Kalianda Pasca di Gulung Ombak
Mentari masih tesipu malu dibalik awan kelabu, sementara rinai masih asik bercengkrama dengan bumi. Selasa, 1 Januari 2019 kendaraan roda dua menjadi pengantar kami menuju Kalianda, lokasi tsunami yang terkena dampak erupsi anak krakatau dan menyisipkan duka pada 23 Desember 2018.
Saya dan tim menuju lokasi peliputan pasca terjadinya bencana tsunami selat sunda. Hari beranjak siang, matahari perlahan mengintip dibalik awan yang perlahan mulai memudar, lalu-lalang kendaraan mulai ramai, jalanan mulai terasa sesak oleh pengendara yang melintang.
Tak heran, karena hari ini hari libur tahun baru menjadi kesempatan untuk berlibur atau sekadar merayakan tahun baru. Di seperempat perjalanan kami berhenti, mencoba mengira-ngira seberapa jauh jarak yang akan kami tempuh.
Salah satu tim kami dengan cekatan mengeluarkan telepon genggamnya, membuka aplikasi peta online untuk menemukan jalur terdekat menuju lokasi. Setelah tiga jam perjalanan hawa dingin dataran tinggi kalianda mulai terasa. Akhirnya, kami memasuki jalan beraspal yang tidak terlalu lebar menuju kecamatan Rajabasa.
Sekitar pukul 1 siang kami tiba di lokasi, pemandangan puing-puing rumah yang menyisakan bekas sapuan tsunami beberapa waktu lalu. Kami tertegun, sebelumnya kami hanya bisa menyaksikan di depan layar kaca televisi dan handphone, hari itu kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kami terus berjalan sembari menatap ke arah laut yang tepat di sebelah kanan kami.
Hamparan puing-puing rumah makin jelas terlihat, bangunan sekolah pun ikut runtuh diterjang, tak cuma itu, bangunan rumah makan dan bilik-bilik besar pun hampir rata dengan tanah yang disinyalir bagian dari fasilitas objek wisata di bibir laut Kalianda.
Kemacetan sering terjadi di sepanjang perjalanan, banyaknya mobil pick up berisi bala bantuan dari Organisasi Masyarakat (Ormas) dan pemerintah mengantri untuk lewat, karena diameter jalan yang tak begitu lebar jalan ini hanya mampu menampung satu mobil kecil untuk dilintasi.
Mobil bertulis Palang Merah Indonesia (PMI), Ambulance, serta bala keamanan dari Polisi turut mewarnai antrean di sepanjang jalanan, terkadang jalanan yang dilewati dihiasi oleh lubang berlumpur.
Kami berhenti sejenak mendengar kerasnya deburan ombak yang jaraknya cukup dekat dengan lintasan jalan yang kami lalui, terlihat hamparan pantai indah yang kami yakini sebelumnya tempat ini merupakan daerah objek wisata yang amat laris di Kalianda, kami menghentikan kendaraan di daerah ini, menapakkan kaki dan menyadari sebuah papan tulisan Wisata Krakatau.
Desa Way Muli Induk, Dusun Gerpu merupakan nama desa yang diterjang bencana tsunami selat sunda. Sulaiman Hakim, salah satu korban selamat bencana tsunami selat sunda mengatakan jika ia selamat dari bencana beserta dengan anak dan istrinya. Namun, nasib nahas menimpa dua tetangganya yang terseret ombak saat tsunami terjadi.
Menurutnya, pasca tsunami meluluhkan desa ini, bala bantuan datang untuk membantu para korban, “Setelah pasca tsunami bantuan pemerintah dan Ormas lancar, pasokan makan di pengungsian 3 kali sehari, dan layanan kesehatan sudah mencukupi. Semoga kami bisa secepatnya bisa bangkit lagi, pemerintah juga secepatnya tanggap mengenai pembangunan disini,” kata dia.
Tak jauh, terlihat alat berat sedang bekerja membersihkan puing-puing rumah warga. Andi Azwar, merupakan salah satu relawan yang ditugaskan oleh kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membersihkan sisa puing bangunan ini sudah bertugas selama 10 hari.
Kami melanjutkan penyusuran melewati gang sempit menanjak, terlihat orang-orang ramai berkumpul bersama dengan tumpukan kardus-kardus membuat kami penasaran. Ternyata tempat ini merupakan posko pengumpulan bantuan untuk para korban tsunami bertempat di Masjid Jami’ Desa Way Muli.
Terlihat beberapa lembaran kertas menempel di papan tulis yang terpasang, di sana berisi jumlah data korban tsunami. Tertulis sebanyak 23 jiwa meninggal, 27 jiwa luka ringan, 60 jiwa luka berat, pengungsi dampak langsung sebanyak 349 jiwa atau 87 Kepala Keluarga, pengungsi dampak tidak langsung 1.300 jiwa, bangunan rusak berat 70 unit, dan bagungan rusak ringan 33 unit, dengan total jumlah penduduk desa 2.376 jiwa.
Lalu-lalang relawan sibuk membawa kardus berisi berbagai macam bahan kebutuhan untuk di masak. Juleha, merupakan warga desa yang selamat karena rumahnya tak terkena terjangan tsunami bertugas sebagai juru masak untuk para korban.
Ia mengaku sudah 10 hari menjadi juru masak untuk para korban di posko. Awalnya Juleha memasak 3 kali dalam sehari, tetapi saat mulai banyak posko yang berdiri juleha hanya memasak 2 kali saja salam sehari. Sayur mayur, ikan kaleng siap saji, telur, dan tempe, menjadi lauk pauk setiap harinya.
Selanjutnya, kami bergegas menuju posko pengungsian terdekat. Untuk sampai di lokasi pengungsian kami harus melawati medan yang cukup sulit. Bagaimana tidak, tanjakan terjal cukup menguras tenaga kami. Tampak tenda-tenda berwarna biru di tengah hutan menjadi tempat pengungsian yang nyaman bagi mereka meski dikelilingi pohon-pohon besar dan rumput-rumput liar.
Mobil pick up yang membawa sembako dan makanan siap saji dikerumuni warga, dengan sedikit antrean satu persatu makananan dibagikan. Tempat ini menjadi salah satu posko pengungsian yang ada di kecamatan Raja basa. Senyum riang tergambar dari bibir-bibir mungil anak-anak penghuni posko meski mereka masih diselimuti duka.
Yoresman, satuan Komando Distrik Militer (Kodim) 0421 Lampung Selatan yang bertugas sejak seminggu yang lalu, karena sistem dari Kodimnya menuturkan sebanyak 118 jiwa korban meninggal di kecamatan Raja Basa.
Mentari nampak menyulut cakrawala, kami memutuskan untuk kembali ke Kota Pendidikan, di perjalanan ban motor salah satu tim kami bocor, kami menyusuri jalan sambil mencari tempat penambal ban. Dari kejauhan terihan antrean sepeda moto berjajar untuk di perbaiki, kami berhenti dan menunggu giliran. Tak lama, ban sudah kembali seperti semula. Tuas roda perlahan meninggalkan rumah dengan puing-puingnya yang roboh, kemacetan kembali terjadi di jalur yang sama ketika kami datang.
Semakin lebar jalan yang kami lewati, semakin jauh pula suara deburan ombak yang terdengar.Jalan raya telah menyambut kami dengan raut rona jingga manja menyapa, semilir angin menerpa hayati. Kelap kelip lampu dari rumah warga disepanjang jalan raya menggantikan senja yang harus meninggalkan sandarannya, kini saatnya rembulan yang mengambil alih posisi.
Kenangan beberapa waktu yang tak lama berlalu tetap mengelayuti pikiran yang menjadi pelajaran supaya rasa duka yang dirasakan saudara kita ikut kita rasakan bersama.
(Reporter/Nissa)