38°C
20 May 2024
Cerpen Mahasiswa

Luka Tak Berdarah

  • Mei 29, 2020
  • 5 min read
  • 59 Views
Luka Tak Berdarah

Aku gadis berumur 14 tahun, namaku Aiueo. Kata ayah dan ibu, namaku merupakan gabungan dari semua huruf vokal. Aku merasa nama Aiueo adalah nama terunik, terindah, dan tentunya nggak pasaran dong. Jadi wajar saja kalau aku sangat bangga dengan nama yang ku punya.

 

Seperti biasa, setiap pagi aku bangun tepat waktu. Segera kulaksanakan ritual mandiku dan bersiap-siap menuju ke sekolah. Rutinitas ini tentu tidak lepas dari alarm hidupku, bunyi nyaringnya melebihi jam di seluruh dunia. Ya, siapa lagi kalau bukan ibuku.

“Sayang, ayo cepat sarapan nanti kamu terlambat!” teriak ibuku.
“Iyaaaaaa…” sahutku tak kalah nyaringnya.

 

Akupun segera menuju ruang makan, ayah dan ibu yang sudah duduk manis menungguku di sana. Dilanjutkan dengan sarapan bersama sembari mengobrol ringan, keluarga kami sejak dulu memang terasa hangat dan harmonis. Mereka selalu menyayangiku lebih dari apapun.

Aku segera berangkat sekolah dan tak lupa ku kecup kening mereka sambil ku katakan, “I love you ayah, I love you ibu”.
I love you too,” sahut mereka serentak sambil mengecup keningku.

 

Kebiasaan itu yang selalu membuatku bersemangat dalam hal apapun. Tak heran aku selalu menjadi bintang di sekolah, banyak guru yang menyayangiku. Begitu pula dengan teman-teman yang ingin mendekatiku. Salah satunya Dina, sahabat karibku.

“Hai Dina, apa kabar kamu hari ini?” sapaku sambil tersenyum lebar.
“Hai Aiueo, kamu terlihat cantik hari ini,“ jawab Dina sambil menepuk pundaku.
Ahhh…bangun tidur kamu ya? Hahaahaa,” tawaku meledek Dina.
Dinapun juga ikut tertawa, “Ayo kita ke kelas,” ajak Dina.

 

Di kelas pun kami duduk sebangku. Kami selalu memperhatikan apa yang diajarkan oleh guru dari awal jam pelajaran hingga akhir jam pelajaran. Bel pulang pun berbunyi “kriiiiiinggggggggg….kriiiiiingggggg,,,,kriiiiingggggggggggg”.
“Sampai jumpa Aiueo!” ujar Dina sambil melambaikan tanganya kepadaku.
“Sampai jumpa Dina,” balasku dengan senyuman.

Baca Juga:  Jadilah Bagian Persma Pertama di Kota Metro

Aku dan Dina memang sudah seperti keluarga. Bagaimana tidak, ibuku dan ibunya sudah berteman sejak aku masih berumur 8 tahun. Rumah kami hanya berjarak 3 rumah, ibu sering berkunjung ke rumah tante Susi hanya untuk mengobrol sore, ataupun sekedar memberi semangkuk makanan, begitupun sebaliknya.

 

Kedekatan ibu dan tante Susi makin terjalin ketika ayah Dina meninggal dunia karena kecelakaan. Tante Susi harus menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi kedua anaknya yaitu Dina dan Doni.

Doni yang masih berumur 3 tahun, tidak bisa dibawa selama tante Susi kerja. Sering kali tante Susi harus izin bekerja karena Doni rewel. Ibuku merasa kasihan melihat kerepotan tante Susi, ibu berniat untuk meringankan beban tante Susi.

 

“Susi, kalau kamu tidak keberatan saya bersedia menjaga Doni selama kamu masih bekerja, dan….” ujar ibu.
“Tapi aku……….” celah tante Susi sebelum ibu selesai berbicara.
“Sudahlah Sus, lagi pula aku itu nggak ada kesibukan di rumah,” jawab ibu meyakinkan.

Sejak saat itulah, Doni selalu diantar jemput oleh tante Susi setiap hari. Namun ternyata, niat baik ibuku justru menjadi malapetaka dalam keluargaku, ternyata tante Susi seorang penghianat. Merebut semua kebahagiaanku, bak dikasih hati minta jantung. Teganya ia menggoda ayahku saat di luar rumah.

Kini, makanan sehari-hariku hanyalah pertengkaran ayah dan ibuku.

“Jadi selama ini kamu bermain di belakangku dengan Susi? Apa kamu lupa dengan semua janji-janjimu untuk menjaga keluarga kecil kita di hidup dan matimu?” tanya ibu sambil menangis terisak-isak.
“Diam kamu!” Plaaaaaaakkkkk, tangan ayah meninggalkan bekas merah di pipi ibu.

Ibuku hanya diam dan mencoba membendung air mata yang terus mengucur deras. Hatiku sangat terpukul dan pilu melihat kejadian itu dari celah lubang tembok kamarku. Aku menangis sejadi-jadinya, sambil kutahan isakku. Hingga akhirnya aku mendengar ayah berteriak “Kita cerai!”.

Baca Juga:  Yudiyanto Gelar Pelatihan Zotero sebagai Manajemen Referensi Karya Ilmiah

Aku makin tak bisa menahan tangisku. Bagaikan petir yang menyambarku secara tiba-tiba, hatiku benar-benar hancur tak menginginkan hal ini terjadi. Aku muak. Aku masih tak percaya. Aku ingin marah tapi aku bisa apa, aku ingin melerai tapi aku bisa apa.

Hingga kulampiaskan amarahku saat itu dengan memukul-mukul kepalaku sekeras-kerasnya, membenturkan kepalaku di tembok sekeras-kerasnya. Hal itu kulakukan berulang kali berharap aku bisa meredakan amarahku. Namun, amarahku tak kunjung reda. Hingga aku berteriak sekencang-kencangnya “aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……”.
Ibupun datang ke kamarku dengan membawa ransel baju dan menarik tanganku “Ayo kita pindah ke rumah nenek!” ajak ibu sambil menangis tersedu-sedu.

Aku dan ibu pindah ke rumah nenekku. Mulai saat itu, aku dan ibu mulai menata hidup. Ibu selalu mengajari aku untuk berdamai dengan kenyataan. Aku juga pindah ke sekolah yang baru dengan harapan bisa membuka lembaran hidup yang baru juga. Ibuku bekerja keras demi kebahagiaanku.

Semua pekerjaan halal ibu lakoni demi menyekolahkanku, mulai dari menjual kue, menjual koran, hingga menjadi buruh cuci baju. Tak jarang ibuku mendapat cemoohan tetangga karena perekonomian kami yang semakin anjlok. Namun, ibu tetap bersemangat menyekolahkanku. Kadang aku juga membantu ibu berjualan kue.

“Aiueo, bawa kue yang di atas meja ya nak,” pinta ibu.
“Iya bu,” taatku.
Di sekolah ketika jam istirahat pun aku selalu berkeliling ke sudut sekolah menawarkan kue ke teman-temanku. Tak jarang mereka mengejekku “Eh… anak korban broken home gak punya uang yaa. Jadi harus jualan kue, hahahaha,” ejek mereka.

Seringnya menjadi korban bullying di sekolah, aku selalu menangis ketika tiba di rumah, tapi ibu selalu menguatkanku dengan berkata, “Aiueo sayang, kau gadis yang kuat nak, yakinlah bahwa ada sesuatu hal yang besar menunggu kita. Bersabarlah sayang!” dekap ibu penuh kasih sayang.

Baca Juga:  Polemik AD ART dan Peraturan Ormawa, Akibatkan Kongres Ormawa Ricuh

 

Sempat aku merasa hidup ini tak adil untukku. Aku ingin merasakan kasih sayang yang sempurna dari seorang ayah dan ibu. Namun, itu mustahil bagiku. Aku kehilangan figur seorang ayah, kehilangan kebahagiaanku, kehilangan hakku. Aku rindu dengan suasana harmonis di tengah keluargaku. Kisah pilu ku ini benar-benar menamparku hingga aku tumbuh dengan sikap pendendam.

Luka yang menganga ini rasanya sulit disembuhkan. Semua yang ada di memoriku hanya tentang kejelekan ayahku. ‘Tega’ begitulah aku menilai ayahku. Hingga kini aku selalu berusaha berdamai dengan diriku, menyingkirkan kenangan pahit ini dan berharap lukaku bisa mengering seiring kenyataan berjalan.

(Penulis/Arikah Husnah/BSA’17)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *