Kronika

Aktual Mahasiswa Persma

Urgensi Demokrasi, Jurnalis Kerap Alami Represi Saat Meliput Aksi

  • Oktober 26, 2020
  • 6 min read
  • 119 Views
Urgensi Demokrasi, Jurnalis Kerap Alami Represi Saat Meliput Aksi

Masih membekas di ingatan masyarakat Indonesia perihal aksi tolak Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law pada 7—9 Oktober lalu yang dilaksanakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, kejadian tersebut menyisakan kesan ricuh antara massa dengan aparat.

 

Tak terhindarkan dengan aksi sweeping, baik dari massa mahasiswa, buruh, sejumlah Ormas, bahkan jurnalis pun turut mengalami represi. Mulai dari media mainstream sampai pers mahasiswa (Persma) yang turun meliput aksi.

 

Salah satu Persma yang mengalaminya adalah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Perslima Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Kedua jurnalis LPM Perslima sempat hilang saat meliput aksi di Istana Negara, Jakarta pada Kamis (08/10/2020).

 

Tak hanya itu, hilangnya jurnalis mahasiswa juga turut dirasakan oleh Lembaga Pers Kampus (LPK) Gema Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ketika sedang liputan aksi di Gedung Nasional Grahadi, Surabaya pada Kamis (08/10/2020).

 

Sejumlah jurnalis tersebut hilang lantaran ditahan aparat, meskipun sudah membawa identitas pers. Beberapa diantaranya sempat mengalami luka memar di bagian tubuhnya, hingga seluruh jurnalis mahasiswa bisa dibebaskan dengan selamat.

 

Kronologi ditangkapnya sejumlah jurnalis mahasiswa oleh aparat

Menurut keterangan yang Kronika dapatkan dari Pemimpin Umum LPM Perslima, Siti Nurjanah. Pada saat berlangsungnya aksi yakni pukul 11:19 WIB, Syarifah dan Amalia yang merupakan jurnalis Perslima turun di depan Monas Pintu Barat yang bersebrangan dengan Istana Negara.

 

Suasana Istana masih sepi dan kendaraan umum masih diperbolehkan untuk berlalu lalang melewati area tersebut, “Namun, selang beberapa saat. Datang 2 polisi berseragam lengkap untuk menanyakan identitas serta tujuan mereka (kedua jurnalis Perslima,. red) datang ke Istana,” kata Siti Nurjanah pada Kronika (20/10).

 

Kedua Jurnalis tersebut memperlihatkan identitas berupa ID Pers, KTP, serta menjelaskan tujuannya untuk meliput aksi penolakan UU Cipta Kerja.

Baca Juga:  Pererat Ukhuwah, Mahasiswa PBA Adakan Taaruf Mahasiswa

 

“Polisinya kembali bertanya, dari pers mana mereka berasal, dan mereka menjawab dari pers kampus,” lanjut Siti via WhatsApp.

 

Sebelum penangkapan terjadi, polisi sempat berujar, “Berarti kalian masih mahasiswa ya? Kalau gitu kamu sini ikut saya ke dalem. Ada banyak jurnalis juga di dalem. Ga bakal di apa-apain kok, cuman ditanya-tanya aja.”

Namun, bukannya dipertemukan dengan jurnalis lain seperti yang dikatakan sebelumnya, Syarifah dan Amalia justru dialihkan ke polisi yang tidak memakai seragam. Kedua jurnalis tersebut diminta untuk tidak menggunakan handphone, kemudian diambil dan dimasukan ke dalam plastik bening oleh polisi.

 

Seusai penyitaan handphone, mereka diminta untuk mengisi sebuah formulir yang berjudul “Berita Acara Penyerahan Pelaku yang Diamankan Dalam Aksi Unjuk Rasa”, tetapi kedua jurnalis tersebut sepakat untuk menolak, sehingga terjadi perdebatan antara jurnalis Perslima dengan Polisi dan Polwan.

 

“Sejak awal kedatangan, mereka bukan untuk menjadi massa aksi, melainkan untuk meliput sebagai jurnalis, tetapi polisi tersebut membalas dengan nada keras,” ujar Siti.

 

Ga usah banyak omong, jangan pancing saya untuk main tangan ya,” begitulah hardikan polisi dan dibalas oleh Syarifah dan Amalia dengan diam.

 

Pemimpin Umum Perslima, menjelaskan, “Mereka pun belum mau mengisi formulir. Kedua jurnalis Perslima ini kembali bertanya apa kesalahan mereka sampai ditahan. Hingga akhirnya mereka mengisi formulir pernyerahan diri tersebut dan diminta diam di Monas sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” jelasnya.

 

“Selama masa penahanan di Monas, polisi memberi makanan dan minuman kepada massa aksi yang ditahan dengan pembagian makanan satu untuk berdua bagi perempuan, dan satu untuk bertiga bagi laki-laki,” kata Siti.

Baca Juga:  IAIN Metro Gelar Seminar Internasional

 

Sekitar pukul 01:30 dini hari, semua massa aksi yang ditangkap di Monas dipindahkan ke Polisi Daerah (Polda) Metro Jaya menggunakan Bus Polisi, Angkot, dan Mobil Elf. Sesampainya di Polda Metro Jaya lalu diarahkan untuk memasuki Gedung Parkiran Polda Metro Jaya, kemudian Polisi mulai mendata dan mengambil foto tahanan aksi satu persatu sampai pukul 05:00 WIB.

 

Kemudian pada pukul 10:47 WIB, Pempinan Umum Perslima mendapat bantuan pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers untuk proses pemulangan Syarifah dan Amalia dari Polda Metro Jaya. Sebelumnya, mereka sudah menghubungi LBH Jakarta dan PHBI, tetapi perlu proses yang cukup lama.

 

Setelah menjalani proses klarifikasi di bagian Kriminal Sosial (Krimsos), pukul 20.00 WIB diizinkan untuk pulang dengan menandatangani surat pengembalian kepada orang tua yang ditandatangani oleh orang tua, pihak jurnalis, dan pihak kepolisian.

 

Kemudian dari kedua jurnalis Lembaga Pers Kampus (LPK) Gema Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yakni M. Fahmi Risky Rizaldi dan M. Edwin Alfiansyah Putra yang merasakan tindak represi dari aparat saat meliput aksi demonstrasi yang mulai chaos, keduanya juga berhasil mengabadikan momen ketika polisi menangkap massa secara anarkis.

 

“Kami juga mendapatkan intimidasi serta diperintahkan polisi untuk menghapus data liputan yang ada,” ujar Pemimpin Redaksi Gema Unesa sekaligus reporter yang mengalami represif tersebut, Afiansyah kepada Kronika.

 

Tak hanya itu, kedua jurnalis tersebut akhirnya diminta bergabung bersama massa aksi. Fahmi dan Alfiansyah menolak perintah tersebut dan menunjukkan identitas pers. Namun, polisi tetap meminta untuk bergabung serta memaksa melepas PDH dan identitas pers.

 

Alfiansyah, mengatakan, “Waktu melepas baju sempat juga mendapat kekerasan, tapi mereka tetap memaksa saya untuk melepas baju, hingga akhirnya saya terpaksa melepas baju. Setelah melepas baju PDH dan saat melepas kaos, saya terkena tendangan dari salah satu oknum. Karena saya masih teguh mempertahankan pendapat bahwa saya dari pers,” katanya.

Baca Juga:  Pelepasan Mahasiswa KPM Periode II, Mahasiswa Harus Fokus Laksanakan Program

 

“Kami diperlakukan sama dengan massa aksi, seperti sebelum naik ke truk disuruh jalan jongkok dan terkena sabet rotan juga. Setelah dibawa ke Polda dari Grahadi ketika turun dari truk pun kami disuruh jalan jongkok dan terkena sabet rotan kembali”, lanjutnya via WhatsApp.

 

Saat proses pemulangan, kedua jurnalis tersebut sudah dimediasi oleh PPMI kota surabaya, BEM Unesa, hingga LBH, “Sayangnya pendampingan tersebut mendapatkan penolakan,” imbuh Alfiansyah.

 

LPK Gema sendiri memberikan sikap menentang keras atas tindakan deskriminatif serta represif yang dilakukan aparat terhadap jurnalis, “Karena tindakan tersebut sudah menyalahi aturan tentang kebebasan berpendapat, yang mana telah tertuang dalam UUD 1945 pasal 28f tentang kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum baik dalam bentuk tulisan ataupun lisan,” jelasnya.

 

Alfiansyah dalam pesannya mengatakan, “Untuk kawan-kawan LPM jangan gentar ikut dan turun menyampaikan kebeneran. Karena kebenaran itu suci. Jangan takut oleh intimidasi oknum di lapangan, selalu persiapkan segala sesuatu dalam melakukan liputan, dan tentunya manajemen resiko sebelum terjun di lokasi,” pungkasnya.

 

Kedua potret LPM tersebut yang berhasil Kronika wawancara. Menurut rilis dari tribunnews.com terdapat belasan Persma yang sempat ditahan aparat ketika aksi tolak Omnibus Law, seperti LPM Gema Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) serta LPM-LPM lain.

 

(Reporter/Atika)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *