Sekolah Bertarf Internasional
Oleh : Sugiyanto
Pendidikan di indonesia mengalami kemajuan pesat sehingga bermunculan rintisan sekolah bertaraf internasional(RSBI) di masing-masing daerah. Sebagai sarana pendidikan yang akan menghantarkan generasi muda menuju masa depan yang lebih baik dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang semakin komplek, sekolah tidak bisa diabaikan begitu saja. Tanpa pendidikan yang terpola dengan baik sebagaimana di sekolah, pada akhirnya banyak masyarakat menjalani kehidupannya hanya seadanya saja. Artinya fungsi pendidikan sangat membantu dalam menentukan masa depan generassi muda.
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dak teknologi yang serba canggih ini, dengan berbagai kemodernitasanya, menuntut banyak kalangan berpendidikan untuk berlomba-lomba memperlakukan peserta didik dengan perlakuan yang wah, sehingga pendidikan akan berefek positif kepada peserta didik. Dengan berbagai inovasi yang dilakukan dalam prosesi pendidikan perlu mengikuti panduan yang sudah ditetapkan untuk menghadirkan kesetaraan standarisasi pendidikan. Adapun panduan tersebut adalah Standar Nasional Pendidikan (SNP). Yang harus menjadi acuan dalam pengelolaan pendidikan.
Dalam aplikasi penerapan SNP di sekolah terkesan dipaksaka.hal ini dilakukan karena di era modern ini pendidikan menjadi sebuah kebutuhan masyarakat, sehingga di butuhkan sebuah pengakuan terhadap sekolah itu sendiri. Manakala sekolah sudah dianggap tidak memiliki power dalam mendidik siswa maka ia akan ditinggalkan. Sehingganya menjadi sekolah favorit adalah sebuah kepastian yang harus dilakukan. Dan yang terjadi adalah berlomba-lomba menjadi RSBI untuk kemudian berreinkarnasi menjadi SBI. Sebuah prestasi yang membanggakan jika bisa menjadi sekolah bertaraf internasional.
Dalam pelaksanaannya syarat yang harus dimilki oleh RSBI dan SBI setiap sekolah harus “Mengadopsi” Standar Nasional Pendidikan(SNP) yang meliputi Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, Standar Sarana, Standar Kompetensi, Standar Pendidik, Standar Tenaga Kependidikan, Standar Pembiayaan dan Standar Pengelolaan, guru minimal berpendidikan S2/S3 yaitu 10 persen (SD), 20 persen (SMP), dan 30 persen (SMA/SMK), kepala sekolah minimum S2 dan mampu berbahasa asing secara aktif, sarana/prasarana berbasis Teknologi Informasi Komunikasi (TIK), dan Manajemen Berbasis TIK, dan untuk menjadi SBI maka harus memiliki Standar Internasional dengan di lengkapi sertifikat ISO 9001 dan ISO 14000.(Jambi pos)
Dari berbagai standar yang dibutuhkan, yang menjadi permasalahan krusial di setiap sekolah adalah pada standar sarana, standar pembiayaan dan standar pengelolaan. Dimana tidak semua RSBI sudah memiliki standar sarana yang baik dan laik. Sedangkan untuk memiliki sarana yang memadai maka dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dari sini berlari ke standar pembiayaan yang memang sudah ada, namun karena kebutuhan yang kurang maka standar pembiayaan di tingkatkan menjadi sangat tinggi. Sehingga dalam pelaksanaannya pihak sekolah melakukan penarikan sumbangan dalam pembiayaannya kepada orang tua siswa untuk memenuhi kebutuhan yang ada dengan dalih sumbangan sukarela. Padahal untuk pembiayaan tidak semua orang tua siswa adalah orang yang mampu dalam hal ekonomi. Dampak yang ditimbulkan adalah yang semula harapannya ingin menjadikan sekolah bertaraf internasional dengan fasilitas yang wah menjadi sekolah bertarif internasional dengan segala biaya yang serba mahal.
Kenyataan ini lebih banyak disebabkan kondisi yang belum mapan dipaksakan untuk bisa mencapai kebutuhan menjadi sebuah RSBI. Padahal untuk bisa menjadi RSBI bisa dilakukan setelah melakukan proses penyempurnaan kebutuhan sekolah dengan menambah fasilitas atau menjadikan sistem subsidi silang antara si kaya dan simiskin. Disini perlu adanya pengelola yang sesuai dengan standar pengelolaan yang baik. Baru kemudian diajukan menjadi RSBI maupun SBI setelah fasilitas mendekati standar yang diharapkan. Tentu hal ini akan memberikan sebuah kemaslahatan secara umum. Karena jika setiap pembiayaan di bebankan kepada sumbangan orang tua siswa tidak mustahil banyak anak didik yang seharusnya memiliki kesempatan namun kemudian tidak bisa merasakan pendidikan yang wah tersebut.
Tapi lagi-lagi kita dihadapkan pada kenyataan masyarakat yang menginginkan sebuah pengakuan yang memaksa kondisi sekolah untuk mempercepat proses peralihan menjadi sekolah wah yang tidak diimbangi dengan sikap sosial yang tinggi dalam pembiayaan. Dengan kondisi yang seperti ini banyak anak didik yang seharusnya memiliki kesempatan harus tersingkir karena tarif yang tidak murah tersebut.
Bukan pekerjaan yang mudah untuk menjadi sekolah rintisan bertaraf internasional. Syarat yang harus dipenuhi tidak bisa di abaikan. Namun dalam memenuhi persyaratan itu perlu proses perencanaan. Bukan karena mengejar targetan menjadikan ada sisi-sisi yang diabaikan. Karena banyak peserta didik yang kemudian minder ketika mau masuk RSBI melihat besaran biaya yang harus dikeluarkan. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan RSBI di dominasi oleh kalangan “atas” saja.
Bahkan program beasiswa kurang mampu tidak lagi berjalan di RSBI, karena awal masuk saja sudah ada kewajiban membayar sumbangan yang tidak sedikit sehingga tidak ada lagi siswa yang tidak mampu yang sekolah di RSBI. Padahal setiap sekolah harus menerima setiap siswa baru yang memiliki kemampuan akademik sedangkan untuk pembiayaan yang harus dikeluarkan bukankah Negara sudah menganggarkan 20 % APBN untuk pendidikan. Namun itu terasa belum berjalan, jika program yang dilakukan di RSBI masih didominasi oleh orang elit saja. Semoga kedepan bisa menjadi pertimbangan bagi semua pihak dalam memutuskan akan menjadi RSBI atau SBI.
Pernah diterbitkan di koran lampung post. 18 Oktober 2011
Pemimpin Usaha UKPM Kronika STAIN Metro