38°C
24 April 2024
Budaya Cerpen

BUTIR BENING DALAM JANJI

  • Oktober 21, 2010
  • 11 min read
  • 30 Views
          Dua bulan terakhir ini sikapnya berubah padaku. Tiap kali kutanya apa penyebabnya Ulfa hanya diam, menggeleng, dan berlalu. Bertemu dengannya setiap hari di kelas justru membuatku semakin merindukannya.
          “ Ulfa, sebenarnya ada apa? Cerita dong… atau Siska ada salah ya? Kalau gitu Siska minta maaf ya?”
          Tanyaku suatu ketika padanya. Dia hanya diam. Sikapnya begitu dingin. Aku jadi serba salah. Ahh.. Ulfa, ada apa sebenarnya..??

          Awal pertemuanku dengannya, yang kutahu ia adalah sosok gadis pemalu. Apalagi dengan kacamata tebalnya, persis tokoh Betty La Fea. Namun ia protes jika kusebut demikian. Meski aku lebih senang mendengar ungkapan ngambeknya itu.
          “Mbak, hasil penerimaan mahasiswa baru udah ditempel belum ya?” tanyanya malu-malu saat itu padaku.
          “Belum. Kenapa? Mbak daftar di kampus ini juga?” tebakku sekenanya. Ia mengangguk pelan dan berlalu.
          Hmmm… dasar aneh. Ada ya orang yang begitu pendiam seperti dia?? Batinku.
          Setelah puas melihat hasil kelulusan tes masuk, dan melihat nama Siska Indarwati terpampang di daftar nama yang diterima, aku bergegas ingin pulang dan berbagi kebahagiaanku dengan ayah dan bunda. Namun kemudian langkahku terhenti. Kulihat sosok Ulfa duduk disudut ruangan, sendirian.
          “Mbak? Mbak yang tadi kan?” sapaku ternyata mengagetkannya.
          “Oh.. eh.. iya. Ada apa ya mbak?” responnya kaku.
          “Sudah lihat hasilnya mbak? Lulus?” tanyaku lagi.
          Dia menggeleng. “lho kenapa? Nggak lulus??” tanyaku lagi.
          
“Hmm.. bukan mbak, saya belum lihat hasilnya. Disitu penuh sekali.” Ujarnya sambil menunjuk ke tempat pengumuman. Yah memang penuh. Aku saja harus mengeluarkan jurus jitu untuk bisa melihat namaku.
          “Mau dibantu mbak?” wah.. ternyata naluri kepahlawananku mulai muncul.
          “Boleh. Dengan senang hati mbak..” Glek!! secepat kilat ia langsung merespon tawaranku. Meski awalnya hanya basa basi, namun aku terlanjur kasihan dengan wajah lugunya itu.
          “Berapa nomor urutnya mbak?” dengan wajah riang ia menyebutkan digit nomornya.
          
          “Siiip… oke. Tunggu di sini ya..”. pintaku sambil menyandang tas ranselku dan bersiap menyerbu kerumunan itu lagi. Uffhw…
          Dua puluh menit kemudian aku kembali menemuinya ditempat tadi kami berpisah. Ia tampak bahagia dengan kabar yang kubawa. Tentu saja, ia lulus dan termasuk lima besar nilai terbaik.
          Cepat ia keluarkan ponsel dari dalam tasnya.memencetbeberapa nomor dan….“halo, mama?….bla.bla..bla..” dia larut dalam bahagianya. Hmmm.. dasar anak mama!
Ahhh.. sudahlah. Kupercepat langkah menuju deretan angkutan kota di depan gerbang kampus. Pasti ayah dan bunda telah menanti berita kelulusan dariku. Namun langkahku tiba-tiba terhenti oleh sebuah teriakan.
          “Mbak?!” aku menoleh kearah suara.
          “Nama mbak siapa?!” teriaknya lagi.
          “Siska!” dia tersenyum. Tanpa kupinta, ia meneriakkan namanya.
          “Ulfa!”. Kubalas dengan senyum dan lambaian tangan dari kejauhan, karena angkot yang akan kutumpangi sudah akan tancap gas.
          Begitulah awal perkenalanku dengannya. Sampai dihari pertama masuk kuliah akhirnya kami dipertemukan kembali dalam satu kelas.
          Dulu, kemanapun aku pergi Ulfa selalu ikut. Bahkan teman-teman bilang kami seperti amplop dan perangko. Nggak bisa dipisahin!
          “Ulfa tuch yang suka ngikutin aku..” ledekku sambil melihat mimik wajah Ulfa yang mulai memerah. Marah.
          “Yeee… enak aja, ada juga kamu yang suka buntutin aku. Udah deh Sis.. ngaku ajaa..” balasnya.
          Kami terus saling ledek, hingga berakhir dengan pecahnya suara tawa kami berdua. Namun itu dulu. Sebelum jurang pemisah itu kini makin hari makin membentang lebar diantara kami. Semakin lebar, bahkan mungkin bayangnya tak nampak lagi.
          Kutatap wajah riang berkacamata dalam bingkai foto merah jambu pemberiannya saat aku ulang tahun empat bulan lalu. Ulfa… aku kangen.. ujarku lirih. Tak terasa butir bening luruh dari kedua mataku.
***
          Kulirik arloji di pergelangan tanganku. Sudah pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit. Ya Rabb… aku telat!! Kupercepat langkah kakiku. Tergopoh-gopoh kunaiki tangga menuju ruang kelasku yang letaknya di lantai dua. Hufffww… capek juga!
          Kuakui, aku memang kerap kali terlambat. Seringkali meninggalkan perkuliahan karena urusan organisasi, dan bla-bla-bla lainnya. Namun tiap kali aku telat, biasanya Ulfa selalu sms dan mengingatkanku. Namun, kini semua itu tidak lagi. Tak ada sms pengingat darinya, tak ada lagi sms tentang keluh kesahnya, tak ada lagi sms tentang tugas-tugas kami. Aku benar-benar sendiri kini!
          Perlahan kuketuk pintu kelas yang telah terkunci rapat. Pertanda perkuliahan telah dimulai. Bismillah….
          “Assalamualaikum?!” pintu kubuka. Kupasang wajah sesendu-sendunya. Berharap agar bu Ana, dosen killer di kampus dapat luluh hatinya.
          Blenggg…. Lho?!!!
          Kelas kosong blong!
          Aku kebingungan. Tak percaya, kulirik lagi arlojiku. Pukul tujuh lima puluh menit. Ini sudah lebih dari waktu masuk. Ada apa ini?? Apa hari ini libur?? Kenapa tak ada yang beri tahu aku??
          “Lho neng? Kenapa atuh disini sendirian??”
          Sebuah suara membuyarkan semua kebingunganku. Ternyata mang Ujang, petugas kebersihan kampus.
          
          “Hmm.. nggak kenapa-napa mang. Cuma bingung aja, kelas kok sepi amat yah?” kutanyakan penyebab kebingunganku pada mang ujang.
          “Lho,bukannya tadi teh temen-temen neng mah pada ke rumah sakit ya’? tanya mang Ujang dengan logat sundanya yang kental.
          “Ke rumah sakit mang? Emang siapa yang sakit?” aku makin tak mengerti.
          “Tadi pagi den Fandi teh dapet kabar katanya salah satu temennya ada yang masuk rumah sakit kalau nggak salah teh neng”. Ujar mang Ujang sambil mengingat-ingat.
          “Hmm… Fandi, ketua tingkat kami. Siapa yang sakit ya?” batinku.
          “Mang Ujang tau nggak siapa nama temen kita yang sakit itu?”
          “Hmmm…mamang inget-inget dulu ya neng…#@%$$#@$^#@…..” duuuh… mang ujang loadingnya lama deh!!
          Setelah berpikir dan mengingat ingat cukup lama, akhirnya mang ujang ingat siapa nama temanku itu.
          “Hmm.. kalau nggak salah namanya teh ul..ul…ulya!”
          “Ulya?!! Kayaknya nggak ada deh yang namanya ulya mang!” namun ingatanku segera tertuju pada satu nama.
          “Atau… Ulfa! Ulfa kali mang??” cepat mang ujang meng-iya-kan ucapanku dengan dukungan anggukan kepalanya berulang kali.
          “Bener bener neng! Namanya teh ulya! Eh.. ulfa!”
          Astaghfirullahaladzim… cepat kuhubungi nomor ponsel ulfa. Non aktif! Ya Rabb.. apa yang terjadi sebenarnya?
***
          Kupandangi wajah pucat yang terbujur lemah dihadapanku. Wajah yang selalu kurindukan meski selalu kutemui. Ulfa… ucapku lirih. Butir bening itu kembali luruh.
          “Kata dokter ulfa insyaallah tidak apa-apa nak Siska” ujar tante Mia, mamanya Ulfa, mencoba menenangkan perasaanku. “kemarin, Ulfa pulang terlambat. Katanya dia ada janji dengan Siska. Tapi sampai maghrib Ulfa belum juga pulang nak. Tante berusaha menghubungi nomornya tapi tidak aktif. Ternyata tante dapat kabar dari rumah sakit kalau ulfa ternyata kecelakaan saat akan pulang”.
          Duerrrr…… bagai tersambar halilintar, aku mendengar cerita tante Mia. Kemarin? Janji? Kuputar otakku yang agak lola ini dengan cepat. Ya Allah… baru kuingat bahwa kemarin adalah hari ulang tahunku!! Dulu, kami berjanji akan merayaklannya bersama saat salah satu dari kami ulang tahun. Tapi itu janji lima bulan lalu, saat Ulfa berulang tahun. Dan kemarin, Ulfa tidak sms apapun padaku! Atau… iya. Kemarin ponselku non aktif! Karena kupikir aku sedang tak mau diganggu karena aku ingin menyelesaikan amanah-amanahku di UKM. Dan.. ternyata Ulfa justru mengingat janji yang kulupakan itu. Sepele memang. Namun mungkin itu tidak bagi Ulfa. Tangisku semakin deras.
          “Nak siska, ini..” tante Mia menyodorkan sebuah novel yang pernah dipinjam ulfa dariku. Kata Ulfa kemarin, ia ingin tante memberikan ini padamu. Sebenarnya ulfa ingin tante sendiri yang mengantar buku ini kerumah nak siska. Tapi tante belum sempat. Dan sekarang tante baru bisa memberikannya. Sepertinya penting sekali. Maaf ya nak..” ujar tante Mia.
          Ahh… Ulfa. Ia tahu bahwa aku belum selesai membaca ini. Memang sejak awal beli, Ulfa bersikeras untuk membacanya terlebih dahulu. Dasar egois! Batinku sok marah.
          Kubuka lembaran halaman novel itu. “apa ini?” dahiku berkerut. “surat??” sebuah surat terselip disana. Di depannya tertulis: untuk sahabatku terkasih; Siska.
Ini untukku. Dari ulfa-kah?? Cepat kubuka isi surat itu dan kubaca.
          Untuk sahabatku terkasih; Siska Indrayani.
          Assalamualaikum sahabatku. MAAF. Mungkin itu kata yang tepat untuk membuka surat dariku ini. Maaf untuk segala kesalahanku, untuk kebisuanku, untuk semua kekhilafanku. Maukah kau menerima permintaan maafku?? Tentu! Harapku kau akan menjawab seperti itu.
          Sahabatku, mungkin tak seharusnya kubersikap begini padamu. Acuh. Bahkan terkesan tak pernah mengenalmu. Namun, jujur semua ini sebagai wujud protesku padamu! Taukah kau tiap hari aku kesepian? Saat kuajak kemanapun, kau selalu menolak dan berkata “afwan” yang merupakan ucapan andalanmu. Karena apa? Karena kesibukanmu di duniamu sendiri. Dari satu organisasi, ke organisasi lainnya. Dari amanah satu, ke amanah lainnya! Seolah memang tidak waktu untukku!
          Taukah kau tiap kali kau sakit, aku juga merasa tersiksa. Tidak bisa ikut menanggung bebanmu. Tapi mungkin kau tak pernah peduli perasaanku. Hmm.. tapi… seperti kata Bondan dalam lagunya..’ya sudahlah! Apapun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu. Janganlah kau bersedih, because everything gone a be okay!’. Hehe..
          Yah, akhirnya aku sadar. Sulit untuk menjauh darimu. Apalagi ini adalah hari ulang tahunmu sahabatku. Dan… sekali lagi kumohonkan maaf untuk semua kesalahanku. Kuharap kau mengerti, betapa aku sangat merindukanmu.

Salam cinta untukmu selalu.
Ulfa.

          Tangisku semakin pecah. Kusadari bayang-bayang kesibukan yang tak seharusnya membuatku melupakan sosok yang kucintai ini. Tak seharusnya aku memperlakukannya seperti itu. Sesal-sesalku kini menyatu dan runtuh bersama derasnya air mataku. Ulfa.. sahabatku.. maafkan aku.



Untuk sahabatku “FIM@LY”
Oleh : Elly Agustina
Bagikan ini:
Baca Juga:  BATAS
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *