Nasionalisme?
Semilir angin menyelimuti tiap insan yang tengah berkecimpung dalam dunianya masing-masing. Sayup-sayup terdengar kicuan burung memenuhi langit biru. Rerimbunan pepohonan juga menambah kesan indahnya nuansa alam di pagi hari yang disinari sinar mentari yang menghangat. Dibawah pohon jambu, ditemani dengan bangku panjang yang terbuat dari kayu namun cukup begitu asri dipaandang mata. Bunga-bunga melenggak-lenggok diterpa angin seolah menari dalam keheningan yang tengah dirasa seseorang berkacamta minus yang tengah termenung dalam diamnya. Kuku jemarinya memutih menyiratkan keresahan yang kini bergejolak di dada.
Lalu lalang mahasiswa bagaikan potret kehidupan baginya. Tak bergeming walau hanya sesaat dari zona nyamannya. Zona yang amat tenang untuknya tanpa gangguan dari siapapun yang mengusiknya.
“Rusdi, sampai kapan kau bergeming seperti itu?.”
Panggilan halus namun tegas membangunkannya dari lamunan sesaat nya, dilihatnya seorang teman seperjuangannya yang tengah menyiapkan sesuatu dari balik tas besar nya. Tak lama kemudian, satu persatu mahasiswa datang dan berkumpul tepat di kaki tangga gedung terbesar di universitas ini. Ah, pemandangan yang biasa bagi aktifis mahasiswa, pikirnya.
“Kau ikut orasi lagi, kawan? Apa lagi selanjutnya?” Sindir ku penuh arti. Bagaimana tidak? Meski baru menginjakkan diri sebagai mahasiswa tahap ke-4, teman ku ini sangat gemar melakukan orasi di setiap kesempatan. Menjadi dalang dalam setiap pesta demokrasi terbesar adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi nya.
“Kau harusnya melihat dirimu sendiri, rus. Kita ini mahasiswa, tidak ada waktu untuk memikirkan diri kita sendiri. Pikirkan masa depan bangsa. Bagaimana bangsa kita akan maju bila mahasiswa nya saja bersikap apatis,” sungutnya.
“Hahaha, kali ini masalah apa yang akan kau pertentangkan di panggung demokrasi?”
Ku lihat matanya berkilat, menggenggam sebuah lipatan spanduk yaang tidak terlalu besar sembari memperhatikan satu persatu mahasiswa yang mentapnya dengan pandangan heran.
“aku ingin mendobrak semangat nasionalisme di kalangan mahasiswa, kau lihat sendiri mahasiswa lebih mengutamakan produk asing daripada produk lokal. Cih, apa jadinya bangsa ini kalau generasi penerusnya seperti itu,”
“apa kau bercanda….”
Belum sempat ku teruskan kalimat, ia terburu-buru berlari ke arah rombongan demonstran yang sudah siap menyampaikan pendapatnya di tengah keramaian mahasiswa. Aku tersenyum kikuk melihatnya begitu semangat di tengah pergemulan besar itu.
**
Aku tengah mengerjakan karya tulis ilmiah ketika riski duduk pucat di hadapan ku dengan wajah membengkak dan mata yang membiru. Efek orasi, pikir ku santai, biasa menghadapi teman ku yang satu ini. Berangkat dengan semangat membara dan pulang dengan wajah yang membara pula, aku tertawa dalam hati.
Seolah dapat menebaik isi pikiran ku, ia menyikut lengan ku dan bersungut-sungut.
“Aku lelah jadi demonstran, niat ku baik, aku ingin merubah mahasiswa menjadi lebih baik tapi niat baik ku ini di sambut buruk”u jar nya meringis. Aku memberekan berkas-berkas milikku dan melihatnya kasihan,
“cara mu salah kawan”
“bagaiman kau bisa mengatakannya salah?”
“jika kau ingin merubah sikap mahasiswa maka lebih baik kau ubah dulu sikapmu,”
“aku tidak mengerti maksud mu kawan”
“kau bilang kau ini seorang yang nasioanalisme, tapi liht dirimu sendiri. Baju apa yang kau kenakan? Merk handphone apa yang kau pakai? Oh, kita lihat yang gampang saja. Seberapa banyak kau mengerti bahasa daerah ketimbang bahasa asing? Gaya bicara mu, gaya keseharianmu. Ituka yang kau namakan nasionalisme?”
Riski terdiam tepekur merenungi dirinya sendiri.menatap pantula dirinya dari cermin yang tak jauh dari tempatnya berada. Hening. Tdak ada obrolan apapun yang terjadi diantara kami. Hanya suara ketikan komputer dan raungan kipas yang ada dalam ruangan sepi ini. Nasionalisme… simbolis mahasiswa yang entah kapan akan terealisasi. (Bunga)