Indonesia sebagai negara berkembang sedang diuji dengan wabah pandemik Covid-19. Hal ini menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia, berdampak di berbagai sektor. Wabah yang bermula menimpa warga Wuhan, China yang kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia secara cepat, menjadi momok bagi negara dengan jumlah penduduk yang padat seperti Indonesia.
Indonesia sendiri memiliki kasus pertama pada 02 Maret 2020, awalnya menimpa 2 WNI akibat tertular warga negara Jepang, hingga tulisan ini dibuat telah mencapai 10.118 pasien positif Covid- 19 di Indonesia.
Bermacam kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menekan angka penyebaran mulai dari Lockdown, Rapid Test, hingga PSBB. Karena virus ini merupakan jenis virus baru yang belum ditemukan vaksinnya.
Kebijakan penanganan tersebut tentu saja menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Salah satu Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, meramalkan ekonomi Indonesia berpotensi kehilangan 127 triliun dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang kian tertekan.
Tak hanya memukul perekonomian negara, tetapi juga berdampak pada sektor pendidikan Indonesia. Berbagai upaya pengganti pembelajaran tatap muka dilakukan, demi mengejar materi supaya peserta didik tetap mengikuti perkembangan materi yang ada.
Krisis Pendidikan Indonesia Via Daring
Pembelajaran dilakukan pertemuan non-tatap muka, atau disebut dengan pembelajaran dalam jaringan (daring) untuk menghindari penyebaran virus tersebut. Namun, sebelum kita membedah permasalahan yang muncul, sebaiknya kita membongkar esensi pendidikan itu sendiri, agar dapat dengan jelas melihat permasalahan yang muncul.
Pada dasarnya pendidikan adalah suatu wahana bagi proses perubahan terhadap peserta didik, bertujuan bagaimana mengembangkan pertumbuhan jasmani dan rohani (Ki Hadjar Dewantara), memanusiakan manusia (diyarkara), serta pembebasan manusia, pembebasan buta huruf dan kebodohan (Paulo Freire).
Apabila kita melihat sisi realita pendidikan di Indonesia, sungguh sangat miris. Jumlah anak putus sekolah sangat banyak, pendidikan yang kurang layak, kondisi sekolah yang terindikasi kondisi rusak di seluruh pelosok negeri, dan masih banyak didapati penduduk Indonesia diatas 15 tahun dengan buta huruf.
Hal ini diperparah dengan situasi pendidikan yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme (kapitalisasi pendidikan), dimana pendidikan mengedepankan profit atau keuntungann, sehingga semakin memperkaya si pemilik modal. Hal ini dapat dilihat dari sisi banyaknya praktek pungutan liar masih merajalela yang ditetapkan oleh institusi pendidikan misalnya penarikan uang seragam, buku, perpustakaan, dan fasilitas penunjang pendidikan yang pada seharusnya ditanggungjawabkan oleh negara.
Padahal, bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan pada ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Jika kita mengkombinasikan dengan perkembangan teknologi atau yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0, dimana semakin berkembang pesat kecanggihan teknologi, kelengkapan, hingga terus mengejar kata sempurna selalu diperbaharui rakyat yang katanya berpendidikan tinggi mengedepankan rasa berbagi, peduli dengan sesama, memberi motivasi dengan membangun fasilitas berteknologi yang berisikan ilmu, bertujuan untuk mengisi masa depan nantinya.
Nampaknya hanya akan menjadi tujuan awal semata, jika akhirnya pun kembali pada kekuasaan kapitalisme individu. Melakukan pemungutan tanpa membuat kesadaran pengguna hidup. Dibodohi dan ditindas dengan kehidupan serba mudah tanpa mengenal kata sadar.
Apabila membahas persoalan ditengah pandemik saat ini, perkuliahan non tatap muka yang dilakukan via daring bukanlah satu cara yang sangat sempurna untuk mencerdaskan dan mengalirkan pendidikan kepada peserta didik. Ketetapan pendidikan yang seharusnya berjalan, tetapi sangat berbanding terbalik dan justru merugikan bagi para mahasiswanya.
Dewasa ini, pembelajaran daring banyak menuai kendala dari berbagai kalangan mahasiswa seperti susahnya jaringan. Bukankah sudah tertera bahwa seharusnya hal ini menjadi tanggung jawab negara? Tak banyak orang yang mengatakan bahwa dirinya peduli dengan pendidikan, tetapi nyatanya menjadi orang yang sangat apatis dan masa bodo akan hal ini.
Tenaga pendidik/guru/dosen seringkali seolah peduli. Peduli dengan apa? Dengan kewajiban untuk menunaikannya. Ya, memang benar kewajiban mereka terpenuhi saat mereka memberikan materi ataupun tugas melalui kuliah daring.
Namun, disisi lain mereka menjadi sangat apatis dikala tidak menyadari bahwa tidak semua mahasiswa memahami materi yang disampaikan, tidak ada tolak ukur yang tepat untuk hal tersebut. Sudah berulang dikatakan bahwa kehidupan dimasa generasi milenial justru pendidikan akan tetap berjalan lurus, tanpa peningkatan dan malah dimanfaatkan oleh penguasa tidak bertanggung jawab!
Tak banyak pula yang menyadari bahwa kian hari memiliki pola pendidikan yang dimanfaatkan untuk kepentingan kapitalisme, dimana mahasiswa hanya diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan, tetapi di sisi lain negara lepas tangan. Padahal dampak dari situasi ini adalah semakin tanpa sadar hutang negara akan semakin membukit, kebutaan huruf semakin merajalela, dan kebodohan menjadi permasalahan besar negara.
Mahasiswa yang setiap harinya diperparah dengan tanggungan fasilitas perkuliahan, UKT yang bukannya kunjung memudar demi menutupi tanggungan negara malah jadi bumerang bagi warga negara.
Tertindas pendidikan, melaratkan ekonomi secara paksa! Mana keadilan negara membungkam mahasiswanya, menyembunyikan aset negara?
Negara Harus Bertanggung Jawab Terhadap Pendidikan
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dampak Covid-19 sangat memukul sektor ekonomi, dimana banyak perusahaan yang merugi akibat terhambatnya produksi dan distribusi barang. Sehingga memaksa mereka memangkas biaya produksi dengan cara melakukan PHK yang tidak sedikit berdampak pada ekonomi kelas buruh untuk membiayai pendidikannya atau pendidikan anaknya.
Hal ini seharusnya menjadi prioritas negara dengan memberikan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis, dan Bervisi Kerakyatan. Rakyat harus diberikan subsidi pendidikan agar Covid-19 tidak memutus semangat generasi dalam menempuh pendidikan. Karena generasi terdidiklah yang akan mengangkat harkat dan martabat bangsa.
(Penulis/Intan Nur Hasannah/KPI’18)
2 Comments
Dan juga dosen sering kali tidak memahami kondisi mahasiswa nya, atas kendala signal dan kuota, dosen hanya ingin perintahnya dilaksanakan tanpa terkecuali, dan bahkan ada dosen yang mengurangi nilai para mahasiswa jika ada keterlambatan hadir,
Sungguh miris, sebagai mahasiswa yang berada pada kondisi seperti ini hanya bisa pasrah tanpa ada komentar terkait.
Dan masalah ukt, tidak sedikit mahasiswa yang berstatus kakak adik, yang harus ditanggung satu orang tua, dan tak ada kebijakan terkait ukt.
Mantap intan.