Gratifikasi merupakan tindakan pemberian materi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Perbuatan tersebut termasuk salah satu perbuatan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ketentuan tersebut berlaku bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara, termasuk yang menjalankan tugas di sektor pendidikan. Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi:
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.”
Ketentuan mengenai gratifikasi tersebut juga menjadi rujukan bagi institusi pendidikan tinggi dalam menyusun kebijakan internal. Sejumlah perguruan tinggi menerapkan langkah pencegahan melalui penerbitan surat edaran serta kegiatan sosialisasi kepada civitas academica terkait larangan gratifikasi.
Tak berbeda dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Jurai Siwo Lampung (Jusila), perguruan tinggi Islam ini pernah menerbitkan Surat Edaran (SE) Rektor terkait larangan gratifikasi. Surat tersebut bernomor 3915/In.28/R/PP.009/11/2019 yang mengatur tentang larangan pemberian makanan atau bingkisan saat sidang.
Surat ini menjadi salah satu acuan dasar bagi seluruh civitas academica, khususnya pemegang jabatan struktural di UIN Jusila, agar menjalankan tugas secara profesional dan berintegritas. Sementara itu, pada 22 Juli 2025 lalu, diturunkan kembali surat bernomor B-2455/In.28/R/HM.00/07/2025, perihal diseminasi materi pemahaman dan pengendalian gratifikasi di lingkup UIN Jusila.
Menengok penerapannya di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Dekan FTIK, Siti Annisa menjelaskan, bahwa di tingkat fakultasnya tidak diterbitkan surat khusus larangan gratifikasi. Meski demikian, FTIK tetap menyosialisasikan larangan gratifikasi sesuai arahan dari surat yang diturunkan Juli lalu.
“Di FTIK tidak ada, tetapi di lembaga UIN Jusila sudah ada edaran larangan gratifikasi dan setiap fakultas sudah diminta untuk menyosialisasikan kepada dosen dan tenaga kependidikan (Tendik). Sosialisasi ini sudah berjalan dari bulan Juli tahun 2025,” ujarnya saat ditemui Kronika di ruangannya, Selasa, (18/11/25).
Ia juga berpandangan jika tidak terdapat gratifikasi di FTIK, tetapi ia sempat mendengar adanya oknum dosen yang mengambil pungutan liat (Pungli) kepada mahasiswanya. Meski begitu, menurutnya hal-hal tersebut hanya bisa ditindak ketika terdapat laporan langsung dari mahasiswa yang bersangkutan.
“Tidak ada gratifikasi, kalau pungli secara langsung tidak pernah melihat, tetapi pernah mendengar ada omongan seperti ‘dosen A meminta ini, dosen B meminta itu’, contohnya seperti itu. Hanya saja kami butuh laporan secara resmi,” tegasnya.
Mengenai tindakan yang dapat diambil mahasiswa ketika terjadi hal seperti itu, ia menegaskan bahwa mekanisme penanganan dugaan gratifikasi telah disiapkan. Setiap laporan yang masuk akan diproses sesuai prosedur yang berlaku.
“Sudah ada tempat pelaporan di pengaduan masyarakat (Dumas), tentu ada mekanisme yang berlaku untuk gratifikasi. Nanti akan kita tindak sesuai dengan data yang ada, karena harus dipelajari terlebih dahulu,” tegasnya.
Sementara membahas pencegahan gratifikasi di lingkungan kampus, ia menerangkan jika hal itu dapat dilakukan melalui penyampaian informasi tentang gratifikasi secara berkelanjutan kepada dosen dan tendik. Upaya ini bertujuan agar setiap unsur memahami batasan mengenai hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang dalam menjalankan tugasnya.
“Kita lakukan sosialisasi, memberi pemahaman kepada dosen, tendik, dan civitas academica, mana yang termasuk gratifikasi dan mana yang bukan. Juga memberikan pemahaman agar bekerja sesuai tanggung jawab dan kewajiban, artinya di sini sudah ada aturan, mana yang menjadi hak kita dan mana yang bukan, kita harus tahu,” ujarnya.
Langkah tersebut dinilai mampu meningkatkan pemahaman dosen dan tendik mengenai apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mengingat gratifikasi dapat terjadi bahkan dalam kondisi kecil yang tidak disadari.
“Dengan paham gratifikasi, mereka akan bisa menjaga diri, dan itu efektif untuk di FTIK. Jika terbukti melanggar, konsekuensi sesuai dengan aturan yang ada,” ujarnya.
Setelah dilakanakannya sosialisasi tersebut, Siti Annisah berharap agar gratifikasi tidak terjadi di lingkungan kampus. “Semoga dengan adanya sosialisasi dan pemahaman yang baik, harapannya tidak akan terjadi gratifikasi di FTIK maupun fakultas lain,” ungkapya.
Tanggapan datang dari Aprilia Ayu Maharani, Tadris Biologi (TBIO’22). Menurutnya, tindakan gratifikasi perlu mendapat perhatian serius, karena berpotensi merusak integritas serta menurunkan kepercayaan serta profesionalisme di lingkungan kampus.
“Menurut saya hal tersebut memang harus lebih diperhatikan lagi. Karena dampaknya bisa merusak integritas dan kepercayaan dalam lingkungan kampus,” tegasnya.
Ia juga berharap agar seluruh pihak memiliki kesadaran kolektif untuk menjunjung keterbukaan serta saling mengingatkan apabila terjadi penyimpangan, guna menjaga tata kelola birokrasi yang bersih di FTIK.
“Semoga semua pihak bisa lebih sadar dan terbuka untuk menjaga transparansi, serta saling mengingatkan kalau ada hal-hal yang sudah mulai melenceng. Karena budaya bersih itu kan penting untuk dijaga bersama agar lingkungan FTIK tetap sehat dan profesional,” harapnya.
Tanggapan serupa disampaikan Rara Maharani, mahasiswa Tadris Matematika (TMTK’22). Ia menegaskan, bahwa praktik gratifikasi tidak dapat dipandang sebagai persoalan sepele. Menurutnya, setiap pemberian yang bersinggungan dengan kepentingan akademik atau posisi tertentu mudah terjadi gratifikasi.
“Kalau ada pemberian yang terkait proses akademik atau jabatan, itu rawan menimbulkan kepentingan tertentu. Intinya, hal tersebut harus dicegah dan ditangani dengan jelas supaya tidak menjadi kebiasaan,” tuturnya.
Ia berharap agar kampus tetap menjunjung tinggi kultur kerja yang terbebas dari perilaku curang dan segala sistem pelaporan dipermudah serta berjalan dengan transparan, supaya seluruh civitas academica bisa paham aturan yang berlaku.
“Mekanisme pelaporannya juga harus sederhana dan mudah diakses. Dosen, staf, maupun mahasiswa diharapkan paham aturan, tahu mana yang boleh dan tidak, dan berani menolak kalau ada pemberian yang tidak semestinya,” harapnya.
Robi Nurhadi, mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI’22), turut menyampaikan pandangannya. Ia menilai gratifikasi berpotensi muncul di berbagai sektor. Simpang siur mengenai tindakan gratifikasi yang ia dengar dikalangan mahasiswa menunjukkan, bahwa fenomena tersebut membawa dampak yang merugikan.
“Terkait gratifikasi umumnya pasti ada di setiap lini, terkhusus di kampus selain FTIK pun ada. Sepengetahuan saya, berdasarkan apa yang pernah saya lihat dan dengar dari beberapa teman seperti itu. Kalau di FTIK sendiri, sebenarnya minim, tetapi tiap kasus itu lumayan merugikan dan gratifikasinya pun lumayan juga,” ujarnya.
Ia berharap pembenahan pencegahan gratifikasi dimulai dari penguatan sistem. Dengan perbaikan tersebut, diharapkan tercipta iklim akademik yang mendorong keberanian untuk bersikap jujur dan melaporkan penyimpangan tanpa rasa khawatir.
“Harapannya dari sistemnya harus adil, transparan, dan ditindak tegas. Mahasiswa tidak mendapat edukasi, dosen pun bersifat kekeluargaan, membuat mahasiswa tidak berani membuka suara,” tutupnya.
Reporter/Aena/Habibila/Sasi