Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro menggelar Sekolah Gender dan Hak Asasi Manusia (HAM). Bertempat di Gedung Munaqosyah Lt. III, Jumat (11-11-2022).
Turut Hadir Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) sekaligus membuka acara, Aguswan Khotibul Umam, Mufliha Wijayati, Kepala PSGA IAIN Metro, perwakilan Women and Environment Studies (WES) Payungi, serta diikuti 38 Mahasiswa IAIN Metro dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Unit Kegiatan Khusus (UKK).
Kegiatan ini merupakan kegiatan perdana yang diadakan PSGA IAIN Metro, dengan secara spesifik memberikan bekal kepada mahasiswa terkait gender dan HAM. Selain itu juga bertujuan untuk membuka mata para mahasiswa untuk dapat memahami gender lebih lanjut dan isu gender dalam kajian islam.
Acara yang dilaksanakan selama dua hari tersebut, menghadirkan tiga narasumber. Hari pertama diisi oleh Siti Rofiah, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo dengan materi Konsep Dasar Gender, Konstruksi Gender, Diskriminasi Gender dan Analisis Gender serta Gender dalam perspektif Mubadalah.
Materi kedua berkaitan dengan hak reproduksi dan Seksualitas yang disampaikan oleh Ana Yunita Pratiwi, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung. Sementara itu, di hari kedua materi Berbagi Pengalaman Pemberdayaan yang diisi oleh WES Payungi, Wahyu Puji Astuti.
Aguswan, dalam sambutannya, mengatakan bahwa dengan adanya Sekolah Gender dan HAM ini, dapat memberikan pemahaman dalam subtansi keislaman dan ke-Indonesiaan.
ia juga mengingatkan mahasiswa terkait bahayanya pelecehan seksual di lingkungan saat ini. “Jadi mahasiswa itu harus cerdas dan mampu menjaga diri karena pelecehan itu ada di banyak tempat,” ungkapnya.
Sementara itu, Mufliha mengatakan Sekolah Gender dan HAM ini bukan untuk selalu sepakat dan mengikuti pemahaman yang dibagikan, karena acara ini merupakan acara sharing pengetahuan yang terbuka.
“Jadi siapa saja bisa mengakses, saya kembalikan kepada masing-masing untuk sepakat atau tidak,” ujarnya.
Ia berharap, mahasiswa mendapat pengetahuan lebih mengenai gender dan HAM, sehingga dapat mengimplementasikan pemahaman mengenai materi tersebut ke dalam kehidupannya, seperti dalam karya-karya ilmiahnya.
“Mahasiswa bisa men-support kita, karena kita ada untuk mahasiswa dan seluruh civitas academica,” harapnya.
Tanggapan datang dari Sinta Nopriana, Hukum Keluarga Islam (HKI’20). Menurutnya, acara tersebut merupakan acara yang bagus karna sebagai mahasiswa harus langsung terjun ke masyarakat.
“Memang perlu adanya pendampingan mengenai Gender dan HAM, dengan memberi pemahaman ke masyarakat terkait stigma-stigma gender tersebut,” ungkapnya.
Ia berharap, tak ada lagi kekerasan dalam kampus maupun di luar kampus. Ia juga berharap teman-teman penyintas berani bicara, “Untuk saya pribadi dan kawan-kawan mahasiswa jangan ragu untuk speak up,” ungkapnya.
Sama halnya dengan Sinta, Dimas Juli Prabowo, Tadris Ilmu Pendidikan Sosial (TIPS’20), menganggap acara tersebut memang perlu diadakan terlebih di Indonesia sendiri yang masih banyak praktik-praktik patriarki.
“Masing-masing orang itu beda, jadi dengan acara ini kita bisa tahu tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,” ungkapnya.
(Reporter/Azis/Trilia)