menunduk, mengepalkan jemari jemari tanganku yang bergetar
“Maaf..” hanya kata kata itu yang berhasil terlontar dari bibirku
“Boleh aku tau namamu?” ujarnya berharap
“Aura” jawabku dengan suara yang bisa dibilang sangat pelan
“aura?” dia mengulang nama ku
“aku sering memperhatikanmu diam diam”
Aku menoleh dan melihatnya menundukkan kepalanya.
“Kenapa kau sangat menyukai hujan? Kau selalu tersenyum disaat hujan turun, bahkan kau terus tersenyum walaupun gemuruh, aku…. “
Belum sempat ia melanjutkan kata katanya, aku menyela dengan segera
“Itu bukan urusanmu” ucapku datar, membereskan buku-buku milikku di bangku taman dan melangkah untuk pergi.
“Tunggu!” ia berteriak
“Aku hanya ingin tau , apakah itu salah? Aku sangat ingin mengenalmu” lanjutnya.
Dengan posisi yang masih membelakanginya, aku memejamkan mataku, menghembuskan nafas pelan.
“Apakah jika kau ingin mengenal seseorang, kau harus tau segalanya dari orang itu? Termasuk rahasia terbesarnya?”
Aku memberanikan diri untuk mengucapkan kata kata itu kepadanya/
Derap langkah kaki dibelakangku kembali terdengar.
“Kau akan mengerti jika kau sedang menyukai seseorang. Orang itu akan selalu ada di fikiranmu. Selalu membuatmu penasaran, selalu membuatmu ingin lebih tau apa saja tentang dirinya”
Tubuhku bergetar, dengan sisa tenaga yang ku punya, aku berlari menjauh meninggalkan dirinya yang mematung menatap kepergianku.
***

Baca Juga:  Senja Milik Laki-Laki Tua

“Cinta itu seperti pisau, jika kau menggenggamnya dengan sangat erat ia akan melukaimu namun jika kau menggunakannya dengan lembut ia akan sangat bermanfaat untukmu, jika kau terus memaksanya ia akan menjadi tumpul, maka kau harus menajamkannya kembali untuk dapat terus bersamanya atau membiarkannya.”

Aku tersenyum membaca syair yang baru saja ku buat di selembar kertas. Bangku taman ini seolah menjadi saksi bisu yang selalu menemaniku usai penatnya kuliah.
Rangkaian kata demi kata bergerak dengan lancar dalam gerakan pena ku. Dengan cermat, aku mengubahnya menjadi syair yang indah.

Suasana kampus terlihat sepi, di taman hanya ada aku dan keheningan yang menemaniku. Mahasiswa yang lain mungkin sedang melakukan aktifitas lain di kampus dan beberapa sedang mengadakan rapat organisasi.
“Uhuk..”

Setetes cairan merah kental jatuh tepat pada kertas syairku. Kertas putih itu menyerap cairan yang baru saja mengenainya.

Aku memejamkan mata menahan sakit di kepalaku karena batuk kecil yang baru saja terjadi.
Darah di sehelai kertas…
Aku terperanjat.
***

“Aura!”
Seorang lelaki berkaca mata yang tak lain adalah raffa tengah berlari menyusul ku yang berjalan menghindarinya.
Aku berbalik dan menatapnya tajam
“Kenapa kau selalu mengikutiku? Apa yang kau inginkan dariku” ucapku dengan suara yang tegas.
Ia terdiam , mungkin kaget karena aku berkata seperti itu padanya.
“Maafkan aku, aku tidak terbiasa mempunyai teman. Dan aku sangat trauma dengan lelaki, itu yang membuatku selalu menghindar dari mu dan teman teman yang lain. Aku berbeda dengan kalian. Aku bukan orang yang pantas dijadikan teman. Aku tidak bisa memahami kalian, kalian juga tidak bisa memahamiku. Mereka menilaiku sebagai gadis yang sombong karena aku selalu menutup diriku.” Ujar ku dengan suara lemah.

Baca Juga:  KEMATIAN Itu................

Raffa tersenyum dan berjalan mendekatiku, bisa kurasakan telapak tangannya menyentuh puncak kepalaku dan mengusapnya dengan sangat lembut.
Aku berjalan mundur darinya dan sontak tangannya terlepas dari kepalaku.
“Aku sudah bilang dari awal pertemuan kita kalau aku sangat ingin mengenalmu. Kau gadis yang berbeda, kau unik. Kau tidak seperti gadis yang lain. Mereka sangat menyukai fashion dan segala jenis gaya untuk mempercantik diri mereka. Tapi kau berpakaian dengan sangat sederhana, namun kecantikanmu terlihat natural dari mereka. Kau gadis yang pemalu, sangat menutup diri dari pergaulan karena aku yakin kau gadis yang baik, jadi kau menghindar dari pergaulan yang buruk. Jangan dengarkan mereka yang mencelamu. Kau tau? Mereka iri denganmu karena banyak lelaki menyukaimu.” Jelasnya panjang lebar.

Aku memberanikan diri untuk menatapnya yang kini juga tengah menatapku.
Entah kenapa aku merasa nyaman melihat mata teduh nya yang terlihat sangat tulus itu.
“Raffa…” panggilku kepadanya yang membuatnya mengangguk
“Aku menyukaimu, aura” Jawab raffa dengan cepat.

Aku terdiam , ini bukan pertama kalinya seorang lelaki menyatakan perasaannya kepadaku. Tapi mengapa kali ini tubuhku bergetar ketika mendengar pernyataannya.
“Aku tau ini tidak mudah untukmu. Aku tidak memaksamu untuk menyukaiku. Apakah kau tau? Aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkanmu. Setiap makanan rasanya hambar karena kegelisahaanku. Terdengar aneh bukan? Aku tidak sedang berbual. Ini murni apa yang aku rasakan kepadamu. Aku sering memperhatikanmu sejak lama, ketika kau sedang membaca novel di perpustakaan itu aku memberanikan diriku untuk mendekatimu. Jantung ku berdegup dengan tidak beraturan saat itu. Aku sangat menyukaimu, benar benar sangat menyukaimu. Mungkin kau ingin segera pergi setelah mendengar aku mengatakan ini. Aku sudah siap jika kau akan meninggalkanku dan tidak mau bertegur sapa dengan ku lagi setelah ini.”
Aku tertegun melihat mata nya yang nampak berkaca-kaca, dengan senyum yang masih setia di bibirnya ia menatapku dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan.

Baca Juga:  Aku Bukan Tulang Rusukmu

Kaki ku terasa kaku untuk digerakkan, bibir ku kelu untuk mengucapkan sepatah kata sedangkan dia dengan sabar menanti kata kata yang akan keluar dari bibirku.
“Aku senang pernah menjadi orang yang dekat denganmu” ujarnya pelan seraya membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kakinya untuk segera pergi.
“Raffa tunggu!”
Aku seketika menutup mulutku menggunakan kedua tanganku ketika tanpa sadar berteriak memanggil dirinya.
Raffa membalikkan tubuhnya memandang ku lekat
“Beri aku waktu, ini terlalu cepat untukku” aku merasa jantung ku berdetak dengan irama yang cepat yang aku tidak tau apa penyebabnya.

Kulihat ia mengangguk dengan lesu dan kembali berbalik untuk pergi
“Aku pun menyukaimu” sahutku.
Aku melihatnya berhenti dan hendak berjalan mendekatiku sebelum akhirnya aku cepat cepat berlalu dari hadapannya meninggalkannya yang menatapku dengan senyum yang mengembang
***

**Bersambung**

Penulis : Bunga Puspita Sari/TBI/VI

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *