APML Buka Forum Diskusi: Menyoal Sikap Pers Mahasiswa Ihwal Kasus Kekerasan Seksual
Terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Kediri, Malang, dan Semarang terhadap pers mahasiswa pada 26 Oktober 2019 dan 14 Februari 2020 hingga kini belum menemukan titik terang. Menyikapi hal tersebut, Aliansi Pers Mahasiswa Lampung (APML) mengadakan kegiatan Forum Diskusi bertemakan Menyoal Sikap Pers Mahasiswa Ihwal Kasus Kekerasan Seksual melalui aplikasi Zoom dan disiarkan langsung di kanal YouTube UKPM Teknokra Unila, Kamis (31/12).
Dihadiri oleh Hendry Sihaloho, Ketua AJI Bandar Lampung, Chandra Muliawan, Direktur LBH Bandar Lampung, Wahyu Agung Prasetyo, BP Advokasi Nasional PPMI, dan Lely Syamsul, Psikolog Women’s March Lampung sebagai pemantik diskusi.
Berdasarkan Term of Reference (TOR), forum diskusi dapat membawa publik agar mampu menilai kasus tersebut tidak dari satu sudut pandang, tetapi dari berbagai perspektif. Wahyu, BP Advokasi Nasional PPMI, memberikan penjelasan bahwa kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Sekjen DK Kediri dan Malang, penyintas tidak langsung melaporkan kepada pihak BP Advokasi melainkan penyintas bercerita kepada temannya (penyintas,. red). Sedangkan, kasus pelecehan seksual yang dilakukan Sekjen PPMI DK Semarang langsung melapor ke BP Advokasi, “Jadi, untuk teknis dalam advokasi kekerasan seksual mekanismenya yang paling penting adalah meperhatikan kondisi mental penyintas,” jelasnya.
Wahyu juga menambahkan bahwa di PPMI sebelum diputus mengenai sanksi, akan diadakannya sebuah forum untuk pembelaan. Dalam forum tersebut tim advokasi meminta kejelasan terhadap pelaku atas tanggung jawab perbuatannya, “Advokasi kasus kekerasan seksual itu tidak mudah, ini tetap berlanjut, dan belum selesai,” katanya.
Menanggapi perihal kasus yang terjadi, Chandra Muliawan, pemantik dari Direktur LBH Bandar Lampung mengatakan, kasus ini (pelecehan seksual terhadap anggota,. red) merupakan PR besar untuk PPMI. Sebab secara organisatoris memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral untuk menyuarakan permasalahan kekerasan seksual, “peristiwa ini tentu menjadi pembelajaran apakah PPMI sudah mempunyai standar etika atau standar moral dalam berorganisasi untuk mencegah hal ini tidak terulang lagi”, ungkapnya.
Mengenai bagaimana penulisan pemberitaan untuk kasus pelecehan seksual, Hendry Sihaloho, Ketua Aji Bandar Lampung, menjelaskan bahwa sebagai pers mahasiswa perlu memahami dalam memandang permasalahan kekerasan seksual. Relasi kuasa merupakan salah satu contoh faktor pemicu. Sehingga pers mahasiswa harus berempati kepada penyintas, sebab yang dibutuhkan penyintas adalah keadilan, “Cobalah untuk memposisikan diri sebagai penyintas, jangan malah bertanya kenapa mau? Kenapa nggak menolak?,” ujarnya.
Dalam kacamata Lely, Psikolog Women March Lampung, memaparkan, kasus pelecehan seksual ini sangat sulit untuk penanganannya. Hal ini dikarenakan bukti keterangan kerap kali berubah-ubah, karena penyintas mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), “Untuk kekerasan seksual ini pembuktiannya sulit karena tidak mungkin melakukan rekonstruksi saat di pengadilan,” ujar Lely.
Ia juga menambahkan meskipun hingga kini kasus pelecehan seksual belum sampai tahap pengadilan. Adanya terapi untuk penyintas sangat diperlukan, untuk mengurangi kecemasan. Selain itu, perlunya memastikan keamanan secara emosi, sehingga menjauhkan penyintas dari hal-hal buruk seperti bunuh diri.
Hendry Sihaloho sebelum menutup pernyataannya menjelaskan bahwa dalam hal ini APML menyoalkan sikap, bagaimana mestinya pers mahasiswa ini clear soal kekerasan seksual, “ini adalah ruang diskusi, mestinya ini yang perlu dilakukan oleh kelompok manapun. Saya melihat bukan ajang untuk penghakiman ya, bukan untuk mengadili PPMI ini,” tutupnya.
(Reporter/Rizki)