Kronika

AJI Bandar Lampung IAIN

Catahu 2021 AJI Bandar Lampung: Kekerasan, Profesionalisme, dan Kebebasan Berekspresi di Persimpangan

  • Desember 31, 2021
  • 4 min read
  • 422 Views
Catahu 2021 AJI Bandar Lampung: Kekerasan, Profesionalisme, dan Kebebasan Berekspresi di Persimpangan

“Mencoba untuk membungkam Jurnalis dengan berbagai bentuk, itu sama saja mengebiri hak publik atas informasi,” ujar Hendry Sihaloho, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2021 AJI Bandar Lampung via Zoom Meeting, Jumat (31-12-2021).

 

Dalam konferesi pers tersebut, terungkap berbagai peristiwa terkait pelanggaran kebebasan pers di Provinsi Lampung yang terus meningkat. Catatan penting AJI pada 2021 ini masih menyoal kasus kekerasan terhadap jurnalis, profesionalisme jurnalis, dan kebebasan berekspresi.

 

Terdapat 7 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2021, sesuai data dari Bidang Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Bandar Lampung. Perinciannya, 4 jurnalis mengalami intimidasi, 1 jurnalis menerima ancaman pembunuhan, 1 jurnalis menerima ancaman untuk menghapus berita, dan 1 lainnya dilarang meliput.

 

Secara umum, pelaku kekerasan berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari karyawan swasta, aparat penegak hukum, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bahkan kepala daerah. Artinya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis merupakan orang berpendidikan dan paham soal hukum.

 

AJI sangat mengecam segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis, apalagi terhadap kerja-kerja jurnalistik. Sebab, kegiatan jurnalistik berguna untuk menjalankan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. “Keberadaan jurnalis untuk menjalankan fungsi kontrol. Sebab, bila roda kekuasaan tidak dikontrol, bagaimana publik bisa tahu jika ada penyalahgunaan kekuasaan,” ucap Hendry.

 

Persoalan lain yang menjadi catatan AJI Bandar Lampung adalah persoalan klise terkait profesionalisme jurnalis. Pelanggaran yang dilakukan oleh jurnalis pada 2021 berupa pemerasan dan sikap jurnalis yang mengganggu narasumber. Kasus pemerasan yang tercatat pada tahun ini meningkat menjadi tiga kasus, apabila pada 2020 tercatat sebanyak dua kasus. Pemerasan dilakukan dengan dalih agar tidak memberitakan kasus yang ia liput.

Baca Juga:  Pasca Sepekan Perpanjangan, Subsidi Masih Menunggu Janji

 

Menurut pandangan AJI, jurnalis seyogianya mengedepankan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 6 KEJ mengatur bahwa wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Kemudian, Pasal 1, 2, dan 9 KEJ menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, tidak beriktikad buruk, dan menghargai hak narasumber tentang kehidupan pribadinya.

 

Perilaku tersebut, menurut AJI, adalah perilaku yang merusak citra profesi jurnalis di masyarakat. Hal tersebut dapat mengurangi tingkat kepercayaan publik terhadap pers. Padahal, jurnalis mempunyai tanggung jawab moral untuk tetap menjaga kepercayaan publik, dengan tidak menyalahgunakan profesi jurnalis dengan cara apa pun.

 

Selain kekerasan terhadap jurnalis dan profesionalisme jurnalis, AJI Bandar Lampung juga menyoroti terkait kebebasan berekspresi warga negara. Tercatat sebanyak empat kasus kebebasan berekspresi yang dilanggar. Angka tersebut meningkat dua kali lipat pada 2020 yang tercatat sebanyak dua kasus.

 

Empat kasus tersebut di antaranya kriminalisasi mahasiswa yang dilakukan terhadap mahasiswa Universitas Bandar Lampung (UBL). Mereka dilaporkan ke polisi usai berunjuk rasa menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT). Laporan tersebut dilakukan oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UBL, Bambang Hartono pada 19 Februari 2021. Tuduhannya berupa penghasutan dan pelanggaran kekarantinaan kesehatan.

 

Pelanggaran lain mengenai kebebasan berekspresi berupa surat peringatan agar tidak berdemo, diberikan kepada lima mahasiswa Politeknik Negeri Lampung (Polinela) yang baru berencana menggelar aksi lanjutan penurunan UKT pada Rabu, 17 Maret 2021.

 

Beberapa bulan kemudian, mantan Presiden Mahasiswa Polinela, Yongki Davidson, dituduh sebagai provokator dan mendapatkan surat peringatan setelah demo lanjutan pada Selasa, 28 September 2021. Sebelumnya, Yongki dan dua mahasiswa Polinela mendapat surat pemanggilan orang tua terkait aksi tersebut pada Senin, 13 September 2021.

Baca Juga:  Upacara Hari Sumpah Pemuda, Langkah Awal Menuju Metro Lebih Baik

 

Kasus terakhir diterima Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung. Akun resmi Instagramnya sempat hilang pada Sabtu, 25 Desember 2021, sekitar pukul 11.57 WIB. Hal tersebut terjadi, diduga sebagai upaya untuk melemahkan advokasi yang sedang dilakukan LBH Bandar Lampung. Media sosial yang digunakan LBH Bandar Lampung, berguna sebagai medium untuk menyatakan ekspresi dan pendapat.

 

Selain mengungkap berbagai kasus di atas, melalui konferensi persnya, AJI menyampaikan beberapa rekomendasi. Pertama, masyarakat selaku pemangku kepentingan, perlu menghormati aktivitas jurnalistik. Keberatan terhadap produk jurnalistik dapat menggunakan hak jawab dan koreksi yang mekanismenya diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

Kedua, komunitas pers perlu serius dalam menyikapi kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, sulit memutus rantai kekerasan tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dari komunitas pers. Keseriusan tersebut dapat dilakukan dengan tidak permisif terhadap segala bentuk kekerasan.

 

Ketiga, Jurnalis mematuhi Kode Etik Jurnalistik dalam bekerja. Jurnalis harus bersikap profesional, independen, dan mengutamakan kepentingan publik. Sebab, ketidakprofesionalan dapat memicu kekerasan terhadap jurnalis.

 

Keempat, masyarakat yang menemui perilaku jurnalis tak profesional dapat melapor ke perusahaan media di mana jurnalis tersebut bekerja, organisasi wartawan, maupun Dewan Pers.

 

Terakhir, perguruan tinggi yang termasuk pengambil kebijakan di masing-masing instansi atau lembaga, sudah seharusnya menghormati ekspresi warga negara. Penghormatan terhadap kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat adalah keniscayaan. Sebab, demokrasi menuntut ekspresi warga.

 

(Reporter/Nurul)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *