Aku dan Keluhanku
Mengeluh… Memang pernah aku mengeluh…
Mungkin bukan hanya sekali
karena jumlah pasir yang ada dilautan itu mungkin lebih sedikit dari keluhku
Tidak usah kubandingkan diriku dengan mutiara dilautan yang selalu berkilau manis
Tak peduli sekuat apapun kamu menderanya,
tak peduli dari kedalaman apapun ia timbul, itu teramat dalam bagiku
Aku saja masih ragu apakah aku tidak lebih rapuh dari sampan kecil itu,
yang sudah bertahun-tahun terendam oleh air
Memang pernah kamu mengeluh…
Tentu saja peluh yang membuat bentengmu luruh
Tentu saja gaduh yang membuat kehilangan teduh
Jika letih berulang sekali lagipun, ataupun kita telah melalui letih yang sama itu berkali-kali,
dan kita tahu kita pernah melompatinya
Lalu kenapa kita selalu tidak bisa membuang prasangka terhadap letih yang selalu menghampiri itu
Mungkin kita akan tetap duduk pada pantai sendu yang sama,
mentari redup yang sama, jalan lambat yang sama,
dan setiap hal yang sama itu semua tentang keluhan kita
Memang tak terbilang keluhan kita
Bukan hanya tentang tebing, tapi juga tentang pasir, tapi juga tentang debu
Tapi hari ini kita sudah memutuskan
Kita akan menggenggam tali yang dapat mengikatnya sekencang mungkin,
sekencang yang kita bisa
Kita akan mempunyai kekuatan untuk mendaki, sekuat yang kita mampu
Hari ini aku dan kamu sudah sejalan, sekata, bahkan semakna
Keluh itu kita tuliskan saja diatas pasir putih itu…
Kalaupun nanti kita masih saja menangis
Keluh itu akan pergi tersapu oleh ombak itu
Kalaupun nanti kita masih terpaksa menangis…
Baiklah, kita tangiskan saja dalam bisik
Lalu bisik itu kita lipat dalam sebuah amplop
Kita tutup hati-hati
Lalu dimalam yang gelap kita kirimkan kepada Allah
Jika tangis itu masih tumpah lagi
Kita siapkan setumpuk amplo lagi
Kali ini kita lipat sepucuk kebahagiaan lalu kita bagi-bagikan di jalan-jalan yang lebih dingin dari birunya hati kita. Amploap-amploap itu akan kembali dengan sehelai kebahagian untuk kita. Jika tangis itu masih meluap juga…
Begini saja, kita hitung berapa hari kita singgah di dunia ini,
tumpuk jumlah hari itu
Lalu kita susun jumlah hari yang akan kita tempati di akhirat nanti
Nanti kita akan menyadari waktu yang kita pikul teramat kilat dibanding waktu yang akan kita habiskan untuk menjelajahi sungai-sungai di bawah taman surga
Sebagian jiwa kita…
memang diciptakan sebagai pengeluh nomer satu
Tapi sebagian lainnya diciptakan sebagai petarung nomer satu
Dan kamu aku, hari ini, sudah sejalan, sekata dan semakna.(Ika Dharmawati)