Kronika

Karya Mahasiswa Opini

RUU PKS, Ditunda Hingga Dikeluarkan dari Prolegnas 2020

  • Desember 26, 2020
  • 4 min read
  • 227 Views
RUU PKS, Ditunda Hingga Dikeluarkan dari Prolegnas 2020

Rancangan Undang-Undang (RUU) kekerasan seksual atau yang dikenal RUU PKS adalah rancangan UU yang diusulkan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan.

 

Historis RUU PKS

Draft Rancangan UU ini mulai disusun sejak 2014 melalui berbagai konsultasi internal maupun eksternal. Selain itu, Komnas perempuan bekerjasama dengan Forum Pengadaan Layanan (FPL), mengajukan Draft RUU kepada ketua komite III DPD-RI pada 23 Agustus 2016. Pada saat itu juga DPR-RI menerima Naskah Akademik dan Draft RUU, kemudian dijadikan sebagai RUU inisiatif yang ditandatangani oleh 70 Anggota DPR-RI.

 

Usulan ini ditindaklanjuti dengan dikirimnya Draft a quo dengan beberapa perubahan kepada pemerintah dengan surat yang bernomor LG/06211/DPR RI/IV/2017 pada 6 April 2017. Setelah itu presiden Joko Widodo mengeluarkan surat yang bernomor R.25/Pres/06/2017 untuk memerintahkan Menteri sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, Menteri Kesehatan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Reformasi Birokrasi untuk menjadi wakil dari pemerintah dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

 

Bukan kali pertama Indonesia memfokuskan pada permasalahan kekerasan seksual. UU Nomer 23 tahun 2004 yang berisi tentang penghapusan Kekerasan seksual dalam rumah tangga. Tentu saja dalam UU ini sangat sempit karena hanya soal kekerasan dalam rumah tangga berbeda dengan cangkupan RUU PKS. Karena tafsir kekerasan seksual sangat luas dan komprenshif bahkan sampai cara dan pencegahannya.

 

Kendati demikian pembahasan RUU ini mengalami penundaan, dengan berbagai alasan. Bahkan dikeluarkan dari Prioritas pembahasan RUU pada tahun 2020. Ketua Badan Legislasi, Supratman Andi Agtas, menegaskan alasan dicabutnya RUU PKS dari Proses Legislasi Nasional karena menunggu pengesahan RKUHP karena hal tersebut berkaitan dengan sanksi.

Baca Juga:  Tak Mendapatkan Titik Temu, Rektor Meminta Waktu 1x24 Jam Meninjau Ulang Tuntutan

 

Makna Kekerasan Seksual

Menurut Badan kesehatan dunia World Health Organisation (WHO) kekerasan seksual adalah semua hal yang berkaitan dengan aktivitas seksual ataupun yang percobaan yang bertujuan untuk aktivitas seksual, komentar, dan perbuatan lainnya yang tak memandang hubungan antara korban dan pelaku.

 

Dengan judul “Laporan Global tentang pencegahan kekerasan seksual” yang dirilis oleh WHO pada tahun 2004 menjelaskan tentang sebelas hal yang masuk dalam kategori kekerasan seksual, yaitu:

1.Perkosaan dalam perkawinan dan dalam pacaran

2.Perkosaan oleh orang tidak dikenal

3.Perkosaan sistematis dalam kondisi konflik

4.Pelecehan seksual, permintaan transaksi seksual

5.Kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas (difable)

6.Perkawinan Paksa

7.Penolakan penggunakan alat kontrasepsi untuk alasan pencegahan penularan penyakit

8.Pemaksaan aborsi

9.Kekerasan terhadap integritas perempuan (sunat perempuan)

10.Pemeriksaan Keperawanan

11.Eksploitasi Seksual.

 

Dalam BAB 1 Pasal 1 disebutkan “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.

 

Selama hampir satu dekade terakhir kasus kekerasan terhadap perempuan selalu meningkat. Hanya pada tahun 2015 dan 2017 kasus ini mengalami penurunan. Pada tahun 2014 terdapat 2995 kasus, Tahun 2015 laporan menurun 24% menjadi 2247 pada 2015, 2016 terdapat 3325 kasus dan menurun 34% menjadi 2183 pada 2017, dan pada tahun 2018 terdapat 2979, lalu meningkat menjadi 2988 kasus pada 2019.

 

Isi RUU PKS

Baca Juga:  Lakspedam NU Kota Semarang, Paparkan Manfaat Mahasiswa Mengikuti KPM

Asas serta tujuan termaktub dalam BAB III RUU PKS. Asasnya adalah Penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminatif, hak terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Kemudian tujuan penghapusan kekerasan seksual adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menindak pelaku, dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

 

Ruang Lingkup penghapusan kekerasan seksual meliputi Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, Pemulihan korban, dan penindakan pelaku. Serta kewajiban bagi Pemerintah untuk mencegah adanya kekerasan seksual. Mulai dari berbagai sektor seperti Pendidikan, Insfrastruktur, Pelayanan publik, Tata Ruang Pemerintahan, Tata Kelola Kelembagaan, Ekonomi, Saat, dan Budaya agar penghapusan kekerasan seksual dapat terealisasi.

 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama dapat berperan dengan memasukkan materi penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non kurikulum, dan ekstrakurikuler pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi. Menguatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik dan menetapkan kebijakan penghapusan Kekerasan Seksual dalam lingkungan lembaga pendidikan.

 

Pelaksanaan Pencegahan juga harus dilakukan oleh Kementerian yang membidangi urusan pekerjaan umum, Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Pemerintah Daerah dengan membangun lingkungan dan fasilitas publik yang aman dan nyaman serta merancang sistem keamanan terpadu di lingkungan pemukiman dan ruang terbuka.

 

Pelaksanaan Pencegahan juga harus dilaksanakan oleh Kementerian yang membidangi urusan komunikasi dan informasi, Kementerian Dalam Negeri dengan menyebarluaskan informasi tentang penghapusan Kekerasan Seksual serta menyediakan program dan anggaran untuk Pencegahan Kekerasan Seksual. Hal ini dikarenakan banyaknya pro kontra mengenai RUU PKS. Kurangnya edukasi mengenai informasi RUU PKS memunculkan berbagai tanggapan. Beberapa pihak berpendapat bahwa RUU ini untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual, tetapi banyak pihak yang kontra karena isu miring menyerang RUU ini, seperti pelegalan LGBT, bercorak liberal, dan pro aborsi.

Baca Juga:  Raker Renov, Bentuk Optimalisasi Kepengurusan

 

(Oleh/ Reza Syarifudin Zein/AS’18)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *