Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro akan segera merealisasikan program Ma’had Al-Jami’ah atau Pesantren Kampus. Sehubungan dengan hal tersebut, IAIN Metro telah melaksanakan placement test Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ) dan Praktik Pengalaman Ibadah (PPI) pada Ahad, 26-12-2021.
Ma’had Al-Jami’ah merupakan program wajib dari lembaga yang tertuang dalam Organisasi dan Tata Kerja (Ortaker) Pasal 74 Tahun 2017. Dikarenakan Ma’had Al-Jamiah IAIN Metro belum memiliki asrama, maka IAIN Metro bermitra dengan tujuh pesantren yang ada di lingkungan kampus, di antaranya Pesantren Nurus Sholihin, Pesantren Nurul Anwar, Pesantren Mambaul Huda, Pesantren Hidayatul Qur’an, dan Pondok Putri Muhammadiyah Ni’matul Bilad.
Nuryanto selaku Mudir Ma’had Al-Jamiah menjelaskan, program ini diwajibkan bagi mahasiswa selama dua semester, semester I dan II, mulai angkatan 2021. Namun, karena Ma’had Al-Jami’ah baru dibentuk pada bulan Oktober lalu, untuk mahasiswa angkatan 2021 hanya diwajibkan pada semester II. “Tahun ini sudah lewat, maka hanya menyelesaikan untuk semester II saja,” terangnya.
Kesediaan pesantren yang belum tercukupi, maka program ini tidak diwajibkan bagi seluruh mahasiswa. Melalui tes BTQ dan PPI, Ma’had Al-Jami’ah akan merekap nilai tes mahasiswa. Jika dinyatakan lulus, maka tidak perlu mengikuti program ma’had. Kriteria kelulusan dinilai dari bacaan Al-Qur’an dan pengetahuan ilmu fikih yang sudah baik dan benar.
Pembentukan program yang baru dimulai pada bulan Oktober, menjadikan program ini dilangsungkan secara bertahap. “Ini kan dibentuknya ma’had baru Oktober, November, Desember, kami kerja maraton. Jadi makanya wajar kalo mahasiswa kaget juga, karena Juli kemarin dari Kemenag, Jakarta harus ditutup UPI-nya (Unit Pengembangan Keislaman,. red) harus diganti dengan Ma’had, jadi kan otomatis mahasiswa harus di asrama,” ungkap Mudir Ma’had Al-Jami’ah IAIN Metro.
Selama mengikuti program ini, kata Nuryanto, mahasiswa diajarkan membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, memahami ilmu amalan harian seperti taharah, salat, zikir, doa, dan akhlak karimah. Berbeda dengan santri pada umumnya, program ini tidak mewajibkan mahasiswa untuk menghafalkan kitab kuning, “Kami tidak membuat mereka seperti santri-santri yang lain, harus hafal alfiyah dan imriti,” ujar Nuryanto.
Lebih lanjut, Nuryanto mengungkapkan bahwa setelah satu tahun menjadi santri, terdapat tes atau ujian yang harus diikuti. Apabila dinyatakan lulus, maka mahasiswa dapat kembali ke tempat tinggalnya masing-masing, dan mendapatkan sertifikat sebagai syarat ujian komprehensif dan sidang munaqosyah. Namun, jika dinyatakan tidak lulus, maka harus mengulang selama satu semester lagi untuk mendapatkan sertifikat kelulusan.
“Pernyataan kelulusan tidak dapat dimanipulasi, karena terdapat pengecekan dari pesantren dan kampus. Untuk mahasiswa yang tidak bersedia mondok kami juga tidak bisa memaksakan, tetapi mahasiswa juga jangan memaksa kami kaitannya dengan sertifikat,” jelas Nuryanto.
Mahasiswa dapat memilih sendiri dari tujuh pesantren yang tersedia. Terkait pembiayaan dari kampus, hanya sebatas biaya belajar di pesantren, sedangkan untuk makan dan biaya hidup lainnya ditanggung oleh mahasiswa.
Minimnya sosialisasi kepada mahasiswa, menimbulkan banyak sekali pro dan kontra di dalamnya. Namun, Nuryanto mengatakan bahwa untuk sosialisasi mengenai program Mah’ad Al-Jam’iah dilakukan melalui pesan WhatsApp yang dikirimkan kepada mahasiswa melalui grup WhatsApp, yang kemudian bisa disampaikan kepada orangtuanya.
Tak lupa, Nuryanto berpesan untuk mahasiswa agar menjadikan niat belajar sebagai mencari rida Allah, menjalankan kewajiban, dan mengutamakan ilmu agama. “Jangan merasa keberatan di pondok. InsyaAllah dengan para mahasiswa ke pondok itu InsyaAllah rezeki orangtuanya akan lebih lancar lagi, yang kurang lancar akan dilancarkan, karena agama Allah yang diutamakan. Biasanya yang di luar pondok cerdasnya kurang, ketika mondok, dicerdaskan karena banyak yang mendoakan,” pungkasnya.
Aman Arasyid, Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial (TIPS’21) mengaku merasa terkejut. Program baru yang mengharuskan mahasiswa untuk mondok, membuatnya merasa terbebani. “Kami kan mahasiswa, mondok kan pemakaian HP secara terbatas. Bukan masalah HP, tapi masalah deadline tugas sudah mepet dan dosennya susah mengerti,” kesahnya saat diwawancarai pihak Kronika pada 26 Desember kemarin.
Ia juga mengaku tidak bersedia untuk mengikuti program ma’had. “Ya saya tidak bersedia mondok, karena saya mau fokus di organisasi, ke nilai sama prestasi. Karena kalo kuliah mondok itu bukan telat, tapi kemampuan. Mahasiswa itu banyak tugas jadi saya tidak mampu untuk mondok,” imbuhnya.
Sama halnya dengan Aman, Reza Rahmawati, Akuntasi Syariah (Aks’21) mengatakan bahwa program ini bagus, namun tidak ada sosialisasi yang jelas. “Sebenernya bagus si, tapi gimana ya, karena nggak ada sosialisasi dan kesannya seperti dipaksa, walau ada pilihan bersedia atau tidak bersedia,”
(Reporter/Abizard/Zuki)