38°C
21 May 2024
Argumen

Literasi Mati Suri

  • September 6, 2017
  • 3 min read
  • 35 Views
Literasi Mati Suri

Perguruan tinggi merupakan markasnya para cendekiawan-cendekiwan penghasil ilmu pengetahuan. Civitas akademika yang sehari-harinya berkutat dengan pengkajian ilmu. Tak heran jika para orang tua mempercayakan anak-anak mereka menempuh pendidikan dengan biaya mahal supaya anak bisa menghadapi tuntutan kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara, dan ber-akhirat. Orang tua dan para pahlawan terdahulu menaruh harapan besar pada generasi muda. Maka pemuda digembleng supaya memiliki pola pikir yang kritis, dan analitis menuju kebijaksanaan.

Namun belakangan ini pemandangan yang sering kita lihat dikampus ternyata belum sepenuhnya mencerminkan aktivitas para cendekiawan. Mahasiswa yang menenteng buku saja sudah jarang dijumpai di gazebo-gazebo kampus. Justru kita menjumpai mahasiswa berdiskusi dengan menenteng-nenteng telepon pintar (smartphone) semakin merajalela. Tapi kita juga tidak boleh mengambil konklusi hanya dengan melihat sekilas saja. Barangkali para mahasiswa ini sedang membaca electronic book (ebook), karena sekarang sudah modern sehingga membaca buku tak perlu dengan menteng buku-buku tebal.

Tapi anehnya halaqoh itu sering diiringi dengan gelak tawa yang berlebihan. Ada apakah gerangan? Buku apa yang mereka baca sehingga mengundang tawa secara serempak? Setelah didekati ternyata ironis sekali, halaqoh-halaqoh yang sering kita jumpai dikampus lebih didominasi oleh aktivitas rumpian ala ibu-ibu arisan. Yang membuat para mahasiswa dan mahasiswi ini betah duduk di gazebo ternyata ada jaringan wifi gratis di kampus. Sehingga memudahkan mereka mengakses jejaring sosial dan mengupdate info terbaru terkait life style. Ternyata kebiasaan mahasiswa semakin kesini mengalami perubahan, bahkan berbanding terbalik dengan mahasiswa dahulu.

Barangkali ketika ditengah-tengah anak muda kekinian yang berhalaqoh menggenggam telpon pintar itu ada satu saja mahasiswa yang membaca buku, pasti yang sedang membaca buku itu terlihat aneh dan tidak keren sama sekali. Namun berbeda ketika keadaan itu dibalik menjadi banyak mahasiswa berhalaqoh membaca buku atau bincang buku, sedangkan satu di antara mereka diam khusyuk memegahng telepon pintar. Maka mahasiswa yang autis dengan telepon pintar akan terlihat aneh dan tidak keren dibanding teman-temannya. Itulah mengapa orang-orang merasa asyik saja berada di jalan yang salah karena banyak teman. Terlalu nyaman berada di zona yang banyak teman dibanding mencari zona lain yang lebih mengantarkan pada kenyamanan hakiki.

Baca Juga:  Pendidikan Karakter

Budaya literasi sudah mulai mati suri di markas para cendekiawan. Aktivitas akademik yang diharap-harapkan lahir dari generasi pemuda kini hanya keniscayaan. Mahasiswa zaman sekarang menganggap buku adalah asesoris jadul, kemudian hanya dicari ketika dituntut oleh dosen yang berorientasi pada nilai A untuk mata kuliah tertentu. Mahasiswa zaman sekarang sibuk dengan update life style terbaru dibanding dengan update keilmuan mutakhir. Sebenarnya tidak ada salahnya bergaya modis sesuai mode, tapi sebagai kaum cendekiawan seharusnya tidak hanya dandannya saja yang keren, melainkan pemikirannya juga keren.

Tapi kekinian berkata lain, fakta lapangan menunjukkan mahasiswa maupun mahasiswi sibuk bersolek, spa dan memunggungi buku saja. Bagaimana ceritanya bisa membangun negara jika pemudanya saja masih terlalu egois? Haruskah dosen membuat buku mutabaah (catatan harian) untuk menghitung berapa buku yang dibaca setiap hari dengan imbalan nilai A supaya mahasiswa berbondong-bondong meneguk ilmu dari buku? Entahlah. Barangkali dengan mode pakaian palig mutakhir lebih penting dibanding ber-buku-an paling mutakhir. Barangkali banyak followers di instagram dan twitter lebih terlihat keren daripada mengenal tokoh-tokoh inspiratif.

Dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi, keilmuan mahasiswa memang tidak bisa disama-ratakan. Saat lulus pun begitu, gelar yang mereka miliki sama namun ilmu yang mereka bawa berbeda. Karena kuliah ibarat nelayan yang pergi melaut, sepulang dari laut sebagian dari mereka membawa ikan yang banyak, dan adapula hanya mendapat lelah saja karena tidak bisa mengendalikan angin lautan.

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

4 Comments

  • Ririn keren, semangat terus nulis nya…

    • Siap semangat

  • Benar adanya bahwa Literasi perlu dibangunkan dari mati suri itu. Untuk itu mari budayakan membaca buku. Perlahan namun pasti minimal diri kita dahulu, lalu mengajak teman-teman.

    Karena buku adalah jendela dunia. Bagaimana kita bisa melihat dunia tanpa dibuka jendela itu. Semangat menebar literasi.

    • Mantab. Siap

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *