Fiksi Mini: Pangkal Lidah
Pangkal Lidah
Oleh Afryan Arya Saputra
Semalaman Wisnu tidak tidur. Tekun ia belajar, hingga tak kenal lagi waktu. Ujian dadakan pun dilantaknya, meski dalam kantuk yang luar biasa. Yang lebih menguntungkan baginya adalah aturan melepas bola mata, karena dikhawatirkan kalau semua peserta ujian dapat melihat, pasti terjadi saling contek. Wisnu pikir ini keuntungan baginya. Bagaimana tidak, kini matanya bisa istirahat sejenak.
Namun, ketika baru saja mengumpulkan bola mata di meja depan, Iwan, gurunya, memberi intruksi untuk seluruh siswa memakai matanya kembali.
“Bagaimana kalian menuliskan jawaban yang baik dan benar kalau tak bisa melihat, kan? Pakai lagi,” seru sang guru.
Siswa maju serentak. Terjadi salah ambil. Wisnu pun merasa bola mata di kantung matanya bukanlah miliknya. Lebih-lebih lagi dari mata itu dilihatnya, Iwan, sang guru, yang dari kelas ke kelas memuja muji Tuhan, sedang melecehkan perempuan. Tentu gambaran itu didapat Wisnu dari mata seorang teman perempuan sekelasnya. Tentu karena mata merekan sebagian ingatan.
Tentu kini Wisnu tersenyum sinis. Berucap ia selirih angir menapaki daun-daun kering, “mungkin Pak Iwan adalah yang beragama hanya sampai tenggorokan.”