Musyawarah Organisasi Mahasiswa Institut (MOM-I) Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Metro kembali digelar setelah sepekan ditunda. Acara ini dilaksanakan di Gedung Serba Guna (GSG) IAIN Metro, Rabu (21-12-2022). Namun, pada pelaksanaannya sempat terjadi kericuhan dan mengakibatkan MOM-I diberhentikan sementara, tetapi terkait kapan kelanjutannya belum mendapatkan tanggapan dari ketua maupun panitia pelaksana.
Alasan penundaan MOM-I sebelumnya, Ali Hasan, Ketua Senat Mahasiswa Institut (Sema-I), mengatakan bahwa tempat yang sebelumnya digunakan (Gedung Munaqosyah., red) dianggap terlalu sempit dan tidak nyaman bagi peserta sidang. Peserta sidang menuntut Ketua Sema-I dan panitia pelaksana untuk lebih mempersiapkan jalannya persidangan.
“Saya juga sudah konsultasi ke lembaga bahwasannya tempatnya dipindah. Karena di GSG lumayan padat kegiatan lembaga, jadi baru memakai hari ini,” ujarnya.
Ali juga menjelaskan bahwa MOM-I kali ini menetapkan Tata Tertib (Tatib) umum, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART), Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO), dan mengevaluasi, menolak, serta menerima Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (Dema-I). Namun, persidangan yang baru mengesahkan Tatib, pada pukul 13.30 terjadi kericuhan.
Dian Apriana, Hukum Keluarga Islam (HKI’19) selaku Presidium Sidang II, mengatakan bahwa kericuhan terjadi karena terdapat kekeliruan pada pasal 7 Tatib yang berbunyi menetapkan Tatib, menetapkan AD-ART, dan GBHO. Ia mengaku sudah menjalankan persidangan sesuai Tatib, sehingga presidium sidang akan langsung menetapkan GBHO dan AD-ART sesuai dengan draft Tatib yang disahkan dan ditandatangani.
“Jadi kalau mau merubah kita harus menjalankan persidangan lagi sedangkan sidang sudah tetapkan, berarti kita sudah menyetujui dan siap menerima, karena yang pertama sudah di ttd dan di ketok palu,” jelas Dian.
Ia menyayangkan peserta sidang yang kurang teliti saat proses sidang Tatib, yang seharusnya dapat melakukan perubahan ataupun pengajuan kembali (PK) sebelum draft Tatib disahkan.
“Di sini kita sebagai pimpinan sidang tetap, kita benar-benar netralisme, adil. Tapi kita mengikuti yang sebelumnya dan seharusnya peserta peninjau maupun penuh mau protes terkait ini, mereka harus membantah di pasal 7 ini tadi pas sidang Tatib, bukan di bagian sidang selanjutnya,” tambahnya.
Ia menambahkan bahwa keributan memang sudah terjadi dan diamankan, setelah itu persidangan kembali dilanjutkan setelah persidangan kembali kondusif. Saat ia meminta penjelasan terkait suatu hal kepada panitia pelaksana untuk ke GSG, tetapi saat satu panitia memanggil panitia yang lain, panitia tersebut justru menghilang dan tidak segera datang ke GSG, “Jadi karena mereka terlambat datang, sidang sudah tidak kondisional, jadi terjadi kericuhan,” imbuhnya.
Dian juga mengaku bahwa sempat terjadi aksi pengeroyokan terhadap presidium sidang. Hal ini mengakibatkan ada peserta yang mengalami luka-luka. “Ada juga kakinya yang luka dan agak sobek, ada yang hidungnya sampai merah, telinganya juga merah,” pungkasnya.
Ia mengungkapkan bahwa dirinya sempat mengamankan diri dari kericuhan. ”Saya pribadi mengamankan diri saya sendiri karena saya takut mereka sudah tidak bisa terkontrol. Untuk pemimpin sidang I dan III saya tidak tahu. Mungkin mengamankan diri masing-masing,” jelasnya.
Muromin Fajar, Sema Fakultas Syari’ah, mengungkapkan kekecewaannya karena presidium sidang menetapkan AD-ART begitu cepat, mengingat hal itu belum dibahas atau disidangkan. “Musyawarah kan kita menemukan kesimpulan, kesepakatan itu di antara kita. Jadi jika diputuskan secara sepihak seperti itu tidak pas,” ujarnya.
Ia meminta panitia untuk mempertimbangkan administrasi dan fasilitas sidang. Ia juga berharap presidium yang berkompeten dan berpengalaman dalam persidangan.
“Yang paham prosedur persidangan, mampu menampung semua aspirasi dari kawan-kawan mahasiswa sehingga dapat melakukan kolaborasi ke depan yang akan menguntungkan IAIN metro,” ujarnya
Tanggapan lain juga datang dari Yusuf Dwi Prasetyo, perwakilan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Keagamaan Kampus (LKK). Menurutnya, kericuhan terjadi akibat perbedaan persepsi antara presidium sidang dan peserta sidang.
Menurut presidium sidang, kalimat “Menetapkan AD/ART dan GBHO” yang terdapat dalam draft tatib berarti langsung menetapkan. Sedangkan peserta sidang menuntut agar presidium membahas AD/ART dan GBHO meskipun redaksi di dalam draft Tatib menetapkan AD/ART dan GBHO.
“Jadi agar temen-teman peserta sidang itu paham tentang AD/ART Ormawa itu apa saja, akan tetapi pimpinan sidang tetep kekeh mengikuti tatib yaitu menetapkan AD/ART dan GBHO,” jelasnya.
Yusuf juga mengungkapkan bahwa menurutnya acara ini terkesan seperti hanya formalitas belaka. Panitia pelaksana terlihat tidak bertanggung jawab bahkan dari awal tidak terlihat sama sekali persiapan dari panitia, seperti menyiapkan draft yang terlambat dan proyektor yang tidak dipasang.
Selain itu tidak adanya pemberitahuan kepada Satuan Pengaman (Satpam) kampus untuk membantu keamanan persidangan, “Bahkan dari awal tidak ada pemberitahuan kepada Satpam,” jelasnya.
Ia menyayangkan terkait MOM-I yang harus kembali ditunda akibat adanya kericuhan ini. “Dan ini belum ada kejelasan lagi terkait ditundanya sampai kapan lagi belum ada,” ungkapnya.
Terkait peserta yang luka, Yusuf mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui terkait hal itu. “Karena ramai banget dan nggak sempet ngecek satu-satu, intinya terjadi kekerasan fisik antara peserta sidang dan presidium sidang,” jelasnya.
Ia berharap, MOM-I dilaksanakan dengan lebih adil dan jujur. “Sekelas mahasiswa bahkan Institut Agama Islam gitu, semoga lebih baik lagi dalam menegakkan keadilan,” ujarnya.
(Reporter/Firu/Hendri/Khoir/Viki)