Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, mengadakan Webinar Kekerasan Gender dan Toxic Relationship Series 2, bertemakan Gender dan Radikalisme, dilaksanakan via Zoom Meeting, Selasa (06/07).
Turut hadir Aguswan Khotibul Umam, Ketua LPPM, Elfa Murdiana, Kepala Pusat Penelitian dan Penerbit (Puslit) IAIN Metro, Dewi Masitoh sebagai Moderator, dan Haula Noor, Lies Marcoes, serta Ulil Absar Abdala sebagai narasumber, beserta 115 peserta Webinar berasal dari IAIN Pontianak, IAIN ponorogo, UIN Mataram, dan sebagainya.
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan pencerahan mengenai makna jihad sehingga generasi islam tidak menjadi pelaku teroris.
Pada materi pertama, Haula Noor menyampaikan bagaimana perempuan dan anak terlibat jaringan terorisme. Terdapat empat proses yang dilalui, yaitu cognitive opening, religious seeking, Frame Aligment, dan Socialisation. Selain itu, peran penting keluarga sangat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung.
Peran tersebut terbagi menjadi tiga kategori, di antaranya active jihadist, inactive jihadist, dan non-jihadist. Namun, yang paling relevan dibahas saat ini menurut Haula adalah Non-jihadist karena seseorang bisa terlibat dalam jaringan terorisme padahal tidak dari keluarga teroris.
Selanjutnya materi kedua disampaikan oleh Lies Marcoes tentang analisis sosial kajian gender dan radikalisme. Ia mengatakan bahwa Perempuan founder Rumah Kita Bersama memberitahu alasan mengapa perempuan bisa terlibat dalam aksi radikalisme.
“Mereka melihat ketidakadilan itu. Agenda itu, kejahatan kemanusiaan yang terjadi, tapi mereka nggak ngerti harus ngapaian, dan feminis nggak mendampingi mereka,” ungkapnya.
Sementara materi ketiga di sampaikan oleh Ulil Absar Abdala terkait memotret geneologi kajian gender dan radikalisme. Di dalam materinya ia mengatakan pendapatnya tentang
pandangan ulama pada umumnya mengenai jihad adalah sama, yaitu jihad wajib hanya bagi laki-laki saja.
“Perempuan boleh berperan dalam jihad namun tidak dalam peperangan. Misalnya mengobati korban-korban yang terluka atau meninggal,” terangnya.
Di akhir penghujung Webinar ini ditutup dengan penyampaian statement oleh Elfa Murdiana. Menurutnya, tema-tema mengenai gender dan radikalisme tidak pernah usang, dan sebagai masyarakat akademisi harus terus mengulik dan mengkaji sehingga menemukan bagaimana solusi terbaik untuk perubahan sosial.
“Perubahan sosial itu akan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang terjadi. Bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan radikalisme yang melibatkan perempuan dan anak,” pesannya.
(Reporter/Guntur/Nurul)
Baca Juga:
PSGA Lecture Series #1, Waspada Kekerasan Gender dan Toxic Relationship