Mahasiswa FSy UIN Jusila Lakukan Aksi di PBAK, Sampaikan Empat Tuntutan

Salah satu mahasiswa Fakultas Syariah (FSy) Universitas Islam Negeri (UIN) Jurai Siwo Lampung (Jusila), Ilham Bratama, melakukan aksi protes saat acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) hari kedua di Gedung Academic Center (GAC), Jumat (22/8/2025).

Aksi dilakukan dengan membentangkan spanduk berisi sejumlah tuntutan di lantai dua GAC. Tuntutan tersebut antara lain, “Perbaiki Fasilitas Kampus, Stop Bungkam Ormawa, Transparansi Anggaran, Matinya Sema Dema-U”. Sebelum melakukan aksi tersebut, Ilham menjelaskan kronologinya pada Kronika. Ia menyampaikan bahwa Fakultas Syariah tidak diberi kesempatan tampil dalam sesi pengenalan Organisasi Mahasiswa (Ormawa)

Ia menjelaskan bahwa sempat mengajukan izin kepada pihak fakultas agar bisa tampil, namun tidak mendapat ruang, “Saya bilang, bu saya mau tampil,” ujarnya menirukan perkataan kepada Wakil Dekan (Wadek) III Fsy, “Kamu itu mau tampil apa?” tanya Wadek, “Saya mau kasih tau bahwa kampus kita sedang tidak baik-baik saja,” jelas Ilham saat cerita pada Kronika.

Ilham menilai pimpinan fakultas tidak memberi ruang karena khawatir dengan pernyataan yang akan disampaikannya, “Kan dia orang takut kalau saya menyampaikan itu,” ujarnya.

Ia menambahkan, dirinya sempat diminta mempromosikan komunitas di Fakultas Syariah, padahal ia tidak tergabung dalam komunitas manapun, “Saya disuruh mempromosikan komunitas di fakultas syariah, kan saya gak masuk komunitas, berarti saya gak di bolehin ngomong. Intinya gitu,” ungkapnya.

Menurut Ilham, saat ia diberi kesempatan berbicara, hanya sebatas menjadi moderator, “Ya udah kamu sebagai moderator, kalo kamu ngomong melenceng selain dari moderator mic kamu saya matikan,” ujar wakil dekan kepada Ilham, sebagaimana diceritakan kepada Kronika.

Ilham menilai kebijakan yang mensyaratkan mahasiswa tergabung dalam komunitas agar bisa tampil justru membatasi penyampaian aspirasi, “Kami disuruh menyampaikan tentang komunitas, kalo kami di luar komunitas nanti mic-nya dimatikan, berartikan ini kami dibuat takut,” jelasnya.

Selain persoalan kebebasan menyampaikan aspirasi, Ilham juga menyoroti transparansi anggaran dan perbaikan fasilitas kampus, “Kita nih mau kasih tau biar mahasiswa tau, jangan masalahnya efisiensi. Tapi kita lihat transparan anggaran itu, anggaran itu seberapa besar sih? Ini UIN loh sekarang. AC rusak di dalam diam aja, jalan hancur diam, di syariah AC, proyektor rusak diam saja,” tegasnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa pemilihan Senat Mahasiswa (Sema) dan Dewan Mahasiswa (Dema) Fakultas Syariah sudah dilakukan sejak 2022, namun Surat Keputusan (SK) tak kunjung terbit, “Sema Dema kami udah melakukan pemilihan, sama Wadek tidak di kasih SK sejak 2022,” tuturnya.

Ilham menegaskan aksinya dilakukan atas nama pribadi, bukan mewakili organisasi atau komunitas manapun, “Kita ini cuma mau bawa diri sendiri, gak bawa siapa-siapa, bukan atas nama HMJ bukan atas nama siapa-siapa. Atas nama sendiri, atas keresahan di kampus, hanya bawa diri sendiri pribadi. Kita hanya menyuarakan keresahan kita, aspirasi kita,” katanya.

Menanggapi insiden tersebut, Rina selaku koordinator acara menjelaskan bahwa peristiwa itu dipicu oleh miskomunikasi di internal mahasiswa Fakultas Syariah. Menurutnya, panitia menerima informasi bahwa fakultas itu memilih tidak ditampilkan pada sesi pengenalan Ormawa, “Itu sebenernya miss komunikasi di antara mereka saja, di antara mahasiswa yang ada di Fakultas Syariah,” ujarnya.

Rina menuturkan, sebelumnya ada mahasiswa yang meminta agar Fakultas Syariah tidak tampil dalam sesi pengenalan Ormawa. Panitia mengira permintaan itu merupakan kesepakatan internal, “Tadi ada salah satu mahasiswa dari syariah, mereka menyampaikan kepada kami selaku seksi acara, untuk syariah mohon tidak ditampilkan saja, karena di syariah ini belum jelas untuk ormawanya, jadi salah satu mahasiswa menyampaikan seperti itu, nah ketika ada perwakilan dari mereka yang menyampaikan seperti itu kami gak tau ya, pikir kami itu memang sudah hasil omongan mereka, tapi ternyata itu ada miss komunikasi antara mereka,” jelasnya.

Ia menegaskan panitia bersikap netral. Panggung PBAK dirancang untuk memperkenalkan lingkungan kampus, termasuk Sema-Dema, HMJ/HMPS, dan komunitas, “Kalo kami sifatnya netral, semua mahasiswa mereka punya hak yang sama, Ormawa, FTIK, FEBI, FUAD, dan Syariah mereka punya hak yang sama,” ujarnya.

Ia menambahkan, prioritas diberikan kepada mahasiswa yang resmi mewakili fakultas, “Mau HMJ-nya monggo, yang jelas itu perwakilan dari fakultas, mau HMJ, mau komunitas yang ada di fakultas itu ya monggo, yang penting ada dari perwakilan masing-masing fakultas,” ujarnya.

Rina menilai PBAK bukan forum yang tepat untuk menyampaikan aspirasi, karena dapat menimbulkan kesan negatif bagi mahasiswa baru, “Mahasiswa boleh mengeluarkan aspirasi mereka, tapi kalo menurut saya tempatnya bukan di PBAK, kan mereka banyak ruang untuk mengeluarkan pendapat, mengeluarkan aspirasi mereka, begitu banyak ruang tapi ya jangan di PBAK, ini bukan tempatnya, jadi jangan kita buat impresi atau kesan yang negatif ke adik-adik mahasiswa baru,” jelasnya.

Ia berharap kejadian serupa tidak terulang, “Harapannya ya gak terulang lagi kejadian seperti itu, karena itu masalah internal, saya rasa salah satu mahasiswa seperti itu kan karena masalah yang memang belum selesai jadi ya sehingga nya terjadilah itu tadi, ketika kita beri ruang justru mereka mengeluarkannya di sini,” pungkasnya.

Lestari Putri Ramadhani (TMTK ’25) menilai aksi Ilham lebih seperti luapan unek-unek pribadi dan penyampaiannya tidak tepat, “Sebenernya itu mungkin kaya pendapat dia, unek-unek dia, tapi mungkin tadi kan acara formal ya kak, jadi sebisa mungkin harus bisa memahami situasi, jangan ditampikan di umum, kan itu acara formal sih, tadi juga jadi rusuh,” ujarnya.

Ia berharap ke depan PBAK lebih kondusif, “Harapannya bisa lebih kondusif lagi untuk keamanannya, tadi kan sempet ditarik-tarik gitu banner nya, jadi bisa lebih kondusif aja keamanannya,” tambahnya.

Berbeda dengan Lestari, Bayu Samudra Al Ghani (HTN ’23) melihat aksi tersebut sebagai momentum penting bagi mahasiswa menyuarakan keresahan, “Ketika ada orasi dan pembentangan bener itu suatu momentum kita menyuarakan aspirasi dan keresahan kita dalam kampus, dibalik itu semua kita tidak membawa siapa-siapa, kita independen dan netralitas kita semua dari keresahan kita di dalam kampus, seperti fasilitas yang kurang baik wc dan lain-lain, itu semua kita menggunakan fasilitas itu, di fasilitas itu memang kita yang jaga, tapi di balik itu pasti ada perawatan dari pihak kampus,” ujarnya.

Bayu berharap aspirasi tersebut sampai ke pimpinan kampus, “Harapan saya ini semoga tersampaikan ke pihak rektorat, ke pihak dekan, ini adalah salah satu aspirasi dari kami mahasiswa fakultas syariah,” ujarnya.

Sementara itu, mahasiswa berinisial A (PGMI ’23) menilai aksi tersebut masih wajar karena Sema dan Dema-U sudah lama dibekukan, “Menurut saya tadi itu demo yang wajar karna memang sema dema-U sudah lama dibekukan, jadi wajar saja mereka itu meminta hak mereka untuk didapatkan,” katanya.

Namun, ia menaruh curiga ada kepentingan lain di balik aksi tersebut, “Tapi di sisi lain urgensinya apa itu mereka maju kesana kalau bukan karena organisasi-organisasi eksternal yang pengen kadernya menjadi pimpinan, jadi kan selama ini banyak terjadi keributan kan, organisasi eksternal A dan B berantem cuman karena pengen kadernya ada di atas, maksudnya kalo memang ujungnya nanti seperti itu ya untuk apa diadakan,” tegasnya.

Ia berharap mahasiswa konsisten dengan nilai yang mereka suarakan, “Untuk kedepannya harapan saya adalah memperbaiki diri aja sih, karena kan selama ini mereka-mereka yang turun di jalan untuk demo itu mereka koar-koar terkait korupsi, kolusi, nepotisme, sedangkan mereka sendiri melakukan hal itu sendiri di lingkungan kampus,” tambahnya.

(Reporter/Meli/Munir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *