38°C
27 April 2024
Cerpen Mahasiswa

Di Ujung Bahagia

  • Februari 27, 2018
  • 12 min read
  • 23 Views
Di Ujung Bahagia

Keramaian menggeliat di sepanjang trotoar kota bahkan sampai beberapa meter dari kampus elit di kota tersebut keramaian masih menghias. Bukan hanya bermacam-macam kendaraan bermesin yang berlalu lalang, langkah kaki ribuan orang juga memadati trotoar terutama di depan area kampus, sepanjang depan pagar berdiri kokoh nan indah karangan bunga, terdapat juga para pedagang dengan aneka barang yang mereka jual, mulai dari makanan ringan, minuman, boneka bertoga dan segala sesuatu yang berkaitan dengan wisuda.
Tak ada wajah sendu terlihat semuanya riang, terlebih para Mahasiswa yang akan di wisuda pagi itu, kursi wisudawan serasa singgasana bagi mereka, toga di atas kepala seperti mahkota, event itulah menjadi tahta manis mereka, tenda luas di halaman kampus penuh dengan orang-orang ber gaun wisuda rapi, di bagian belakang duduk para orang tua dengan berbagai ekspressi pula, ada yang menangis haru ada juga yang tak henti-hentinya tersenyum. Upacara sakral tersebut sedang berlangsung, seluruh wisudawan berdiri mendengarkan lagu-lagu mars.
Pada baris ke dua kursi wisudawan seorang gadis berbibir pucat terbawa suasana haru yang mengudara, Febi nama gadis itu tatapannya terasa senyap dari segala kegundahan. Tak ada yang di fikirkannya selain haru, ke dua orang tuanya juga duduk diantara para orang tua lainnya, air mata bahagia tak pernah surut dari mata sang Ibu, terlebih ketika nada-nada lagu mars yang bersenandung bercinta dengan bahagia yang mengabut di hati. Hati nya tak sekuat menerima suasana, kepalanya tak mampu menengadah perlahan dan dengan lemah lembut gadis berbibir pucat itu menundukkan kepala, mata sayupnya terpejam dalam keramaian suasana, ada sepintas kata yang beregema dalam hatinya.
“meskipun aku menjalani dengan hitam setidaknya aku mengakhirinya dengan putih”
Matanya tak sekedar terpejam tetapi beberapa lembar catatan merah masa lalunya kembali bercerita, bagaimana dirinya mendapatkan bibir pucat juga apa yang membuat dia keluar dari jerat kenakalan remaja, yah! Febi awalnya terkenal sebagai remaja tomboi, bergaya acak-acakan dan gadis yang sering keluar malam, lingkungan megah penuh keduniawian tak dapat mendidik moralnya. Al hasil kekayaan orang tua menjadikannya semakin terperosok dalam jurang kenakalan.
Hari-hari remaja Febi berjalan dalam lingkup pergaulan bebas, seperti apa yang terlihat pada suatu siang, di depan kampus tempatnya belajar Febi pulang bersama kawan-kawannya dalam sebuah geng bermotor. Tetapi mereka memulai perjalanan pulang dengan berbalapan di depan kampus tersebut sebagai garis star, masing-masing anak cowok dengan motor gede mereka membonceng seorang wanita, anak cowok yang berada di bagian tengah star membonceng Febi, baru setelah itu mereka beramai-ramai memulai balapan, suara bising dari knalpot motor mereka menggores gendang telinga orang-orang yang melintas di area trotoar kampus juga beberapa mahasiswa.
Dua orang mahasiswi melihat Febi bersama para geng motor tersebut bersendau gurau di jalan, mereka bercakap membicarakan apa yang mereka lihat saat itu “eh lihat bukankah itu Febi ya, anak orang terkaya di kota ini” begitu kata mahasisiwi tersebut, kemudian seorang mahasisiwi di sampingnya membalas “iya, padahal anak orang kaya tapi moral masih miskin”.
Laksana menantang maut dengan memacu kecepatan tinggi di atas kendaraan dua roda, dan melanggar rambu yang ada itulah yang mereka lakukan, berkali-kali mereka membahayakan pengendara lain, tertawa lepas dalam hembusan angin dan medan ramai yang membahayakan, selebih itu Febi tidak langsung pulang ke rumahnya, ia melanjutkan sendau gurau nya dengan pergi ke tempat karaoke hingga pulang larut malam. Seorang anak cowok yang tadi membonceng Febi menghantarnya pulang, ketika kota sudah tenggelam dalam lautan mimpi dan bulan tertidur dalam selimut kabut.
“Eh, apa kamu gak kena marah bokap kalau pulang malam-malam begini” Cowok yang membonceng Febi bertanya.
“sudahlah gak usah di fikirkan telinga ku sudah sering menerima omelan mereka, jadi udah kebal” Jawab Febi.
“oh begitu, ya sudah cepet tidur sana besok aku jemput kamu seperti biasa ya” kata si cowok.
“Oke” balas Febi.
Febi segera memasuki rumah mewah miliknya meskipun dengan sedikit mengendap-endap karena kepulangannya di jam yang tak wajar, seorang satpam menegur Febi “Dari mana non kok baru pulang, namun Febi membalas teguran itu dengan nada tak sedap “ah beringsik gak tahu orang lagi capek apa” begitu balasnya, sesampainya di depan pintu Febi sangat berhati-hati menekan gagang pintu agar tak terdengar siapapun di dalam rumah, ia berfikiran ke dua orang tuanya sudah lelap, Saat berhasil memasuki rumah ia menghela nafas lega “Huh! Akhirnya selamet juga dari omelan bokap”. Ia tak menyadari bahwa Ayahnya sedang menunggu, dari balik pintu kamar Ayah dan Ibu Febi dengan mengeluarkan nada teguran cukup keras.
“Febi!!!” Tegur si Ayah.
Sebelum sampai di kamarnya langkah Febi terhenti karena kepergok akibat pulang malamnya, perlahan Febi berbalik arah menengok ke belakang “i i iya pa” Jawab Febi, wajah sang Ayah nampak garang saat berjalan cepat menghampiri Febi.
“Gadis bandel! Bukan hanya sekali dua kali kamu pulang selarut ini, tapi berkali-kali jangan kamu fikir Papa se sabar yang kamu fikirkan dengan sikapmu?” murka sang Ayah tak terbendung.
Namun Febi tak pernah menghiraukan apa yang dikatakan orang tuanya, wataknya nya yang se sekeras baja selalu membantah perkataan orang tua dengan bahasa setajam pisau, “Paaa bisa enggak papa gak ngomel sehari saja, aku lagi capek”, tentu saja kata-kata itu membuat perasaan Ayahnya semakin geram bahkan tangan Ayahnya mulai mengayun ke atas hendak menampar pipi manis Febi “Dasar!”, Ibu Febi berlari dari pintu kamar dan menahan tangan suaminya agar tak mendarat ke pipi sang puteri.
“Pa sudah pa! Febi jangan kau bantah kata-kata Ayahmu” Kata Ibunda Febi sembari menangis.
Gadis tomboi itu masih keras kepala walaupun keadaan malam hening rumahnya menjadi gaduh akibat ulahnya “kalian sama saja!” kata Febi, secepat mungkin ia berjalan menuju kamar dan se akan tak mempedulikan ke khawatiran orang tuanya. Hari esoknya berjalan serupa, gaya pergaulan foya-foya tak luput menggodanya, cowok kemarin kembali lagi menjemput Febi kali ini kawan-kawannya sudah menunggu di salah satu rumah kawan Febi, cowok itu membawa Febi rumah tempat mereka berkumpul, kegiatan mereka sangat tertutup mengundang curiga pada orang-orang sekitarnya.
Sampai di dalam rumah pun seluruh lampu rumah mereka matikan kecuali lampu pada salah satu kamar tempat mereka berkumpul mereka biarkan nyalakan, awalnya Febi penasaran dengan suasana sedemikian itu “kalian ngadain acara apa sih? Kenapa pakek matiin lampu” tanya Febi, “sudahlah nanti kamu juga kamu tahu” jawab cowok yang bersamanya, cowok tersebut terus menarik tangan Febi sampai ke dalam kamar, pemandangan buruk terlihat di kamar itu semua teman-teman Febi berkumpul entah pria atau wanita semua menjadi satu, di atas kasur terdapat beberapa buah botol hisap dan beberapa serbuk haram berserakan.
“weeei ini dia sang tuan puteri datang, sini ikut pesta dengan kita” salah seorang teman pria Febi menyambut.
Terjalinnya ke akraban Febi dengan mereka memudahkannya mengikuti kegiatan negatif kawan-kawannya saat itu, begitu saja Febi masuk dan menyentuh botol hisap di atas kasur “apaan ni?” tanya Febi, barulah salah seorang teman wanitanya memperkenalkan benda terkutuk itu.
“percaya atau tidak dengan ini kamu akan selalu merasa bahagia, makanya kita-kita ngajak kamu ke sini karena kami ingin membagi kesenangan denganmu”.
“yang bener ini bisa bikin bahagia? Gak yakin” kata Febi.
“di coba dulu sajalah, sehirup dua hirup” teman Febi berusaha membujuknya.
Keakraban itu pula yang membuat Febi begitu mudah memakai barang haram, kawan-kawannya tertawa riang se usai berhasil membujuk gadis tomboi itu, tidak hanya berhenti pada satu hari saja hari-hari berikutnya mereka melakukan kegiatan serupa di rumah yang sama, apalagi semakin hari silih berganti Febi semakin berada pada fase kecanduan, latar belakang orang tuanya yang kaya selalu dimanfaatkaan untuk membeli serbuk terlarang narkotika. Sang ayah tak lagi bisa mengetahui kegiatan Febi karena watak kerasnya yang suka membantah.
Pihak berwajib mulai mencium kegiatan melanggar hukum yang mereka jalankan selama pekan ke pekan, ketika ke sekian kali remaja-remaja itu mengadakan pesta narkotika, rumah yang merek jadikan sarang di gerebek pihak kepolisian. Seluruh penghuni di dalamnya di ciduk dengan barang bukti berceceran di lantai kamar, termasuk Febi tertangkap tangan sedang mengkonsumsi narkoba, berita segera menyebar ke masyarakat luas begitu juga ke telinga para orang tua, yang paling syok adalah orang tua Febi maklum saja selama ini citranya sebagai orang terkaya terjaga baik, sebelum di runtuhkan dengan perilaku menyimpang sang anak.
Beberapa bulan berlalu pasca tragedi naas yang memaksa Febi menjalani rehabilitasi terjadi, banyak hal terduga di rumah yang tak ia ketahui salah satunya adalah keadaan Ibunda terkena struk setelah mendengar dirinya terjerat hukum, Ayah Febi menjenguknya di panti rehabilitasi di aula panti itulah mereka di pertemukan kali ini wajah gadis tomboi tersebut se akan merasa bersalah dan sering menunduk di hadapan Ayahnya, tak banyak percakapan yang keluar, se keras apapun wataknya Febi tetap merindukan Ibunda.
“kenapa Mama tidak ikut pa?” Tanya Febi.
“Papa kira kamu tidak pernah ingin tahu keadaannya, apa kamu tahu apa akibat ulah bejatmu itu pada mama mu, sekarang ini dia belum sembuh dari struk” Jawab si Ayah.
Watak keras Febi seperti runtuh mendengar jawaban dari Ayahnya, untuk pertama kali hatinya tersentuh dan tergetar mendengar keadaan Ibunda.
“Apa???” Febi merasa kaget dan tak lama kemudian menangis di lutut Ayahnya.
Matanya cukup deras mengalirkan air, lantas membuat nurani mulai menuntunnya ke jalan hakiki. “Febi minta maaf Pa!” derai air matanya membasahi lutut sang Ayah.
“Minta maaf lah pada Tuhan yang sudah kau khianati dan berlututlah pada Ibu yang sudah kau tumbangkan” jawab si Ayah dengan melepas pegangan Febi dari lututnya lalu meninggalkannya di aula tersebut, ia masih berusaha mengejar langkah sang Ayah namun petugas panti menahannya “Papa tunggu! Pa!!!”.
Ada saat nya malam indah berlalu di masa rehab Febi yaitu malam terakhirnya di panti, berdiri di balik jendela dengan menatap cahaya semu rembulan yang menggambarkan kalut masa lalunya, bisikan-bisikan baik terbawa semilir angin menyeka gersang perasaannya. Diantara bisikan itu adalah tekad berubah yang ingin ia jalani setelah keluar dari panti, ke esokan paginya rindu merantai membuat Febi tak sabar menemui Ibunda, sesal terasa ketika matanya melihat Ibundanya terbaring, tangannya menggenggam jemari Ibunda, ciuman demi ciuman tak surut terluapkan.
Tubuh sang Ibu yang kaku tak mampu membalasnya, kemudian Ayah Febi memberikan sebuah tulisan tangan Ibunya, dalam surat tersebut ada sepatah kata yang sempat tertulis.
“Nak! Sekalipun Tuhan menjanjikan surga, kamu lah hal terindah yang kami miliki”.
Febi mengurai rambut panjang nya lalu menciumi kening Ibunda.
Febi tak mau lagi berada di pusaran badai hitam ia hendak mengawali esok paginya seperti pelangi yang meliuk se usai hujan, keinginan itu tersambut oleh kicau burung yang ber lagu pada se tangkai pohon, Febi melanjutkan lagi riwayat pendidikan akademisnya meski dengan segenap kehormatan yang tak lagi utuh. Gadis tomboi itu mulai merubah perilaku, walau ia amat mengerti sesuatu tak menyenangkan menantinya, cibiran demi cibiran menghujaninya namun payung besi serasa melindunginya sehingga tak mempedulikan semua prakata menggores hati.
Semua usaha maksimal ia lakukan untuk memperbaiki diri, Febi saat ini berbeda dengan Febi dahulu, status sebagai mahasiswa semakin membaik dengan banyaknya kegiatan positif yang ia ikuti, hal itu pula menjadi obat bagi Ibundanya. Nama Febi sering ada di setiap kegiatan ke organisasian kampus, sampai pada akhirnya sang Ibu berada pada masa kesembuhan mendengar perubahan dalam diri puterinya. Febi mulai berada pada masa penghujung belajar, semester atas pun menanti dengan ssebuah tugas akhir yaitu skripsi, namun ada yang berbeda dengannya di semester tua ini, diantaranya wajah segarnya perlahan pudar, akhir-akhir ini pun Febi sering sakit.
Setelah memeriksa kan diri ke dokter ternyata penyakit kronis di deritanya akibat penyalah gunaan narkoba, di dalam ruangan 4×4 dokter memberikan diagnosa atas Febi.
“saya tidak mengatakan puteri Bapak tidak bertahan lama, hanya saja jika fikiran berat melanda nya itu bisa fatal” kata Dokter.
Ayah dan anak itu nampak terpukul dengan diagnosa dokter, namun Febi tak menyerah sampai di situ, dengan fisik melemah dan wajah yang kian hari semakin pucat ia mengerjakan skripsi dengan penuh kesungguhan, fikirannya mengatakan gaun wisuda dan toga adalah kado indahnya untuk orang tua. Hal tersebut berhasil ia wujudkan, Febi mendapat nilai skripsi yang memuaskan, pada akhirnya secepatnya ia segera wisuda.
Mata sayup yang semula terpejam dalam keramaian kemudian terbuka dari lembar cerita kelam masa lalu, detik ini ia sudah memakai gaun dan toga wisuda dan duduk di tengah orang-orang berhasil meraih gelar sarajana. Ceremony hari itu sudah berakhir, setelah berfoto bersama dan melempar toga Febi menemui ke dua orang tuanya di mobil, Ibunda menyambutnya dengan pelukan erat dan tangis haru “terima kasih nak, kamu sudah membahagiakan Papa dan Mama”.
“Iya ma pa, ayo kita pulang” kata Febi.
Mobil hitam mereka melaju pulang meninggalkan kampus, di dalam mobil tangan Febi tak pernah lepas dari jemari Ibunda, kepalanya terusn tersandar di bahu Ibunda. Kepala Febi tiba-tiba merasa pusing terlihat saat ia menutup rapat matanya. “ada apa sayang” tanya Ibunda.
Febi sempat menyentuh kening “Kepala Febi sedikit pusing ma, Febi mau tidur” kata Febi, “ya sudah kamu tidur di pundak mama” kata Ibunda, Febi kembali menyandarkan kepalanya di bahu Ibunda, dengan irama lembut ia memejamkan mata. Selama perjalanan gadis itu tertidur pulas tak terasa laju mobil hitam nya sudah memasuki halaman rumah, namun Febi masih tertidur.
“Febi, kita sudah sampai nak!” Ibunda berusaha membangunkan, tetapi Febi tak kunjung bangun, sekali lagi Ibunda Febi membangunkannya “Febi!” Ibunda menepuk pipinya, merasa puterinya tak juga bangun Ibunda mulai panik “Pa Febi Pa!!!”. Ayah Febi yang berada di bagian setir menengok ke belakang “ada apa dengan Febi ma?”.
“dia gak bangun-bangun pa” Ibunda terus menepuk pipi Febi, setelah itu badan Febi tersungkur di pangkuan Ibunda, tentunya Ibunda histeris dan berteriak“Febi!!!!”. Si Ayah berusaha memanggil ambulance, tetapi tak ada daya berarti yang dapat mereka lakukan, ketika sang Puteri sudah tidak lagi bernafas. Penyakit kronis akkibat kenakalan masa lalu, merenggut nyawa Febi di hari bahagia dan juga masih memakai gaun wisuda, dokter yang menangani Febi menggelengkan kepala isyarat bahwa gadis itu tak dapat di selamatkan, Ibunda menangis sejadi-jadinya di atas jenazah Febi, mau tak mau mereka harus mengikhlaskan puteri mereka bersemayam di perut bumi.
Pusara baru itu tak hanya mengubur sebujur jenazah Febi, namun berbagai kisah hitam ataupun putih yang ia tulis, Ibunda meletakkan toga yang beberapa jam lalu pakai Febi di depan nisan bersama ribuan bunga yang tertabur dalam senja kelabu……….

Baca Juga:  Mahasiswa KIP-K Keluhkan Kebijakan Wajib Belajar di Pondok Pesantren

(Al Saka)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *