Kronika

Profil

Kapasitas

  • Juni 11, 2012
  • 6 min read
  • 75 Views
Kapasitas

Semagkuk Cocktail Cinta
Pimum KRONIKA 2012

Anda bertanggung jawab atas kehidupan anda. Anda tidak bisa terus-menerus menyalahkan orang lain untuk kesalahan-kesalahan dalam kehidupan anda.
Operah Winfrey pemandu acara “the oprah winfrey show” tahun 1986, dan pemilik “the oprah magazine” sejak tahun 2000.
Mahasiswa, merupakan sebutan yang sakral untuk sekelompok orang yang mau memaknai kalimat tersebut. Berasal dari dua buah suku kata, “maha” dan “siswa”. Maha yang merupakan gelar yang hanya patut dimiliki oleh Tuhan. Sehingga ketika seorang mengenakan gelar maha, sudah seharusnya dia akan memiliki pengaruh yang kuat sebagaimana Tuhan memiliki kekuatan tersebut. Sedangkan siswa adalah sebutan untuk penuntut ilmu. Ketika digabungkan maka akan memiliki makna penuntut ilmu yang memiliki kekuatan lebih, yang mampu merubah keadaan dengan semangat idealisme yang tinggi.
Dengan gelar yang membanggakan tersebut, kita sebagai mahasiswa memiliki tanggung jawab besar terhadap kemajuan dan kemakmuran, tentu mahasiswa dihadapkan pada kesiapan menghadapi berbagai tantangan. Sehingga mahasiswa harus memiliki kapasitas. Kapasitas seorang mahasiswa adalah memiliki keilmuan yang mendalam. Meskipun hanya satu bidang dari berbagai bidang yang diajarkan.
Fenomena yang terjadi hari ini berbeda, kapasitas kita yang jauh dari memadai untuk kemudian bisa disebut sebagai siswa yang “maha”. Pada hakikatnya kita berkewajiban meng-Upgrade kapasitas keilmuan. Namun yang terjadi adalah kemalasan yang kita lakukan bersama-sama. Tentu dengan berbagai dalih yang sudah kita persiapkan ketika dipertanyakan.
Kalau ditanya apa tujuan kita kuliah, jawaban kita mungkin sama “mencari ilmu” namun kenyataanya yang kita lakukan bukan untuk itu. Kalaupun menuntut ilmu itu hanya sambilan belaka, karena diantara kita masih gemar tidak mengikuti perkuliahan dan sibuk dengan berbagai kegiatan masing-masing. Jadi diakui ataupun tidak kita mengikuti perkuliahan hanya untuk mendapatkan secarik kertas berjudul “Ijazah”. Bahkan sebagian diantara kita rela melakukan kecurangan untuk bisa menorehkan angka terbesar di ijazah. Sungguh miris sekali.
Dengan kondisi di atas, sudah seharusnya kita menyadari akan kekurangan kita untuk kemudian melakukan perbaikan-perbaikan. Karena apa yang kita lakukan hari ini di hari esok kita juga yang akan memetiknya. Boleh jadi kesalahan kita hari ini ada kaitannya dengan kesalahan orang lain. Namun kita juga harus ingat bahwa meskipun orang lain memiliki peluang melakukan kesalahan dalam kehidupan kita, kita memiliki alasan untuk meninggalkan kesalahan tersebut. Bukankah kita faham bahwa kehidupan ini adalah sebuah pilihan. Ketika kita memilih merdeka dari hegemoni orang lain, maka kemerdekaan akan terwujud. Namun jika kita terlanjur menikmati belaian yang melenakan, pasti kita akan terlena. Pada posisi ini, kita tidak bisa serta merta menyalahkan orang lain. Karena apa yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita bukan orang yang memperdaya kita.
Tidak heran jika kemudian kita melihat banyaknya sarjana yang menjadi pengangguran. Hal ini karena terjebak oleh belaian kemalasan, ajakan orang lain untuk bersantai-santai, sehingga pada akhirnya tidak siap menghadapi dunia kerja yang akan menyingkirkan siapapun yang lemah. Lemah pengetahuannya, lemah komunikasinya, lemah koneksinya, hingga ketika menjadi sarjana tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk itu.
Kembali kepada permasalahan ketika masih berstatus sebagai mahasiswa. Setiap orang memiliki berbagai pilihan dalam menjalankan kehidupannya. Ingin jadi sarjana yang berkompeten, atau hanya yang penting mendapat ijazah, dan gelar akademik. Semua tentu memiliki konsekuensi masing-masing. Fokus kuliah tanpa aktifitas yang lain, tentu kita akan mampu meraih prestasi yang membanggakan, namun belum tentu kemampuan sosial kita terasah dengan baik. Jika hanya mengedepankan kuliah, terkadang kita akan kesulitan ketika terjun langsung di masyarakat. Karena kehidupan bermasyarakat tidak hanya butuh ilmu pengetahuan yang kita dapatkan di bangku perkuliahan, namun juga membutuhkan komunikasi yang baik, dan seabrek keterampilan bermasyarakat. Selain itu, kemauan belajar dengan baik, perbanyak membaca sebagai sarana penunjang kapasitas wawasan kita adalah hal yang mutlak diperlukan bagi mahasiswa. Atau kuliah hanya sebatas formalitas, karena kesibukan organisasi yang dilakukan sehingga tidak pernah mengikuti perkuliahan. Ini juga kurang baik karena mungkin yang kita dapatkan banyak soft skill, namun hard skill yang sesuai dengan kuliah kita tidak dimiliki. Pada saat di masyarakat nanti, sedikit banyaknya masyarakat akan mempertanyakan kemampuan akademik kita. Sehingga kita sebagai mahasiswa dituntut untuk bisa bersikap ideal, bersikap proporsional, sehingga mampu menyeimbangkan berbagai aktifitas yang kita lakukan.
Yang sekarang marak terjadi adalah mahasiswa menuntut keidealitasan, namun tidak memberikan idealismenya dalam menjalankan kehidupan. Lebih suka menilai, namun tidak siap ketika dinilai. Lebih melihat nilai kebenaran berdasar kepentingan kelompok, bukan melihat kepentingan kelompok berdasar kebenaran. Menganggap benar segala sesuatu jika benar menurut pandangan kelompok namun tidak pernah mau mencoba berfikir dari luar kungkungan kelompok yang belum tentu benar. Sehingga idealisme yang timbul adalah idealisme yang terjebak dalam pragmatisme golongan. Tidak sedikit diantara kita yang lebih mementingkan hal-hal yang kurang prinsip, karena kepentingan kelompok dan golongan. Sehingga hal-hal prinsip kita abaikan. Dengan hal yang sepele tersebut, kita akan merasa kehabisan waktu. Padahal jika kita mengutamakan hal-hal yang prinsip maka hal-hal yang bersifat sampingan tetap bisa memenuhi rongga kehidupan kita.
Terkesan kita menganggap sebuah kebenaran adalah kebenaran mutlak, padahal seharusnya kita memiliki celah untuk bisa memberikan peluang pada pendapat yang lain untuk benar. Apa yang kita fikirkan sekarang seolah adalah yang paling benar namun kita tidak pernah mau menilai dari sisi yang lain. Dengan sendirinya ketika kita terjebak pada ranah ini, secara otomatis kapasitas yang kita miliki akan kurang. Karena kita hanya disibukan menilai orang lain, kelompok orang lain, tanpa menelaah apa yang telah kita lakukan, dan apa penilaian orang lain terhadap diri kita.
Anthony Robbins (seorang pembicara bisnis internasional, psikolog, inovator) mengatakan bahwa, “dalam kehidupan ini, mayoritas manusia mengetahui apa yang harus dia lakukan, tapi hanya sebagian kecil yang melaksanakan apa yang harus mereka kerjakan. Mengerti saja tidak cukup, sebagai mausia yang memiliki pengetahuan, harus melakukan tindakan nyata”. Sebagai generasi yang akan mengemban amanah memperbaiki bangsa, maka sudah sepatutnya jika kita tidak hanya mengetahui apa yang harus kita kerjakan, namun mau untuk melakukan apa yang harus dikerjakan. Menanamkan kemauan dalam melakukan perbaikan bukan hal yang mudah. Tapi dimulai dari hal yang kita anggap sepele, bisa jadi hal yang kita anggap tidak benar hari ini akan menjadi hal yang menjadi landasan kita dalam bertindak di kemudian hari.
Sebagai mahasiswa kita memiliki kewajiban meningkatkan kapasitas, upgrade kemampuan. Dari sisi keilmuan (academic), sosial kemasyarakatan (berorganisasi), dan soft skill penunjang (ikut seminar, pelatihan, workshop, kursus, dll). Sehingga ketika kita telah menyelesaikan studi, kita tidak berfikir menyalahkan orang lain. Karena setiap apa yang kita kerjakan itulah yang akan kita dapatkan dikemudian hari.
Menjunjung tinggi kebenaran.

Bagikan ini:
Baca Juga:  Jadilah Bagian Persma Pertama di Kota Metro
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *