Aji Bandar Lampung Adakan Diskusi Publik Kondisi Kebebasan Pers di Lampung
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengadakan diskusi publik bertajuk Kebebasan Pers dan Berekspresi: Dalam Bayang-Bayang Represi, dilaksanakan via zoom meeting dan disiarkan langsung di kanal YouTube AJI Bandar Lampung, Senin (03/05).
Dalam diskusi tersebut menghadirkan pemateri Chandra Bangkit, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Lampung, Suma Indra Jarwandi, LBH Bandar Lampung, dan Hendry Sihaloho, Ketua AJI Bandar Lampung.
Dipilihnya tema diskusi tersebut, karena berangkat dari keresahan bersama dalam beberapa tahun terakhir. Persoalan terkait kebebasan pers dan berekspresi selalu menjadi sorotan. Di mana kasusnya selalu ada, tetapi jarang mendapatkan penyelesaian.
Diskusi diawali dengan beberapa pemaparan testimoni korban kekerasan dan represi. Seperti yang dialami Alfany Pratama, jurnalis kampus Universitas Lampung (Unila) yang mendapatkan kekerasan fisik oleh beberapa mahasiswa saat meliput aksi pilkada pada tahun 2019.
Selain Alfanny, jurnalis kampus Unila yang mendapatkan represi adalah Chairul Rahman Arif. Ia mendapat doxing saat akan melakukan diskusi terkait isu Papua pada tahun 2020. Selanjutnya Tuti Khomariyah, Jurnalis RMOL Lampung yang mendapat kekerasan verbal dari Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi.
Kemudian testimoni tiga kasus terbaru, yakni beberapa mahasiswa Universitas Bandar Lampung (UBL) yang dilaporkan polisi oleh pihak kampus dikarenakan menutut keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT), mahasiswa Polinela yang mendapat surat peringatan ancaman drop out ketika akan menggelar diskusi terkait penurunan UKT, serta sembilan mahasiswa Universitas Teknorat Indonesia yang mendapat skors selama dua semester hingga drop out dikarenakan mendirikan sekretariat di luar kampus.
Dalam materinya, Chandra Bangkit, menjelaskan, kekerasan terhadap pers ini melonjak drastis di tahun 2020 dan 2021. Ia juga sangat menyayangkan proses penyelesaian kekerasan yang tidak pernah menemukan titik akhir.
“Bicara mengenai pemberitaan, ini merupakan contoh bagaimana pers hari ini dibungkam. Pers bukan cuma hanya jadi humas pemerintah, tetapi kita juga bisa menjadi pengkritik, pengkontrol untuk memberikan informasi kepada publik,” katanya.
Suma Indra Jarwandi, mengungkapkan, yang terjadi di kampus Unila, UBL, dan Polinela adalah bentuk mahasiswa melakukan pengabdian dan aktivitas pengembangan ilmu pengetahuannya, “Tetapi faktanya juga kemudian institusi kampus melakukan upaya-upaya yang LBH lihat agak lucu. Di kampus saja mereka sudah dibungkam, di drop out, diintimidasi, apalagi kemudian mereka melakukan upaya di luar,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan bahwa jika melihat data dari 1999–2021, akumulasi kekerasan terhadap jurnalis paling tinggi terjadi di tahun 2021, “Kalau kita lihat tren data, kasus kekerasan terhadap jurnalis paling besar terjadi saat penolakan omnibus law,” katanya.
“Pada tahun 2020–2021, aktor kekerasan yang paling banyak dominan dilakukan oleh aparat penegak hukum, polisi, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah,” tambahnya.
Dalam hal ini, Hendry Sihaloho, mengungkapkan, AJI mencatat Januari–April 2021 sudah ada 3 peristiwa kekerasan yang terjadi di Lampung. Di mana kekerasan tersebut dialami oleh mahasiswa, “Kita perlu evaluasi, perlu refleksi kenapa kasus-kasus tersebut terjadi di Lampung,” ucapnya.
Tak lupa, diakhir diskusi Hendry Sihaloho berharap, kasus-kasus yang dialami oleh teman-teman mahasiswa tidak pernah terjadi lagi, “Dan ke depan perlu adanya solidaritas. Perlu bersama-sama untuk bersuara ketika muncul peristiwa-peristiwa seperti ini, karena yang kita bela adalah kebebasannya,” harapnya.
(Reporter/Novia)