Maryam adalah sosok gadis cantik dengan senyum manis ditambah lesung pipi dibagian pipi sebelah kanannya. Dia adalah murid SMA Cendikia yang duduk di kelas XII MIPA dengan segudang prestasi. Tak jarang banyak yang memuji kepintaran, kebaikan, dan keramahan yang dimiliki oleh Maryam. Namun, banyak murid yang memandang Maryam dengan tatapan tak suka setiap kali Maryam memakai jilbab untuk menutupi auratnya.
Jilbabnya dibenerin dulu Ketinggalan jaman banget sih jilbabnya Bajunya juga tuh, masa gede banget.
Perkataan seperti itu sudah menjadi hal biasa dipendengaran Maryam, baginya apa yang dia pakai tidak ada yang salah. Setiap mendengar perkataan seperti itu Maryam hanya bisa tersenyum untuk menanggapinya. Karena mungkin untuk kalangan pelajar memakai baju atau jilbab besar adalah hal yang aneh.
Hari ini, jam pulang sekolah selesai lebih awal. Karena guru mengadakan rapat untuk perpisahan kelas XII nanti. Maryam berniat untuk berkunjung ke perpustakaan terlebih dahulu, untuk latihan soal-soal ujian nanti. “Maryam, kamu langsung pulang?” Tanya Sisi, sahabat Maryam dari masuk sekolah hingga sekarang. “Aku mau ke perpustakaan dulu,” jawab Maryam sambil memasukan barang-barangnya ke dalam tas. “Kalo gitu aku duluan yaa, Assalamualaikum Maryam,” Pamit Sisi meninggalkan Maryam.
Saat berjalan menuju perpustakaan, langkah Maryam dihentikan oleh Caca dan gengnya. Kondisi koridor sekolah yang sepi, karena guru rapat. Hal ini membuat Maryam sedikit was-was, karena Caca dan gengnya tak pernah main-main dengan ucapanya, mereka akan membully orang jika tidak menyukainya. “Gak usah sok alim deh, sok pake jilbab besar kek gini,” ucap Caca menarik jilbab Maryam. “Saya memakainya hanya untuk menutupi aurat saya,” jawab Maryam tanpa menatap lawan bicaranya. “Halah, gak usah sok deh. Lo pake jilbab kek gini cuma buat gaya gayaan doangkan?” balas Caca. “Gak kok, saya permisi yaa Ca. Saya mau ke perpustakaan dulu,” ucap Maryam dengan takut-takut. “Minggir guys, si sok alim mau lewat,” ucap Caca dengan pandangan sinis.
Saat Maryam melewati Caca dan gengnya, salah satu temannya mengatakan hal yang membuat langkah Maryam berhenti. “Sejak kapan sih lo berubah gini. Lo berubah dan tiba tiba ngejauh gitu aja dari kita-kita, salah kita apa? Kalo cuma karena jilbab, lo jauhin kita. Kita gak peduli,” ucap Isti yang langsung pergi setelah mengatakan itu. Maaf aku belum bisa cerita ke kalian, batin Maryam.
Keesokan harinya, saat sang fajar masih menyembunyikan dirinya dari bumi. Dalam perjalanan ke sekolah, Maryam melihat Isti terduduk di pinggir jalan sambil memegang kakinya. “Isti, kaki kamu kenapa?” tanya Maryam dengan nada khawatir. “Gak usah sok peduli,” jawab Isti dengan menahan sakit dikakinya. “Kalo kamu mau tau kenapa, nanti ajak Caca sama Nawa ke taman belakang sekolah ya,” ucap Maryam saat Isti melangkah dengan kaki pincangnya.
Maryam menepati perkataannya, ia menunggu sahabatnya untuk menjelaskan semuanya. Taman belakang inilah, menjadi saksi persahabatan mereka dimulai dan berakhir. Maryam kembali ke sini untuk memperbaiki semuanya sebelum terlambat. Saat sedang melamun, Maryam tak sadar jika ketiga sahabatnya sudah datang.
“Kita datang mau denger penjelasan kamu,” ucap Caca terlebih dahulu. “Aku bakal jelasin asal kalian janji, setelah aku jelasin gak ada air mata yang jatuh,” kata Maryam. “Buruan Maryam,” desak Isti tak sabaran. “Aku sakit, aku ingin berubah sebelum tuhan ambil nyawaku. Jangan salahkan jilbabku atas perlakuan ku terhadap kalian. Aku ingin kalian terbiasa tanpa aku, jika sewaktu-waktu tuhan memanggilku,” terang Maryam sambil menatap ke atas untuk menghalau air matanya jatuh.
Keadaan taman yang sepi, membuat suasana menjadi semakin haru. Ketiganya yang mendengar penjelasan Maryam hanya mampu terdiam hingga suara Maryam membuat mereka tersandar.
“Leukimia stadium 3,” ucap Maryam tiba-tiba. Caca yang sadar langsung melangkah memeluk Maryam dari belakang dan menangis. Karena tak mampu menahan rasa sedih mengetahui sahabatnya sedang melawan sakit.
“Ar, harusnya kamu bilang sama kita, biar kita bisa nemenin kamu setiap saat. Mulai sekarang kita harus saling terbuka ya, biar kita bisa saling menguatkan satu sama lain. Maaf, kalo kita sempet nyalahin hijabmu atas perubahan yang ada di kamu,” ucapnya.
Rasa sedih yang Maryam rasakan hilang, saat mengetahui bahwa teman temannya masih mau menerimanya disaat kondisi badannya sudah tak sesehat dulu. Setidaknya Maryam bersyukur diberi sahabat yang mau mengerti keadaannya.
Bahwa tak seharusnya menyalahkan sesuatu yang orang lain pakai. Sebab apapun yang orang lain pakai memiliki alasan masing-masing. Tak perlu menghakimi sendiri tentang kehidupan orang lain, semua sudah mempunyai porsinya masing-masing.
(Ilustrator/Rani)
(Penulis/Rifa)