Kronika

Opini

IAIN : Harapan Transformasi Keilmuan

  • Februari 8, 2016
  • 5 min read
  • 149 Views

kak didikOleh : Didik Kusno Aji

Staf pengajar di Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam

 

Aset terbesar sebuah bangsa adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Sedangkan aset yang sangat berharga adalah Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Disadari atau tidak, Indonesia yang memiliki Sumber Daya manusia yang cukup besar memiliki potensi dalam menciptakan sumberdaya yang berkualitas. Perguruan Tinggi sebagai salah satu lembaga pencetak generasi berkualitas diharapkan terus mengikuti perkembangan terkini sesuai kebutuhan zaman. Dalam kacamata Islam, perguruan tinggi tentu memiliki peran yang cukup sentral sebagai wadah dalam membina dan meneruskan tradisi keilmuan secara luas.

Jika kita lihat perkembangan dunia pedidikan dari masa ke masa. Maka perguruan tinggi adalah bagian yang tak terpisahkan di era modern seperti saat ini. Sebagai bagian integral yang tidak bisa terpisahkan dengan dunia pendidikan, perguruan tinggi memegang peranan penting dalam rangka menyiapkan kualitas SDM yang memiliki daya saing baik dalam kancah lokal, nasional maupun global.

Ada beberapa hal yang bisa disiapkan dalam rangka memenuhi standar kualifikasi pendidikan di era global seperti saat ini; pertama, kurikulum. Kurikulum dalam pendidikan tinggi memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan arah kualitas pendidikan. Maka, sebuah desaian kurikulum yang baik mutlak diperlukan, idealnya sebuah kurikulum harus selalu up to date dan menaungi berbagai kondisi terkini. Maka, jika sebuah kurikulum yang usang dipaksakan untuk dilaksanakan, tentu bisa berdampak pada kualitas pendidikan yang dijalankan. Kedua, tenaga pengajar.  Selain kurikulum, tenaga pengajar juga tak kalah penting. Sebab tenaga pengajar akan mengarahkan dan memberi bimbingan peserta didik untuk mencapai standar yang telah ditentukan dalam kurikulum. Ketiga, fasilitas atau sarana. Dalam dunia pendidikan, walaupun saran dan fasilitas terlihat hanya sebagai pelengkap, namun sejatinya, fasilitas ini akan sangat membantu dalam mencapai sasaran yang diinginkan oleh perguruan tinggi. Suatu contoh jika komponen pertama dan kedua terpenuhi dengan baik, namun fasilitas atau sarana kurang memadahi, maka akan berdapak pada ketercapaian standar yang kurang maksimal. Keempat, Jaringan. Di era global seperti saat ini, tidak bisa dipungkiri, bahwa komunikasi dan hubungan dengan berbagai stakeholder akan terasa sangat membantu. Jika semua komponen ini berpadu, maka hasil yang dinginkan dalam sebuah pembelajaran akan bisa terlihat secara lebih nyata.

Baca Juga:  Gelar Workshop Barista, BESE IAIN Metro Kenalkan Tentang Kopi

 

STAIN VS IAIN

Diakui atau tidak, kondisi global saat ini memaksa kita untuk mempersiapkan diri secara maksimal. Terlebih, pasar ASEAN yang ada di depan mata saat ini, membutuhkan kesiapan kita, baik secara mental maupun kualitas. STAIN, sebagai bagian dari perguruan tinggi yang mencetak SDM tidak bisa menutup diri dengan fenomena tersebut. Maka, kondisi ini mengharuskan kita untuk mempersiapkan berbagai komponen yang ada secara baik dalam rangka memenuhi standar dasar penyelenggaraan.

Berangkat dari kondisi tersebut, maka menarik untuk ditelaah lebih lanjut berkait dengan apa sesungguhnya urgensi perubahan alih status dari STAIN menjadi IAIN. Begitu mendesakkah? Sebuah tuntutan zaman atau sebuah keharusan dalam rangka transformasi pengetahuan.

Pertanyaan mendasar ini menarik untuk diajukan sebelum kita terjebak pada mainstream tanpa dasar. Jika dilihat dari aspek historis, pada tahun 1960, bahwa latar belakang berdirinya IAIN sebagai lembaga Pendidikan Tinggi Agama Islam adalah untuk memenuhi pengharapan kaum muslimin yang berkaitan dengan dua hal, yaitu harapan sosial (social expectation) dan harapan akademis (academic expectation). Dalam kerangka kedua ekspektasi ini, maka umat Islam mengharapkan lahirnya pemikir dan pemimpin-pemimpin Islam atau para ulama terkemuka dari IAIN. Untuk itu, sebagai tempat menghasilkan para pemikir Islam, IAIN harus menciptakan iklim yang kondusif dimana terdapat suasana yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya ide-ide segar berkenaan dengan pengamalan dan aktualisasi ajaran-ajaran Islam menyongsong era yang semakin modern. Tugas utama IAIN berdasarkan dua harapan tersebut adalah menjaga purifikasi nilai-nilai Islam dan mendakwahkannya ditengah-tengah kaum Muslimin serta mengungkap aspek esoteris agama Islam dan membawanya keranah kajian dan penelitian ilmiah.

Pengembangan dan konversi STAIN menjadi IAIN tentu bukanlah sekadar proyek fisik, dengan hanya menggubah struktur gedung menjadi lebih luas, menambah berbagai fasilitas dan sarana pembelajaran. Namun perubahan tersebut sekaligus merupakan proyek metamorfosis kearah keilmuan yang lebih berkualitas dan kompetitif. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan pola pikir yang bernafaskan keagamaan dalam ranah ilmiah menjadi proyek besar yang harus diwujudkan secara nyata. Selaian itu, aktualisasi para lulusan ditengah masyarakat menjadi hal yang tak bisa dikesampingkan begitu saja. Setidaknya perubahan nama dari “ST” menjadi “I” tidak hanya sekadar status dan ajang adu gengsi semata.

Baca Juga: 

Berangkat dari hal tersebut, maka penting untuk diketengahkan apa sesungguhnya urgensi yang mengharuskan perlunya  perubahan STAIN menjadi IAIN. Tidak bisa dipungkiri, sampai saat ini, salah satu kegelisahan yang menghantui PTAIN adalah menyangkut cara pandang tentang agama dan ilmu yang bersifat dikotomik, dimana menempatkan masing-masing agama dan ilmu pengetahuan secara terpisah. Hal ini terjadi lantaran ajaran Islam yang diyakini bersifat universal, ternyata pada tataran implementasi justru diposisikan secara marginal dan dipandang kurang memberikan kontribusi yang signifikan pada pengembangan peradaban manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat, justru nyaris tak ada sentuhan berarti dari perguruan tinggi Islam. Maka dengan hadirnya IAIN, terlebih Universitas, maka citra dikotomi tersebut perlahan akan terkikis, lantaran semakin banyak dibukanya keilmuan-kelimuan yang notabene-nya adalah basis keilmuan umum.

Lalu, secara institusional, IAIN dinilai lebih bergengsi dibanding STAIN, terlebih jika status tersebut berubah menjadi universitas. Namun, dari berbagai sisi positif tersebut, tidak sedikit yang memiliki pemikiran khawatir dengan transformasi tersebut. Ada banyak pertanyaan yang diajukan : apakah keilmuan agama yang menjadi ciri khas keislaman akan terus lestari? atau perlahan akan terpinggirkan secara alami? Faktanya, saat ini tidak sedikit fakultas keagamaan di banyak IAIN justru sepi peminat. Sebut saja misalnya pada fakultas Ushuluddin.

Maka, harus ada konsep yang matang untuk menyongsong alih status tersebut. Sehingga, stigma negatif trasformasi tersebut tidak hanya sekadar formalitas dan menaikan gangsi kelembagaan semata. Namun yang paling penting adalah peningkatan kualitas SDM yang dihasilkan dari lulusanya.[]

 

Metro, 28 September 2015

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *