Kronika

Argumen Opini

Tantangan Pers di Dunia Digital

  • Oktober 30, 2017
  • 5 min read
  • 238 Views
Tantangan Pers di Dunia Digital

Dewasa ini, perkembangan dunia komunikasi dan informasi semakin meningkat dari hari ke hari. Bukti fisik dari perkembangan teknologi tersebut adalah bermunculannya alat-alat eletronik seperti televisi, radio, komputer dan lain sebagainya. Ini membuat orang-orang semakin mudah menerima informasi dari mana saja. Tidak hanya menerima informasi, penyebaran informasi pula dikatakan sangat mudah dengan adanya bantuan dunia maya (social media, red) seperti facebook, instagram, blackberry messenger, path dan lain sebagainya. Pencetusan teknologi tanpa batas inilah yang mendasari munculnya situs-situs online yang dikelola oleh cendekia profesional dalam menyebarkan segala informasi dengan mudah.

Teknologi yang diasumsikan sebagai salah satu alat untuk mempermudah kehidupan manusia telah membawa banyak perubahan di berbagai aspek, salah satunya di dunia jurnalistik. Jurnalis mungkin tak lagi asing dengan salah satu fungsi teknologi yaitu mempercepat penyebaran informasi baik cetak maupun non cetak. Kendati demikian, informasi terupdate dan aktual yang disajikan dalam bentuk non cetak dinilai lebih efisien dibandingkan informasi dan berita-berita yang disajikan dalam bukti cetak (majalah, buletin, koran dsb). Non cetak atau yang dikenal dalam dunia pers sebagai berita online menjadi solusi bagi para jurnalis yang memiliki hambatan dana dalam memproduksi sebuah cetakan. Mahalnya harga cetak serta proses yang lama akan membuat berita yang disajikan akan sampai pada tangan pembaca dalam kondisi yang sudah expired. Inilah yang mendasari para pers untuk memulai kiprahnya di dunia maya.

Namun demikian, meskipun berita online disebut-sebut sebagai solusi atas permasalahan pers tak menjadikannya sebagai jawaban final yang tidak memiliki sisi negatifnya. Maraknya situs-situs bodong yang mengatasnamakan pers tak pelak memancing tumbuh kembangnya berita-berita tak masuk akal yang aksesnya sangat mudah di dapatkan. Terlebih, pembaca cenderung lebih menyukai berita-berita berunsur kontroversial dibanding aktual meskipun tingkat keakuratannya tidak menentu. Inilah yang menjadi akar permasalahan baru yang dihadapi dalam dunia pers, atau yang lebih dikenal dengan istilah HOAX. Penyebar hoax biasanya menyerang para kaum intelektual yang memiliki wawasan luas serta pemikiran yang kritis sehingga dapat dengan mudah mencerna sebuah informasi yang tak jelas datangnya tersebut dengan tujuan agar mengalihkan mereka pada sebuah situasi dimana mulai bermunculannya opini-opini negatif. dengan adanya hoax yang semakin berkembang hari demi hari, akhirnya membuat kebanyakan masyarakat enggan menerima maupun membaca berita-berita online meskipun beberapa diantaranya merupakan berita yang kredibel.

Pesatnya perkembangan globalisasi serta harga yang murah dalam mengakses internet membuat banyak citizen jounalism bermunculan mendirikan situs-situs web pribadi dengan menyebarkan informasi-informasi dalam beberapa bidang. Meskipun terbilang berguna namun beberapa diantaranya merupakan para citizen yang tak bertanggung jawab yang mengelola informasi palsu yang bertujuan untuk membuat kubu diantara persatuan bangsa yang majemuk ini.

Kebebasan berinformasi dan mengutarakan pendapat sendiri merupakan hak setiap warga negara yang dimuat dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, peran pers sangat diperlukan guna membuat sebuah ruang publik bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya di khalayak umum. Diskusi mengenai ruang publik sendiri merupakan ruang terjadinya berbagai diskusi dan debat publik mengenai suatu permasalahan publik, di mana setiap individu sebagai bagian dari publik mempunyai porsi yang sama dalam berpendapat dan dijamin kebebasannya dari intervensi dan restriksi pihak lain sehingga tidak memunculkan hegemoni opini namun menumbuhkan opini publik yang diharapkan akan membantu munculnya kebijakan publik yang adil (dikutip dari tulisan habermas berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere).

 Namun, kebebasan berekspresi yang seperti apa yang harusnya dijalankan oleh masyarakat? Apakah dengan menghina, menjatuhkan bahkan memporak-porandakan negeri ini merupakan hak yang dilindungi oleh undang-undang? Apakah dengan memutar balikkan fakta dengan tujuan melecehkan pihak lain juga merupakan kebebasan yang dilindungi oleh undang-undang? Ataukah menyebarkan berita rasis yang tak berdasar juga dapat dikatakan sebagai kebebasan seluruh rakyat indonesia?

Aliansi jurnalis independen (AJI) Indonesia menyatakan bahwa alangkah bijaknya jika pelaku industri media massa internet kembali mengingat tujuan awal lahirnya media massa sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan. Media massa yang seyogyanya dijadikan alat untuk memberantas kebodohan seharusnya tidak menjadi dasar dari perpecahan bangsa. Oleh karena itu, meskipun setiap warga negara bebas menggagas ide dan pendapatnya dalam media online, mereka tetap harus menempatkan etika  serta etika-etika jurnalistik dan prinsip jurnalistik bagi para pers sebagai landasan pemberitaannya.

Baca Juga:  Mahasiswa Itu Peka

Adapun prinsip-prinsip tersebut termuat dalam kode etik jurnalisme yang berisi 9 aturan yang berisi :
1.    Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
2.    Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat.
3.    Inti jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi.
4.    Para wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka liput.
5.    Wartawan harus mengenban tugas sebagai pemantau yang bebas dari kekuasaan.
6.    Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik.
7.    Jurnalisme harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan relevan.
8.    Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional dan konprehensif.
9.    Wartawan itu memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya

Kendati demikian, tidak semua berita yang disajikan dalam media online merupakan berita hoax yang tidak berdasar karena beberapa diantaranya merupakan berita dengan akurasi yang dapat dipercaya karena ditulis berdasarkan sumber dan fakta yang kredibel. oleh karena itu, sebagai pers yang dituntut keprofesionalitasnya haruslah bekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika 2017 merupakan ladang persemayaman hoax yang tumbuh subur, maka tahun esok dan seterusnya haruslah menjadi tahun-tahun dimana informasi akuratlah yang menguasai media massa. Problematika tersebut dapat anda telisik secara mendalam untuk mengubahnya sebagai sarana dan prasarana pers yang menunjang dalam segala aspek.

Menolak lupa, simbolik tersebut sangat akrab ditelinga para pers-pers cendekia yang berusaha menangkal  dan mengkritisi timbulnya ketidakadilan dalam negeri ini bukannya berperan sebagai pihak yang menanam kebencian pada setiap hati masyarakat karena Kebebasan pers menjadi basis dari kerja-kerja pers seperti amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 2 UU ini menyatakan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Baca Juga:  Profesionalitas Muncul Secara Kondisional

Maka, menjadi pers yang profesional menjadi kunci dan syarat mutlak yang harus dipedomani untuk menyajikan data-data kredibilitas pada publik. Tanpa hal-hal tersebut, tentu akan menjadi ancaman bagi pers-pers indonesia dengan kata lain pemerintah yang terkesan membatasi ruang gerak jurnalis. Tetaplah menjunjung tinggi kebenaran dan kuat menghadapi segala bentuk problematika. Salam pers mahasiswa!

Penulis: Bunga Dwi Puspita Sari

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *