Jawaban Soal Nomor Satu
Jam 10 di ruang kelas. Degub jantung seakan ingin menyaingi waktu. Gerakan tangan itu telah mencapai kecepatan maksimum. Tak peduli batas baris kertas, menantang setiap goresan untuk berjajar rapi.
“Sepuluh menit lagi!” tukas sang pengawas tak beri ampun. Suaranya bak komando yang memaksa prajuritnya bergerak lebih cepat. Matanya berkeliaran tajam menyapu setiap sudut kelas. Sambil berjalan pelan dan sesekali melirik jam di pergelangan tangan.
Peluh bercucuran, empat kipas angin yang setia berputar tak mempan melawan rasa panas yang kadung berkuasa. Tak satupun wajah menyiratkan kegembiraan, yang ada hanya ketegangan. Semua nampak serius menatap lembar kerja yang minta dipenuhi.
“Lima menit lagi!” pengawas berjalan ke arah mejanya, lalu duduk dan mulai merapikan beberapa kertas yang berserakan. Ketegangan semakin naik beberapa oktaf. Ini adalah medan pertempuran antara waktu dan kemampuan manusia.
“Ssst…sstt…!” aku terganggu oleh isyarat minta tolong. Tanpa perlu menoleh tentu aku sudah tahu siapa dia. Pasti Raka yang tepat duduk di belakangku. Ada sedikit rasa jengkel karena konsentrasiku pecah. Waktu terbuang dan aku harus menggali lagi kata-kata yang ingin kutulis. Akupun cuek, pura-pura tidak dengar.
“Sstt.. hei… Nuria! Bentar sih…” tangannya mulai mencolek punggungku. Kedongkolanku meningkat. Sekali lagi aku tetap tak merespon. Diulanginya sampai tiga kali tapi aku tetap cuek. Tak lama, dia berhenti. Nampaknya dia menyerah.
Aku kembali fokus pada lembar kerjaku. Tinggal soal nomor satu lagi yang belum terisi. Aku paham maksud soal tersebut meski jawabannya masih di awang-awang, tapi otakku cukup sulit menjelmakannya dalam kalimat. ‘Posisi apa yang anda inginkan ketika di masyarakat? jelaskan strategi anda untuk mendapat posisi itu!’ soal itu benar-benar memaksaku untuk berimajinasi.
“Wah, siapa dia?” keheningan pecah ketika salah seorang mulai berdiri dan berjalan ke meja dosen. Beberapa pasang mata melirik dan ada juga yang cuek.
“Tidak usah ribut! Kalau sudah selesai langsung dikumpul!” tegas sang pengawas.
“Ini, Pak!” laki-laki jangkung berkacamata itu menyodorkan secarik kertas.
“Lembar jawaban taruh di atas amplop, soal kamu bawa pulang.”
“Terima kasih, Pak.” Laki-laki luar biasa tadi keluar sambil menenteng tas. Raut wajahnya nampak seperti habis keluar dari ruang persidangan dan dinyatakan bebas.
“Waktu sudah habis. Sekarang kumpulkan semua jawaban kalian! Bapak hitung sampai sepuluh. Yang belum mengumpul tidak Bapak terima. Satu…,”
“Hah, sebentar lagi, Pak…” protes mahasiswa yang mulai gelagapan.
“Dua,….tiga….”
Blank sudah, pasrah adalah jalan terbaik yang harus dipilih. Kelas gaduh, dan teman-teman berebutan mengumpul lembar jawaban ke meja dosen. Ada yang menggunakan kesempatan untuk saling mencontek. Ada pula yang maju ke meja depan, lalu lanjut menulis sambil memanfaatkan waktu sebelum hitungan selesai. Mereka tak menyia-nyiakan kesempatan meski begitu riskan.
“Delapan…, sembilan….,” hitungan berhenti di angka sembilan. semua jawaban telah terkumpul di meja. Tak ada keceriaan setelahnya, hanya ada keluhan dan pasrah pada jawaban yang mereka tulis. Kemudian pengawas ujian sibuk merapihkan lembar jawaban siswa. Anak-anak yang lain pun berkemas siap untuk keluar kelas.
“Tunggu sebentar!ada yang belum menuliskan namanya. Punya siapa ini?” lembar jawaban tak bernama itu diangkat ke atas. Kami pun saling toleh dan bertanya.
Raka mengangkat tangan, “Jawabannya bagaimana Pak? Kalau bener itu punya saya. Kalau salah bukan punya saya Pak!”
“Huuuuuuuuuu………!” seru seisi kelas. Bahkan ada yang melemparinya dengan buntalan kertas.
“Ada di tumpukan paling bawah. Jumlah lembar jawaban dan absen kenapa lebih banyak lembar jawabannya? Ada yang belum absen?” Bapak pengawas mengangkat absen.
“Mungkin punya anak laki-laki yang keluar duluan itu, Pak!” Sahutku.
“Siapa namanya?”
“Saya tidak kenal, Pak.” Anak-anak menggeleng dan saling bertanya satu sama lain.
“Kalau ada yang bertemu dia, tolong sampaikan untuk mengahadap saya.”
“Baik, Pak!”
Ujian akhir semester mata kuliah kemasyarakatan kini telah selesai. Ketegangan luruh. Bagaimanapun juga perjuangan telah usai. Ini adalah perang terakhir di semester satu.
***
Selesai ujian aku berpapasan dengan lelaki jangkung itu di pasar. Dia sedang menjinjing kardus air mineral dari mobil ke dalam toko. Sepertinya dia bekerja sampingan sepulang kuliah.
“Ada apa, Mbk?”Seorang laki-laki paruh baya menyapaku.
“Maaf Pak, saya hanya ingin mengabari anak laki-laki berbakaos merah itu untuk menghadap dosen.”
“Dosen? Dia itu sudah tidak sekolah, Mbk.”
“Eh, bukannya dia kuliah di IAIN Metro ya, Pak?”
“Nggak, Mbk! Dia itu setiap hari nguli di pasar.”
Aku tak menyangka ternyata ada yang bisa menyusup di kampus.
“Imran!, ada yang cari kamu!”
Dia pun mendekat sambil mengusap peluh di keningnya dengan handuk kecil.
“Siapa ya? Dan ada perlu apa?”
“Hemmh, aku tahu kamu menyusup di kelas waktu ujian di kampus tadi.”
“Eh…..!”
“Sudahlah, sepertinya kabar kamu harus mengahadap dosen pengawas tadi tidak berguna untukmu.”
“Hahaha…. ketahuan ya?” Dia pun menggaruk kepalanya.
“Kenapa kamu lakukan itu?” Tanyaku penasaran.
“Iseng!” Jawabnya singkat.
“Hah…!” aku terkejut mendengar jawabannya. Itu terdengar menyebalkan. Apalagi mengingat aku harus bayar SPP untuk bisa duduk di bangku kuliah.
“Ngomong-ngomong tadi kamu keluar duluan, Aku boleh tahu jawaban kamu di soal nomor satu ujian barusan?” kualihkan pembicaraan. Aku tak punya hak untuk marah akan keisengannya itu. Siapa tahu dia ternyata anak yang pintar.
“Maksudmu tentang posisi di masyarakat itu? Hemmmh, itu rahasia!”
Dahiku berkerut. Sedikit jengkel dengan jawabannya.
“Aku memang tidak seberuntung kamu karena bisa kuliah. Tapi aku punya sesuatu yang mungkin tidak dimiliki oleh seorang mahasiswa sekalipun.” Senyumnya seakan mengejek.
“Apa itu?” aku tak bisa menahanrasa penasaran.
“Jawaban soal nomor satu.”
“Apa?”
“Sudah ya, aku masih kerja!” dia tiba-tiba pergi dan kembali mengangkut kardus ke dalam koto. Sepertinya aku memang tidak harus menanggapi orang becandaan seperti itu. Lebih baik pulang dan tidur siang.
***
Brak brak
“Nuria cepat buka pintunya!”
“Iya, Pak! Sebentar!” aku pun terbangun dan cepat membuka pintu. Tercium bau alkohol dari seorang laki-laki kurus di hadapanku. Dia pun berjalan lunglai tanpa menatapku. Tak ada lagi air mata yang keluar apa lagi umpatan kekecewaan. Kemudian kupandang bingkai foto dimana bapak yang gagah mengenakan toga. Sepertinya aku memang harus serius membuat jawaban soal nomor satu.
Penulis: Ranti Suci Lestari (KetuaFLP Kota Metro)