38°C
16 May 2024
Opini

Ilmu, IPK dan Dunia Kerja

  • Juni 11, 2012
  • 5 min read
  • 30 Views

Riyan Oktavianto
Mahasisiwa PBI/IV

Satu dekade terakhir kesadaran masyarakat akan urgensi pendidikan menunjukan peningkatan yang signifikan. Hal ini terlihat dengan meningkatnya jumlah pelajar yang melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi (PT) yang bahkan terjangkau oleh ekonomi menengah kebawah. Tingkat pendidikan tinggi tentu saja menjadi harapan besar akan perbaikan ekonomi melalui pekerjaan yang layak. Meski demikian, Indonesia dengan 230 juta lebih penduduknya tentu belum sebanding dengan jumlah Perguruan Tinggi yang ada saat ini sehingganya tak lebih dari 30% pemudanya yang menjadi mahasiswa. Oleh sebab itu, ketersediaan Perguruan Tinggi berkualitas menjadi peran sentral demi kemajuan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat kedepan.
Selanjutnya, posisi mahasiswa yang disebut sebagai agent of change sejatinya menjadi think tank inovasi dan juga manifestasi dari kemajuan Perguruan Tinggi. Lebih dari itu, mahasiswa sejatinya memiliki sense of social respondsibility yang mampu melakukan pembaruan dan pencerahan di masyarakat dan bukannya malah ikut terbawa arus apatisme, anarkisme dan dekadensi moral. Sangat miris rasanya ketika mahasiswa sebagai kaum terpelajar ternyata hanya sibuk dengan urusanya sendiri, atau bahkan sekedar adu gaya meski mengandalkan fasilitas orang tua. Padahal terdapat potensi sekaligus tugas besar untuk ditunaikan mahasiswa diseluruh penjuru negeri ini, karena masa mendatang adalah milik pemuda hari ini.
Perguruan Tinggi sebagai wadah pendidikan dan pemberdayaan pemuda dituntut memiliki daya saing yang baik. Senada dengan hal itu, STAIN Metro mengusung visi menjadi Perguruan Tinggi yang berdaya saing. Visi yang sangat sesuai dengan realita sosial saat ini mengingat masih besarnya jumlah pengangguran terdidik diantara lembah pengangguran tak terdidik di Indonesia. Disisi lain, Pemda Metro pun mengusung visi Metro sebagai kota pendidikan yang unggul dan sejahtera, dengan demikian, kemajuan pendidikan menjadi tujuan bersama Pemda Metro dan STAIN yang memiliki jurusan Tarbiyah (pendidikan). Namun pertanyaannya, sejauh mana kesiapan STAIN menjadi Perguruan Tinggi berdaya saing?
Di era globalisasi ini, daya saing menjadi penentu keberhasilan dan sebagai Perguruan Tinggi Islam, STAIN mengkolaborasikan kecerdasan intelektual dengan akhlak Islami alumninya untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Dari sisi infrastruktur, dengan jumlah mahasiswa lebih dari 5000, ruang belajar STAIN Metro cukup memadai. Namun bila mengacu pada standar internasional maka satu kelas berkisar antara 15-20 pelajar saja. Selain itu, tenaga pengajar saat ini dirasa masih kurang, baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini terlihat pada beberapa kuliah yang terlambat memulai atau tumpang tindih pada pelaksanaanya. Dan satu hal penting yang mestinya dapat dicapai yaitu learning culture atau budaya belajar yang harus diakui masih rendah. Budaya belajar adalah esensi dari Metro kota pendidikan dan sekaligus syarat menjadikan STAIN Metro berdaya saing. Namun dalam pencapaian tersebut, tentu diperlukan kesatuan aksi baik mahasiswa, dosen, lembaga, masyarakat dan pemerintah.
Dalam hal ini, mahasiswa sebagai objek sekaligus subjek pembelajaran memiliki peran vital dalam pelaksanaan sistem pendidikan yang ada. Semisal, saat dosen berhalangan datang dalam perkuliahan, maka hampir dapat dipastikan suasana belajar kurang kondusif atau bahkan dibiarkan kosong tanpa ada kajian mengenai kuliah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa budaya belajar memang masih rendah dan ini berlaku untuk semua jurusan dikampus STAIN. Ditambah lagi, budaya belajar ini pun urung dijumpai dalam lembaga kampus sendiri, yang menjadikan perkuliahan sebatas rutinitas tanpa perubahan sikap permanen sebagaimana maksud dari pendidikan. Akibatnya, perkuliahan cenderung menjadikan nilai sebagai prioritas utama dengan seringkali mengesampingkan proses.
Gejala pragmatisme perkuliahan oleh nilai ini dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya dengan mandegnya bilingual language di lingkungan kampus, minimnya narasi diskusi, bahkan konten makalah yang mayoritas hasil copas (copy paste) akibat rendahnya penguasaan buku. Bagi mahasiswa tersebut, nilai adalah segalanya dan indeks prestasi komulatif (IPK) adalah tujuan utamanya. Proses perkuliahan hanyalah syarat memperoleh nilai. Meski demikian, tentu saja terdapat beberapa mahasiswa yang menguasai materi bahkan berprestasi dalam bidang keilmuannya, namun hal ini belum mampu meradiasi yang lain. Bagi mahasiswa macam ini, ilmu adalah tujuannya dan proses perkuliahan adalah sumbernya sedangkan nilai adalah kemampuan keilmuannya. Pertanyaanya, apakah IPK menjamin kelayakan kerja?
Alumnus Perguruan Tinggi, tentu saja akan kembali ke masyarakat dengan bekal keilmuan yang telah diperoleh selama kuliah. Faktanya, masyarakat tidak melihat IPK untuk menilai keilmuan seseorang. Masyarakat cenderung melihat aksi nyata, misalnya kemampuan mendirikan kursus atau BMT mandiri. Hal tersebut patut diapresiasi mengingat frame kuat bahwa PNS dan guru adalah tujuan akhir dan satu-satunya untuk membuktikan keilmuan dan kesuksesan seorang sarjana meski terkadang kemampuannya tidak sesuai dengan yang diharapkan sekolah. Disisi lain, meski bukan pemilik IPK tertinggi, terdapat mahasiswa yang dipercaya lembaga sebagai dosen pengajar, tentu saja dengan pertimbangan keilmuan yang lebih diutamakan.
Dalam dunia kerja, meski penyerapan tenaga pengajar termasuk tinggi, namun jumlah alumnus dari berbagai Perguruan Tinggi pun semakin meningkat. Akibatnya, penyerapan tersebut tidak mencakup semua alumnus yang ada, terlebih yang hanya mengandalkan IPK. Oleh sebab itu, perubahan perspektif menjadi penting untuk kembali menjadikan ilmu sebagai prioritas utama. Menurut penulis, budaya belajar adalah peran vital mahasiswa dan dapat diperoleh melalui kesadaran bersama. Dan berkaitan dengan dunia kerja, terdapat beberapa hal utama yaitu kualitas alumnus, citra Perguruan Tinggi, jaringan kerja Perguruan Tinggi dan keilmuan mahasiswa itu sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa IPK adalah faktor kesekian dalam persaingan di dunia kerja.

Bagikan ini:
Baca Juga:  HAMAS MINIATUR CIVIL SOSIETY ABAD 21*
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *