38°C
28 April 2024
Argumen

Autokritik Menikmati Budaya

  • Juli 10, 2013
  • 4 min read
  • 66 Views
budaya indonesiaOleh:  Surya
      Seni budaya di indonesia lahir dan menjamur sejak bangsa indonesia belum merdeka. Keragaman budaya dan kesenian menghiasi hasanah negeri ini. Bahkan saking banyaknya, bangsa kita sampai bingung mana kesenian indonesia yang pada akhirnya timbul klaim-klaim pihak yang mencari keuntungan dari kemasabodohan bangsa terhadap warisan leluhur tersebut. Sebut saja yang menghebohkan adalah klaim Reog Ponorogo, Tari tor-tor, angklung, bahkan lagu daerah menjadi incaran negeri jiran.
      Ibarat Garam ditengah Lautan, tampaknya kalimat ini layak ketika kita berbicara seni dihadapan seniman indonesia. Saya yang merupakan penikmat seni (meski belum sepenuhnya menikmati seni) seperti menggarami lautan saat rekan-rekan aktor dan team kreatif mengajak diskusi tentang seni. Tapi lagi-lagi kesenian yang menjadi ciri khas indonesia hanya seperti air laut yang tidak pernah diproses menjadi garam sehingga pesan yang disampaikan tidak sampai. Baru sebatas kiepuasan pentas yang sering disebut oleh Muadin (Ketua I DKM Metro) sebagai Onani Budaya. Jadi baru sebatas puas terhadap diri sendiri dan belum bisa memuaskan audien.
       Teater Monolog Racun Tembakau yang dioperankan oleh Arif dari UKMF KSS Unila dalam pementasan seni budaya di UKM Ikatan Mahasiswa Pecinta Seni STAIN Metro menampilkan karakter yang bertolak belakang dengan karakter aktor sesungguhnya, dan itu mampu menyihir rekan-rekan penikmat seni ujar peserta diskusi dari UKM Mentari, Universitas Muhammadiyah Metro. Namun secara makna saya menarik kesimpulan bahwa pesan yang disampaikan adalah kebablasan-an  persamaan Gender, yang pada akhirnya sampai keinginan melakukan trans gender. Kesaan hak kaum wanita yang melebihi porsi sebagai seorang wanita telah menjerumuskan lelaki “Begong” dalam perannya menjadi laki-laki yang tidak memiliki jiwa kelaki-lakian dalam artian terlalu takut terhadap “Bini”nya. Bahkan sang anak mereka (Begong dan Bininya) dikekang sampai tidak mampu bersosialisasi dengan manusia lainnya. Sikap materialistik perempuan dan kelemahan lakilaki yang seharusnya menjadi imam dalam rumah tangga kental sekali disini.
      Dimalam yang sama tetaer monolog “Balada Sumirah” yang diperankan oleh Anida mampu memukau penonton dengan kemampuan akting menjadi beberapa karakter. Meski masih terkesan tidak memberikan kesempatan kepada penonton untuk mencerna pesan yang terkandung karena terlalu cepat. Yang dalam hal ini ditanggapi oleh muadin sebagai kelemahan aktor yang terbiasa akting Indor harus akting Outdor. “seharusnya aktor mampu mendengarkan gema dialognya, namun karena tidak ada gema yang terjadi kemudian adalah ketidak stabilan tempo” yang beranggapan beda dengan oji yang menilai aktor mempersempit panggung yang luas. Lagi-lagi pesan yang disampaikan tidak tersampaikan secara maksimal.
Pada pementasan Musik dan Puisi, kurang mendapat respon yang baik dari penonton. Hal ini terkait penyajian yang masih konvensional, padahal harus ada inovasi-inovasi baru dalam menyajikan pertunjukan musik.
        Prilaku Penonton menjadi cerminan dari pertunjukan seni budaya, mampu menghidupkan suasana pertunjukan dan menjadi tolak ukur seberapa jauh kualitas seniman dihadapan penonton. Penonton yang baik akan menikmati apa yang disajika aktor, memberi kesempatan bagi penonton lain untuk bisa menikmati tontonan yang berpotensi menjadi tuntutunan. Bukan hanya sekedar aktor yang dinikmati namun menyerap pesan yang terkandung didalamnya.
Autokritik Seniman dan Penikmat Seni Budaya sudah seharusnya menjadi ciri khas budayawan, seniman dan penikmat seni di negeri ini. Khidmad dalam menikmati pertunjukan adalah kemutlakan yang harus dijunjung tinggi. Adapun seniman berkewajiban menampilkan karya terbaiknya dan menyajikan tema-tema aktual.
            Hal diatas dimaksud agar Seni tidak sebatas apa yang ada di tenggorokan dan akting. Namun semua itu harus difahami dan dijiwai sebagai identitas seniman yang berbudaya dan mengandung nilai budaya dan pesan moral. Agar suara yang telah dikeluarkan tidak lenyap diruang hampa, akting yang diperankan tak sirna tanpa makna. Pada akhirnya keterbatasan tanpa penjiwaan akan lenyap dengan autokritik.
        Karya seni dengan penjiwaan yang matang akan sampai pada pesan yang dibawa, tidak lagi hampa makna. Begitu halnya dengan penikmat seni, menikmati sebuah kesenian membutuhkan meditasi dan imajinasi, karena karya seni tidak seperti sexs yang bisa dinikmati tanpa penjiwaan dan paksaan. Tanpa penjiwaan aktor dan penikmat maka harapanpun Pupus.
Bagikan ini:
Baca Juga:  Profesionalitas Muncul Secara Kondisional
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *