Dua Pekan Gejolak, Rektor UIN Jusila Ungkap Kronologi Lengkap Kasus Etik Dosen dan Mahasiswi

Pada dua pekan terakhir, lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Jurai Siwo Lampung (Jusila) diguncang keresahan setelah mencuatnya kabar dugaan pelanggaran asusila dan kode etik yang melibatkan seorang dosen dan mahasiswi. Informasi yang awalnya beredar dari pesan berantai dan cerita mulut ke mulut itu membuat mahasiswa menuntut kejelasan, sebab nama pelaku mulai teridentifikasi meski belum ada pernyataan resmi dari pihak kampus.

Desakan itu kemudian berujung pada pembentukan Aliansi Mahasiswa UIN Jusila sebagai wadah untuk menyatukan aspirasi dan keresahan kolektif. Aliansi kemudian menyusun surat permohonan audiensi yang ditujukan kepada Rektor UIN Jusila, Ida Umami, dan diserahkan pada Rabu (26/11/2025).

Sehari setelah surat diserahkan, massa mahasiswa menggeruduk gedung rektorat sekitar pukul 11.00 WIB, Kamis (27/11/2025). Mereka meminta penjelasan terbuka mengenai dugaan kasus tersebut serta menuntut transparansi proses penanganan yang telah berjalan selama dua pekan terakhir. Pertemuan audiensi berlangsung di ruang kerja Rektor UIN Jusila, Lantai II Gedung Rektorat.

Di dalam surat permohonan tersebut, aliansi menegaskan empat tujuan utama audiensi: menyampaikan aspirasi dan tuntutan transparansi, memperoleh penjelasan resmi terkait dugaan pelanggaran etik maupun hukum, mendorong langkah tegas serta profesional dari pihak kampus, dan berdialog mengenai upaya pencegahan agar kasus serupa tidak kembali terjadi.

Suasana tegang langsung terasa sejak forum dibuka. Perwakilan Aliansi Mahasiswa, Fajar, menyampaikan bahwa kedatangan mereka bertujuan memverifikasi dan mengklarifikasi informasi yang telah menyebar luas. Mahasiswa menilai kampus terlalu lamban, tidak transparan, serta tidak memberikan jawaban pasti terkait penanganan kasus tersebut, “Ada oknum dosen yang melecehkan mahasiswa, kami menunggu lama sekali. Kalau tidak ditangani cepat, itu bisa menjamur dan berdampak ke mahasiswa lain,” ujar Fajar di hadapan rektor.

Rektor Ida Umami akhirnya membeberkan secara runtut proses klarifikasi dan penanganan kasus dugaan pelanggaran asusila serta kode etik yang melibatkan seorang dosen berinisial WY dan mahasiswi berinisial Alin (nama samaran., red.). Penjelasan ini disampaikan untuk memberikan kejelasan publik atas polemik yang mencuat dalam dua pekan terakhir.

Ida mengawali penjelasannya dengan menyebut bahwa informasi awal ia terima sekitar dua minggu sebelumnya, melalui pesan WhatsApp yang beredar luas. Pesan itu berisi tuduhan bahwa WY, dosen di Fakultas Syariah, terlibat hubungan asusila dengan mahasiswinya.

“Satu hari setelah saya mendengar kabar tersebut, saya langsung menelpon istri sah WY, berinisial S,” ujar Ida. Dalam klarifikasi itu, S membenarkan bahwa ia mengetahui adanya hubungan antara suaminya dan mahasiswi itu. Pengakuan tersebut membuat rektor semakin yakin bahwa informasi yang beredar memiliki dasar yang kuat.

Setelah menerima laporan tersebut, Ida bergerak cepat. Ia segera berkoordinasi dengan pimpinan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), tempat Alin berkuliah, serta fakultas tempat WY mengajar. Pada Rabu (19/11/2025), Alin bersama Wakil Dekan FEBI datang menghadap rektor sejak pukul 09.30 hingga 12.30 WIB. Dalam pertemuan itu, Alin menyampaikan kronologi lengkap, termasuk menandatangani berkas bermaterai.

Dari keterangan tersebut, Ida menyebut bahwa hubungan keduanya telah berlangsung sejak 2022 hingga 2025 dan telah melahirkan seorang anak laki-laki pada 14 Oktober 2025. Selain itu, Alin juga menunjukkan video akad nikah siri yang dilakukan pada 9 November 2025, setelah anak tersebut lahir.

Pada sore harinya, sekitar pukul 15.30 WIB, paman Alin dan istrinya turut datang ke ruang rektor melakukan pelaporan tambahan hingga menjelang magrib. Melihat perkembangan itu, pada Kamis (20/11/2025) Ida langsung meminta kedua fakultas menggelar sidang kode etik: FEBI untuk Alin dan Fakultas Syariah untuk WY.

Hasil sidang di tingkat fakultas menyimpulkan bahwa keduanya terbukti melakukan pelanggaran kode etik tingkat berat, “Setelah di kedua fakultas tersebut selesai sidang, laporannya langsung diberikan kepada rektor, bahwa yang bersangkutan masing-masing mendapat pelanggaran kode etik tingkat berat, karena kalau tidak dinyatakan tingkat berat dari fakultas maka tidak akan bisa sampai ke universitas atau ke rektor. Memang prosedurnya seperti itu, universitas tidak bisa serta-merta mengadakan sidang kode etik,” ungkap Ida.

Setelah itu, pada Jumat (21/11/2025), rektor menerbitkan Surat Keputusan (SK) pembentukan Dewan Kehormatan Kode Etik Tingkat Universitas. Dewan ini diketuai oleh Wakil Rektor (Warek) I, Dedi Irwansyah, dengan Wakil Rektor II, Yudiyanto, sebagai wakil ketua. Berdasarkan ketentuan dalam buku kode etik, jumlah anggota sidang kode etik universitas maksimal terdiri dari tujuh orang, dan formasi ini dimaksimalkan oleh rektor.

Warek I dilibatkan karena perkara menyangkut unsur kedosenan. Warek II turut masuk sebagai anggota sidang karena terkait status kepegawaian WY, yang diketahui merupakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) paruh waktu dan belum resmi dilantik (pelantikan semestinya berlangsung pada 27 November 2025). Sementara itu, Warek III, Akla, dilibatkan karena berkaitan dengan status kemahasiswaan Alin dan status WY sebagai mahasiswa Program Doktor Hukum.

Selanjutnya, Direktur Pascasarjana dimasukkan sebagai anggota sidang karena berada dalam struktur yang membawahi kemahasiswaan WY. Sidang juga menghadirkan tinjauan dari Ketua Senat, Mukhtar Hadi, serta tinjauan aspek hukum dari Pranata Hukum, Burhan. Terakhir, satu anggota ditambahkan dari Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) untuk memberikan perspektif terkait dugaan pelecehan.

Kemudian, sidang kode etik universitas dimulai pada Senin (24/11/2025). WY dan Alin dipanggil untuk memberikan klarifikasi sehingga sidang tidak selesai dalam satu hari. Setelah mendengarkan keterangan kedua pihak dalam klarifikasi kode etik tingkat universitas, maka sidang memutuskan rekomendasi hukuman pelanggaran tingkat berat berupa pemberhentian WY sebagai Dosen Tetap Bukan PNS (DTBPNS) dengan status P3K paruh waktu. Ia juga diberhentikan dari statusnya sebagai mahasiswa S3. Sidang tersebut selesai pada Selasa Sore (25/11/2025).

Pada Rabu pagi (26/11/2025), Rektor menyelesaikan pemberkasan dan berkonsultasi dengan Inspektorat Jenderal (Irjen) serta Sekjen Kementerian Agama (Kemenag) sebelum menandatangani SK pemberhentian. Setelah pemberkasan selesai dari sidang kode etik kemudian keluar SK pemberhentian terhitung rektor menandatangani pada Rabu (26/11/2025), “Saat ini, yang bersangkutan (WY) sudah diberhentikan sebagai dosen dan mahasiswa, masing-masing dengan SK terpisah,” tegas Ida.

Sementara itu, Alin yang telah mengikuti wisuda tetap dikenai sanksi berat berupa penundaan pemberian ijazahnya selama minimal satu semester, “Karena kejadiannya saat ia masih berstatus mahasiswi, maka sanksi tetap diberikan,” jelas Ida.

Rektor memastikan seluruh SK kini sedang diproses untuk dilaporkan secara resmi kepada Sekjen Kemenag dan tembusan kepada Irjen. Dengan diterbitkannya SK pemberhentian tersebut, Ida menyatakan bahwa proses penyelesaian kasus di tingkat perguruan tinggi telah selesai sesuai prosedur.

Pada audiensi yang berlangsung tegang itu, Fajar, melontarkan meminta agar WY dihadirkan langsung di tengah forum. Ia menilai kehadiran WY penting untuk membuat video klarifikasi agar publik mendapatkan penjelasan yang jelas dan mencegah munculnya opini liar, “Kami minta WY datang ke sini untuk buat video klarifikasi agar jelas beritanya dan valid. Jadi masyarakat luar tidak membuat opini dan perspektif liar,” ujarnya di hadapan rektor.

Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Ida Umami. Ida menegaskan bahwa WY sudah bukan lagi bagian dari kampus, “Tidak bisa, karena posisinya dia bukan lagi dosen kita. Dia sudah kita berhentikan,” tegasnya.

Fajar kemudian mempertanyakan bentuk tanggung jawab WY terhadap institusi. Menjawab hal itu, Ida menegaskan bahwa tanggung jawab tersebut telah dipenuhi melalui proses etik dan pemberhentian, “Bentuk tanggung jawabnya sudah kita berhentikan. Kalau kamu mau, ada produk putusan saja. Tidak perlu bersentuhan lagi atau mencari masalah dengan WY. Saya sudah memutus mata rantai perguruan tinggi dengan penyelesaian di sidang kode etik dan pemberhentian,” jelas Ida.

Meski demikian, mahasiswa tetap bersikeras agar WY dihadirkan untuk memberi klarifikasi terbuka. Mereka menilai pernyataan lisan saja tidak cukup, “Biar mahasiswa tahu. Kalau hanya ucapan saja, kami tidak bisa percaya. Ketika ada bukti tertulis atau video klarifikasi, itu baru kami apresiasi,” ujar Fajar.

Menanggapi desakan tersebut, Ida kemudian membacakan langsung isi SK sanksi sebagai bentuk transparansi. SK Nomor 732 Tahun 2025 berisi pemberhentian tidak hormat WY sebagai mahasiswa Program Doktor serta pencabutan seluruh hak akademiknya.

Kemudian, SK Nomor 371 mengatur hukuman disiplin tingkat berat bagi WY sebagai Dosen Tetap Bukan PNS Fakultas Syariah, di antaranya:

  1. Pemberhentian tidak hormat sebagai DTBPNS karena terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan wanprestasi perjanjian kerja.
  2. Menyatakan tidak memenuhi syarat integritas moral untuk di angkat sebagai ASN dan mengusulkan pembatalan keputusan menteri agama nomor 66 E tahun 2025 tentang pengangkatan P3K paruh waktu atas nama yang bersangkutan kepada pejabat pembina kepegawaian Kementerian Agama Islam.

Ida juga menyampaikan SK Nomor 733 Tahun 2025 tentang Penjatuhan Sanksi Pelanggaran Kode Etik Mahasiswa kepada Alin. Melalui SK itu, kampus menjatuhkan sanksi berupa penundaan penyerahan ijazah dan transkrip nilai, baik asli maupun legalisir. Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut turut mempertimbangkan kondisi psikologis Alin yang selama proses berlangsung mengalami tekanan berat, bahkan sempat beberapa kali mencoba mengakhiri hidupnya, “Dengan segala keterbatasan dan keberaniannya, dia berani melapor dan menandatangani berkas bermaterai,” kata Ida.

Meski demikian, Fajar tetap bersikeras meminta kehadiran WY untuk memberikan efek jera. Ia khawatir jika hal itu tidak dilakukan, pelanggaran serupa bisa terus berulang, “Kami meminta WY hadir di sini untuk memberikan efek jera. Jika hal tersebut tidak diamin-kan, maka akan terus menjamur. Sanksi sosial itu harus ada,” tegasnya.

Rektor kembali menolak permintaan tersebut. Ida menjelaskan bahwa WY telah dipanggil secara resmi dalam sidang kode etik universitas yang merupakan forum yang memiliki dasar hukum dan otoritas, “WY sudah dipanggil, tapi klarifikasinya bukan di depan mahasiswa. Dia hadir di depan sidang kode etik kehormatan tingkat universitas yang punya legalitas. Tapi karena dia sudah diberhentikan, itu bukan wilayah kita lagi. Sanksi sudah ditetapkan, maka dia bukan siapa-siapa lagi,” ujarnya.

Ketegangan dalam forum meningkat ketika mahasiswa menilai bahwa pemberhentian saja tidak cukup sebagai bentuk akuntabilitas moral dari pelaku. Mereka tetap meminta WY dihadirkan. Namun, Ida menegaskan kembali batasan kewenangan rektor, “Itu bukan lagi ranah kita. Secara akademis, kewenangan saya hanya sampai pemberhentian melalui SK. Kalau saya melangkah lebih jauh, saya bisa terkena pasal pencemaran nama baik. Secara proses, saya sudah mengambil keputusan paling tinggi berupa pemberhentian. Jika ada proses hukum, itu wilayah keluarga Alin dengan WY. Bahkan kuasa hukum meminta mediasi—itu bukan wilayah saya,” jelas Ida.

Mahasiswa tetap merasa belum puas. Namun, menurut Ida, tanggung jawab WY secara agama maupun kelembagaan telah dipenuhi, “Tanggung jawab dia sudah menikahi secara sah. Videonya ada, tanggal 9 November mereka menikah dengan saksi, mahar, dan wali. Secara kelembagaan, saya sudah memberikan sanksi dan melaporkan ke Kemenag. Setelah ini, Irjen akan turun menindaklanjuti laporan tersebut,” pungkasnya.

Mahasiswa kembali mengajukan tuntutan tambahan dengan meminta rektor menunjukkan video akad nikah sirri yang sebelumnya disebutkan dalam klarifikasi, “Kami mau lihat video nikah siri karena Bunda bilang ada,” ujar salah satu mahasiswa.

Rektor Ida Umami menanggapi permintaan tersebut dengan memberikan batasan yang tegas. Ia menyatakan bersedia memperlihatkan video tersebut, namun hanya sebagai bukti, bukan untuk diperdebatkan, “Kalau mau lihat, saya bisa perlihatkan videonya. Nilailah sendiri. Tapi setelah saya kasih lihat video, kita bubar ya, karena kami harus rapat lagi,” tegas Ida.

Meski begitu, mahasiswa menolak meninggalkan ruangan sebelum seluruh tuntutan mereka dipenuhi. Melihat situasi yang makin memanas, rektor kembali menegaskan batas kewenangannya, “Silakan, itu keputusan kalian. Tapi sudah saya sampaikan berkali-kali bahwa tugas dan kewenangan rektor hanya sampai pada memberhentikan dan memecat. Itu sudah kami lakukan,” ujar Ida.

Ida menyebut bahwa dirinya telah memenuhi kewajiban dengan menjelaskan SK, proses sidang etik, serta sanksi yang dijatuhkan. Ia kemudian meminta forum untuk bersiap menampilkan video yang dimaksud.

Pada kesempatan itu, mahasiswa juga menyampaikan keluhan lain. Mereka mempertanyakan kinerja WY sebelum kasus mencuat, karena menurut mereka, WY jarang hadir mengajar.

Menanggapi hal tersebut, Ida menjelaskan bahwa perilaku tersebut memang sudah menjadi catatan fakultas, “Sebelum kejadian ini (pelanggaran asusila, red.), dosen itu (WY, red.) sudah kena Surat Peringatan (SP) dari Dekan I,” jelasnya.

Rektor menutup penjelasan dengan menegaskan kembali bahwa seluruh prosedur telah dijalankan, mulai dari klarifikasi, sidang kode etik di fakultas, sidang etik universitas, hingga pemberhentian resmi yang juga telah dilaporkan ke Kementerian Agama. Proses berikutnya, kata Ida, sepenuhnya menjadi wilayah penegak disiplin di tingkat kementerian serta penyelesaian personal antara kedua belah pihak.



Agar menghindari kesalahpahaman publik, Ida kembali memberikan penjelasan tambahan mengenai kondisi pribadi WY sebelum kasus mencuat. Ia menegaskan bahwa hubungan antara WY dan Alin terjadi ketika WY sudah berstatus duda, “Tapi ingat, WY kenal mahasiswi ini (Alin, red.)saat posisinya sudah duda. Ia menikah dengan istrinya berinisial S itu ketika sudah berpacaran dengan mahasiswi ini. Sebenarnya kalau beristri dua itu tidak masalah, karena dia bukan PNS, dan istri sahnya sudah mengizinkan. Saya sendiri yang menelpon dan S mengatakan demikian,” jelas Ida.

Namun, ia menekankan bahwa persoalan utama dalam kasus ini adalah pelanggaran kode etik berat, ”Karena yang jadi masalah melanggar kode etik tingkat berat, jadi kita berhentikan,” tegasnya.

Mahasiswa kemudian mempertanyakan transparansi proses sidang kode etik. Mereka meminta bukti bahwa sidang benar-benar dilaksanakan secara resmi, “Saat sidang, ada berita acara kan? Kami minta buktinya bahwa itu benar-benar disidang, bukan hanya omongan,” ujar salah satu mahasiswa.

Ida menegaskan bahwa seluruh proses telah dilakukan sesuai hukum dan melibatkan ahli, “Bahkan secara hukum sudah meyakinkan, karena yang mendampingi sidang pun ada yang dari ahli hukum,” jawabnya.

Setelah itu, sejumlah bukti ditampilkan kepada mahasiswa. Mulai dari dokumen sidang WY, foto selfie WY bersama Alin, hingga video akad nikah siri yang sebelumnya disebutkan rektor. Terlihat dalam video tersebut prosesi akad yang hanya dihadiri WY, wali dari pihak Alin, serta Alin sendiri.

Namun suasana forum mendadak gempar ketika video memperlihatkan WY langsung menjatuhkan talak kepada Alin setelah akad selesai diucapkan. Momen tersebut membuat para mahasiswa bersorak dan mengangkat kamera mereka untuk merekam kejadian tersebut yang dinilai tidak pantas dan mengejutkan.

Pada saat bersamaan, rektor menandatangani berita acara forum audiensi sebagai bentuk dokumentasi dan komitmen atas jalannya pertemuan tersebut.

Ida menyampaikan apresiasinya kepada mahasiswa atas keberanian dan kepedulian mereka terhadap kasus tersebut, “Saya sampaikan apresiasi yang luar biasa atas masukannya. Ini akan saya bawa ke Jakarta seperti yang sudah saya tanda tangani. Mohon kalau ada apa-apa, datang ke Warek III atau langsung ke rektor. Saya sangat terbuka. Saya bangga kepada teman-teman karena bisa bertemu dengan tertib. Jika ada apa-apa segera laporkan, insyaallah kami akan menindaklanjuti sekuat tenaga. Hasilnya pun akan kami sampaikan progresnya kepada mahasiswa,” tutupnya.

Fajar menyampaikan bahwa aksi tersebut berangkat dari kekhawatiran mahasiswa atas perilaku tidak pantas yang diduga dilakukan oleh seorang dosen kepada mahasiswanya. Ia menilai peristiwa tersebut telah menimbulkan dampak psikologis, terutama bagi mahasiswa perempuan, “Ini dimulai dari keresahan mahasiswa karena ada oknum dosen yang melakukan pelecehan seksual. Kami akan terus mengawal hal-hal seperti ini sampai kapan pun. Jika kasus seperti ini terulang kembali, tentu sangat disayangkan. Mahasiswa jelas sangat resah, terutama kami khawatir kawan-kawan perempuan mengalami trauma psikologis,” ujar Fajar.

Fajar menegaskan bahwa mahasiswa menuntut dua hal utama: transparansi dan efek jera bagi pelaku, “Kami ingin kampus transparan terkait apa pun. Yang kedua, kami ingin ada efek jera, terutama bagi dosen-dosen lain agar tidak melakukan tindakan serupa. Hal kecil yang dibiarkan akan menjadi besar. Karena itu, kampus harus bertindak cepat dan progresif, tidak bisa menganggap remeh hal seperti ini,” tegasnya.

Hasil audiensi dengan rektor, Fajar menyatakan bahwa mahasiswa cukup puas, meski belum sepenuhnya, “Dibilang sangat memuaskan tidak, tapi dibilang cukup memuaskan ya cukup. Tuntutan mahasiswa agar oknum dosen dipecat sudah dipenuhi: hak akademiknya dicabut, status mahasiswa S3 dicabut, dan status PPPK juga dicabut. Tapi yang kami sayangkan, transparansi dan hal-hal urgent masih kurang. Kami ingin oknum dosen dihadirkan saat audiensi, tetapi tidak bisa,” tuturnya.

Ia berharap kampus dapat memperbaiki penanganan kasus serupa dan tidak mengabaikan persoalan sekecil apa pun, “Ke depan, kami berharap tidak ada lagi pungli, pelecehan, atau hal-hal lain yang merugikan mahasiswa. Sekecil apa pun pelanggarannya, kami akan tetap mengawal dan menuntut jika ada oknum dosen melakukan tindakan yang tidak diinginkan,” pungkasnya.

Selain itu, salah satu peserta Aliansi Mahasiswa, Ilham Bratama, mengakui bahwa respon pimpinan terhadap kasus tersebut terbilang cepat, tetapi tetap menilai perlunya reformasi ruang aspirasi mahasiswa, “Respon rektor memang cepat karena kasus ini berat, apalagi sudah sampai menyebabkan kehamilan meski itu hubungan suka sama suka. Tapi seharusnya hal seperti itu tidak terjadi di lingkungan kampus,” ujarnya.

Ilham menegaskan bahwa kampus perlu segera membentuk wadah aspirasi mahasiswa, seperti Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas, agar persoalan akademik maupun non-akademik dapat ditangani secara berjenjang dan tepat, “Kita butuh wadah aspirasi. Misalnya ada mahasiswa yang ingin melapor soal pungli, mereka bingung harus ke mana. Tidak mungkin langsung ke rektorat. Harus ada wadah resmi. SEMA-DEMA universitas harus segera dibentuk,” jelasnya.

(Reporter/Habibila/Meli/Sundari)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *