Aji Indonesia Gelar Konferensi Pers, Fakta-Fakta Baru Kekerasan Terhadap Jurnalis Tempo
“Saya disekap di sana selama 2 jam. Selama itu saya dipukul, ditonjok dada, ulu hati kemudian ditampar, gendang telinga di itu dari belakang, samping dan sebagainya. Yang mukul itu ada lebih dari 10–15 orang,” ujar Nurhadi, Jurnalis Tempo saat menceritakan kasus kekerasan yang terjadi pada Sabtu (27/03/2021).
Cerita tersebut disampaikannya dalam Konferensi Pers “Fakta-fakta dalam Kasus Kekerasan Jurnalis Tempo, Nurhadi” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, via zoom meeting dan disiarkan langsung di kanal YouTube AJI Indonesia, Ahad (18/4/2021).
Turut hadir Fatkhul Khoir, Federasi Kontras, Salawati Taher, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, Arif Zulkifli, Dewan Pers, Anton Septian, Redaktur Eksekutif (RE) Majalah Tempo, dan Sasmito, Ketua Umum AJI Indonesia.
Dalam video berdurasi 11 Menit, Nurhadi bercerita, saat ia mendapat tugas dari kantornya untuk mewawancarai tersangka kasus suap pajak, Angin Prayitno Aji.
Mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu sedang menggelar resepsi pernikahan anaknya di Gedung Gerha Samudera Bumimoro (GSB) di kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal), Surabaya.
Nurhadi menjelaskan, kedatangannya ke pernikahan anak Angin, guna memberikan ruang bagi Angin untuk berbicara. Terlebih saat sudah ditetapkan sebagai tersangka, Angin sulit untuk ditemui.
“Tanggal 27, Sabtu itu saya tiba di lokasi acara di gerha setengah 7. Ketika jam 7 kurang lebih 15 menit saya berusaha saya masuk. Saya observasi acara di dalam. Saya sempat 2x moto pelaminan untuk memastikan bahwa posisi Angin di kiri ataupun kanan, karena saya berencana mewawancara setelah selesai acara. Jadi foto itu saya kirim ke redaktur sebagai tanda memberi kabar bahwa saya sudah di lokasi,” kata Nurhadi.
“Ketika saya ambil foto itu, ada dua orang berseragam batik mendekati dan mengintrogasi. Sekalipun saya sudah menyatakan diri sebagai wartawan Tempo, dia merampas hp saya, dan dua orang itu satu di antaranya memiting leher saya. Yang satunya sempat mau mukul dan kemudian saya tangkis dengan tangan,” lanjutnya.
Nurhadi juga menuturkan, introgasi ini bermula ketika ada seorang wanita menggunakan baju batik berseragam dan berhijab di dalam gedung. Memprovokasi dua orang tersebut untuk menghalanginya, “Dia ngomong, oh Tempo kalau nulis jelek-jelekin, udah hpnya disita aja.”
Tak hanya merampas telepon genggam korban, pelaku juga menghapus isi dan mematahkan kartunya. Menurut Nurhadi pelaku penganiayaan adalah dua oknum polisi dan sejumlah pengawal Angin. Selain kekerasan fisik yang dialami oleh Nurhadi, ia sempat mendapatkan banyak ancaman dari pelaku.
“Dia sempat bilang, UGD atau kuburan. Kemudian dia bilang kamu mau saya bawa ke Jakarta? Nanti pagi kamu ga bakalan lihat matahari. Kemudian ada ancaman yang bilang udah disekap aja sampe hari Senin ketika majalah terbit. Ada lagi yang bilang masukkin aja ke kolam lintah. Ada juga udah kita buang aja ke laut, terus kakinya kita bebani dengan batu,” jelasnya.
Kemudian kepala Nurhadi ditutup menggunakan plastik berwarna merah, sambil para pelaku mencoba menakut-nakutinya, “Ditakut-takuti mau disetrum katanya, terus sepatu, baju suruh melepas. Di antara mereka ada yang menginjak kaki saya. Ya ditampar, ditonjok, kayak udah maling,” ungkapnya.
Setelah ia bercerita, Nurhadi turut mengungkap sebuah fakta baru yang muncul. Ketika sedang dipukuli di dalam gedung, Ahmad Yani, salah seorang oknum aparat sempat melihat Nurhadi selama 5 menit. Namun, oknum tersebut tidak bertindak apa-apa.
Kejadian ini tentunya menjadi pembelajaran Nurhadi, bahwasanya aparat, terutama polisi tidak bisa semena-mena melakukan kekerasan terhadap siapapun. Apalagi kepada seorang jurnalis yang bekerja dilindungi oleh undang-undang pers. “Berharap ini kekerasan yang terjadi pada jurnalis, terakhir di kasus saya,” harapnya.
Fatkhul Khoir, Federasi Kontras, mengungkapkan, dalam hal ini kepolisian harus berani mengambil tindak tegas. Sebab pers adalah bagian dari pilar demokrasi dan upaya mendapatkan informasi itu juga diatur dalam undang-undang, “Ini akan menjadikan matinya demokrasi, karena wartawan tidak akan mungkin lagi meliput berita, apalagi terkait korupsi.”
Sama halnya dengan Fatkhul Khoir, Arif Zulkifli mengungkapkan, tindakan kekerasan terhadap Nurhadi adalah upaya penghalangan terhadap kebebasan pers. Sangat ditentang oleh undang-undang pers.
Arif menambahkan, pada 12 April 2021, dewan pers sudah mengutus saksi ahli, yang mana merupakan anggota lama dewan pers. Guna memberikan keterangan perihal prinsip-prinsip etika yang dijalankan Nurhadi terhadap penyelidik.
Anton Septian, mengatakan, Tempo mendukung Nurhadi untuk mendapat keadilan dan meminta polisi untuk menuntaskan kasus ini. “Sebagai wartawan yang sudah bekerja hampir 6 tahun, kami tahu betul bahwa Nurhadi memahami etika jurnalistik.”
“Nurhadi pernah mengikuti pelatihan jurnalisme investigasi di Tempo, kami tahu dia memiliki pemahaman dan pengetahuan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Bahkan, karya investigasinya pernah kami muat sebagai laporan utama,” tegasnya.
Dalam hal ini, Salawati Taher, mengungkapkan, pihaknya sudah memberikan banyak advice pada korban untuk melanjutkan atau tidak kasus ini masuk ke ranah hukum. Sebab saat berbicara tentang mengadvokasi, semua titik tumpunya ada pada korban.
“Apabila ditinjau dari hukum Indonesia, memang ini ada yang namanya deli pers bahwa ada penghalang. Ada penyensoran lalu penganiayaan, pasal 170. Ada perbuatan tidak menyenangkan, pasal 335. Juga kita masukkan pasal berlapis, jangan ada kebobolan,” tegasnya.
Lanjutnya, dalam hal ini apabila dikonstruksikan bahwa perkara ini punya 2 bukti permulaan naik dari penyelidikan ke tahap penyidikan dan penetapan tersangka. “Saat itu sekitar ada 10 sampai belasan orang itu sudah memenuhi unsur pelanggaran pasal 18 ayat 1 undang-undang pers yang menghalangi dan melakukan penyensoran terhadap kerja jurnalis,” ucapnya.
Lalu menurut pandangannya, Sasmito mengungkapkan, tindakan yang dilakukan oleh aparat merupakan tindakan yang biadab. Tentu AJI mendorong supaya kasus-kasus yang diduga dilakukan aparat ini dihentikan, diproses secara hukum yang berlaku. Ia menyayangkan adanya kasus ini, karena menambah daftar panjang kekerasan jurnalis yang dilakukan oleh polisi dalam beberapa tahun terakhir.
“Kasus Nurhadi ini dari buktinya sudah cukup banyak dari bukti saksi-saksi, karena kasus-kasus oleh aparat kepolisian selama ini belum ada yang tuntas satupun.”
Ia juga menjelaskan bahwa saat ini AJI Indonesia sudah melaporkan kasus ini ke Komnas HAM. Pihak AJI sudah bertemu dengan Mahfud MD, Menkopolhukam, untuk mengawal kasus ini sampai selesai. “Harapan kita kasus kekerasan terhadap jurnalis bisa dihilangkan ke depan,” harapnya.
(Reporter/Novia)