Kronika

Aji Indonesia Persma

Ketua Umum AJI Indonesia: Kebebasan Pers di Indonesia dalam Kondisi Buruk

  • Mei 3, 2021
  • 4 min read
  • 696 Views
Ketua Umum AJI Indonesia: Kebebasan Pers di Indonesia dalam Kondisi Buruk

“Kebebasan pers memang tidak hanya penting bagi jurnalis, tetapi untuk publik. Tanpa Kebebasan pers ini tentu akan sulit bagi publik mendapatkan informasi,” ucap Sasmito, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, mengawali diskusi Peluncuran Catatan AJI atas Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2021.

Diskusi dilaksanakan dalam rangka memperingati hari kebebasan pers sedunia, dilaksanakan via aplikasi zoom meeting dan disiarkan langsung di kanal YouTube AJI Indonesia, Senin (03/05).

Sasmito, menjelaskan, secara umum lembaga pemantau RSF (Reporters Without Borders), melaporkan tahun 2021 kebebasan pers Indonesia berada di urutan 113 dari 180 negara. Meski naik enam tingkat dibanding tahun 2020, RSF masih menempatkan kebebasan pers di Indonesia dalam kondisi buruk.

Beberapa catatan RSF, pemerintah masih memanfaatkan Covid-19 untuk memperkuat represif terhadap jurnalis. Dari sisi regulasi, pemerintah juga menerbitkan larangan informasi yang bersifat menghina presiden atau pemerintah.

Menurut hasil riset AJI pada tahun 2020, terdapat 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang Mei 2020 hingga Mei 2021. Kasus ini meningkat jauh dibanding periode sebelumnya berjumlah 57 kasus. Ironisnya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis banyak didominasi oleh oknum polisi.

“Melihat dari dua aspek tersebut secara umum kebebasan pers di Indonesia belum dapat dikatakan bebas,” ujar Sasmito.

Erick Tanjung, Ketua Divisi Advokasi AJI Indonesia, mengatakan, sudah banyak kasus-kasus teror berupa serangan digital yang menimpa jurnalis satu tahun terakhir, “Ada 14 Kasus teror berupa serangan digital, ada 10 jurnalis yang menjadi korban dan 4 di antaranya media online. Jenis serangan berupa 8 kasus doxing, 4 kasus peretasan, dan 2 kasus distributed denial of service (DDOS),” jelasnya.

“Salah satu contohnya adalah yang pernah terjadi pada kasus doxing terhadap Ketua AJI Lampung pada Juni 2020. Saat mendampingi kasus Persma yang mendapat teror digital ketika menggelar diskusi isu rasisme Papua,” lanjutnya.

Baca Juga:  Genap Usia Enam Tahun, LPM Warta Jitu Harapkan Tetap Aktif, Kontributif, dan Kritis

AJI juga mencatat maraknya kekerasan seksual pada jurnalis perempuan, “Menurut survei AJI Jakarta 2020, dari 34 jurnalis yang mengisi survei, terdapat 25 jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan seksual,” katanya.

Erick menambahkan, pelaku kekerasan seksual kerap dilakukan oleh narasumber pejabat publik, narasumber non pejabat publik, dan rekan kerja (atasan, rekan sekerja, sekantor, non atasan, dan rekan sesama jurnalis dari media yang berbeda).

Menanggapi hal tersebut, Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM RI, mengungkapkan, setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, “Hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan Informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya,” ungkapnya.

Kemudian dalam laporannya, Komnas HAM RI mencatat, polisi menjadi lembaga yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM, “Aduan pelanggaran HAM di Indonesia tidak menurun. Catatan Komnas HAM tahun 2020 ada sekitar 5000 aduan.”

“Karenanya, perlindungan terhadap kawan-kawan jurnalis harus segera ditingkatkan. Ini butuh partisipasi dari banyak orang tidak hanya aparat, penjabat. Jurnalis adalah pembela hak asasi manusia ketika mereka sedang bertugas menginvestigasi isu-isu hak asasi manusia,” harapnya.

Selain itu, Kombes. Pol. Dr Ahmad Ramadan, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat (Kabagpenum Divhumas) Polri, turut menyayangkan kekerasan terhadap jurnalis yang banyak dilakukan oleh oknum polisi.

“Kami juga sedih mendengar kekerasan terbanyak dilakukan oleh aparat. Karena media adalah mitra bagi kepolisian. Tentunya kami akan memperbaiki perilaku-perilaku anggota di lapangan,” pungkasnya.

Dalam hal ini, Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH), mengungkapkan, Pemerintah dan DPR perlu melakukan kajian secara menyeluruh terhadap kebjakan-kebijakan yang berpotensi menghambat kebebasan pers. Selain itu, perlu perkuat koordinasi antara Dewan pers, Kepolisian, Komnas HAM, dan lembaga Pengawas Independen lainnya.

Baca Juga:  Kronika Harapkan Pemimpin yang Loyalitas pada Musti XXI

Gilang Resti Parahita, Pengamat Jurnalisme Fisipol UGM, mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis timbul karena adanya ketidakpahaman dari penegak hukum, dan tidak ada rasa percaya terhadap jurnalis.

“Jurnalis itu mengkritik pemerintah, ketika jurnalis tidak mengkritik, tidak menyuarakan kebenaran, lantas apa fungsi utama jurnalis di negara yang demokrasi ini? Kita sebagai masyarakat sangat membutuhkan jurnalis untuk memberitakan berita yang kritis terhadap pemerintah,” tegasnya.

Ia menambahkan, jika ingin program dan kebijakan pemerintah sukses, pemerintah harus membuka diri terhadap kritik. Memberikan rasa percaya sepenuhnya terhadap jurnalis, bahwa apa yang dilakukan jurnalis untuk kebaikan bersama.

“Segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis menurut saya adalah sebuah bentuk penghianatan terhadap Pancasila dan UUD,” lugasnya di akhir sesi diskusi.

(Reporter/Novia)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *