Seseorang pria di ujung cahaya putih menemui Laily dalam mimpi, terbawa rasa penasaran Laily perlahan mendatangi pria tersebut, tangannya nampak canggung saat hendak menyentuh pundak pria itu, namun terlebih dahulu pria itu menoleh ke arah Laily. Rupa yang tidak lagi asing di mata Laily, cara bediri yang tegap, pakaian putih mengkilau membuat mata Laily meneteskan air mata, bagaimana tidak pria tersebut adalah salah satu sayap hidup nya yang beberapa waktu lalu sudah pergi meninggalkannya, tak banyak lisan pria itu berucap hanya menitipkan beberapa kalimat seraya menyentuh pipi halus Laily “aku mohon! Jaga kesholehanmu dan tularkan pada anak kita, aku ingin kita berkumpul di tempat hakiki nan indah”. Tak lama kemudian kabut putih pekat datang menimbun tubuh pria itu lalu menghilangkannya, memisahkan pertemuan mereka di dunia mimpi.
Demikian sendu bayangan Laily pada suatu malam semai, dengan rinai cahaya purnama bersemayam di ubun-ubun gelap, teras rumah menjadi tempat nyaman menikmati malam, apalagi ia di temani putri semata wayang nya bernama Masyithoh yang sedang melantunkan kalimat-kalimat suci Al-Qur’an. Sesekali mata nya melihat purnama sesekali pula melihat khusyu’ nya Masyithoh, perpaduan yang dapat merambah segala kegundahannya. Purnama menyimpan cerita masa lalu saat menjadi perantara dirinya menemukan cinta, sepanjang Masyithoh membaca Al-Qur’an, Laily mencoba membayangkan masa lalunya.
Di sisi malam yang berbeda dan juga wajah rembulan yang berbeda, umur Laily masih muda masa dimana ia masih menggeluti bangku kuliah, wanita yang gemar berdandan cantik itu lebih banyak menghabiskan waktu nya rumah, berbeda dengan teman-teman kampus nya dimana sering menghabiskan waktu di luar kuliah untuk jalan-jalan. mansion mewah tempat nya tinggal tak menjadikan sifat sederhana nya luntur, ia tetap di kenal sebagai Laily yang apa adanya dan ramah.
Ada hubungan berbeda antara Laily dengan purnama, pasalnya purnama selalu bisa membuatnya senang saat purnama muncul ia selalu fokus mengerjakan sesuatu termasuk tugas kampus nya dan tugas-tugas nya yang lain, itulah sebabnya ia selalu senang dengan hadirnya purnama seperti malam itu, begitu anggun nya ia memainkan jemari di atas tombol keyboard hingga beberapa tugas kampus nya untuk hari esok selesai. Hasilnya pun cukup memuaskan, Laily menguasai apa yang ia tulisa dan membuat presntasi nya berjalan lancar juga ia mendapat pujian dosen dari hasil usaha nya malam itu, ekspressi riang mengiringi nya sekeluar dari kelas tetapi teman-teman dekatnya mengeluhkan tugas mereka yang masih harus di revisi.
“Ihhh kenapa sih harus revisi” gumam salah seorang teman Laily.
“sudah, husnudzon saja kamu harusnya bersyukur masih di beri kesempatan revisi” balas Laily.
“Aku berharap purnama akan selalu datang untuk ku” Laily tersenyum melanjutkan kalimatnya.
Hal yang belum pernah Laily pertimbangkan adalah purnama tak selalu datang untuk nya di malam hari, Laily belum menemukan jalan tentang bagaimana diri nya menghadapi hal tersebut. Malam indah nya sudah berlalu saat ini Laily menghadapi malam yang kelam tanpa purnama. Malah mendung menutupi langit-langit, otak Laily semakin tumpul ketika purnama hilang, hilang pula kecerdasannya sedari tadi tangan nya tak berkutik di atas tombol keyboard dan terus menatapi langit. “Purnama! Kenapa malam ini kau berkhianat, kamu di mana?” gumam nya dalam hati, ia tak bisa berusaha maksimal al hasil tugasnya tidak memuaskan.
Yang bisa dilakukannya hanyalah menunduk saat menerima kemarahan dosen lantaran tugasnya yang tak seperti biasa “ada apa denganmu? Hari ini kamu mengecewakan, ini revisi lagi makalahmu” dosen melempar tugas Laily ke atas meja. Kali ini ia keluar kelas dengan raut wajah sedih, berjalan melamun meninggalkan kelas teman di samping nya hanya bisa mengelus pundak Layli selebihnya tak bisa bertindak, “Li, aku kesana dulu ya” Teman Layli memutuskan pergi ke lain tempat, gadis itu masih saja melamun tanpa menjawab.
Tanpa ia sadari dari depan juga berjalan seorang mahasiswa yang sibuk membawa beberapa kotak berisi makanan, mahasiswa itu berjalan terburu-buru dan sibuk dengan barang-barang nya begitu juga Laily berjalan perlahan dan melamun sehingga sama-sama tidak memperhatikan masing-masing lawan arah. Tanpa sengaja mereka bertabrakan, makalah Laily terjatuh begitupun makanan-makanan di dalam kotak yang di bawa mahasiswa tadi berhamburan.
“Maaf-maaf! Aku tidak sengaja” mahasiswa tersebut mengambil makalah Laily.
“Iya, aku juga minta maaf tadi aku melamun” jawab Laily. Mahasiswa itu mengais satu per satu makanan yang terjatuh Laily memperhatikan nya “eee mau kamu bawa kemana makanan-makanan ini” tanya Laily.
“ini semua dagangan ku” mahasiswa itu masih sibuk mengais makanan nya.
“dagangan? Kamu kuliah sambil berdagang?” Laily melanjutkan pertanyaannya.
“yah! Untuk menambah pemasukan”.
Setelah semua makanan nya terkumpul mahasiswa tersebut memperhatikan makalah Laily yang terdapat catatan ‘Revisi’, “kamu terlihat seperti mahasiswi yang cerdas, lalu kenapa revisi?” Mahasiswa tersebut bertanya. Laily kembali menekuk wajah nya “ini semua karena malam ini purnama mengkhianati ku, dengan tidak lagi datang untuk ku”.
Mahasiswa itu tersenyum “kamu menyalahkan sesuatu yang tak salah, padahal kamu sendiri yang salah. Jika kau menggantungkan sesuatu pada purnama ia tidak setiap hari ada untuk mu, kamu tahu siapa yang akan setiap hari ada untuk mu? Tuhan!, kamu yang selama ini mengkhianati Tuhan dengan menganggap purnama adalah sesuatu yang sangat berharga untuk mu, mungkin Tuhan marah dan pagi ini memberi mu teguran”.
Laily merasa tergetar mendengar ucapan mahasiswa di hadapannya sejenak otaknya mulai menggali makna kata-kata tersebut, “sudah ya! Aku pergi dulu” mahasiswa itu kemudian meninggalkan Laily, belum jauh ia melangkah Laily baru teringat sesuatu dan kembali memanggilnya “Tunggu!”. Si mahasiswa menoleh “ada apa?”.
“siapa nama mu?” Laily bertanya.
“namaku Kaiz” jawab si Mahasiswa, dan setelah itu kembali melanjutkan langkah kakinya.
Malam-malam berikutnya Laily masih menantikan purnama meskipun ia tahu hal sedemikian itu tak setiap hari ia lihat, tugasnya semakin terbengkalai apalagi kali ini ia di buat penasaran dengan sosok Kaiz yang tadi pagi bertemu dengan nya, seorang pemuda yang terlahir di keluarga miskin dan harus membantu biaya kuliahnya dengan berjualan makanan di kampus. Hari-hari Laily di kampus pun tak berjalan mulus, belum selesai tugas yang harus di revisi tugas berikutnya semakin kacau, beberapa hari ini ia selalu menerima kemarahan dosen gara-gara tugas yang kurang maksimal, ternyata beberapa hari itu pula Kaiz mengamati Laily dari jendela kelas saat Laily tertunduk sembab di hadapan dosen yang mengajarnya. Iba mulai merasuk dalam hati Kaiz, saat Laily keluar kelas ia ingin menyapa tetapi Laily mendahului nya.
“eh kamu yang kemaren itu kan, siapa? Kaiz ya?” Laily berjalan cepat mendatangi Kaiz.
“Iya” Jawab Kaiz.
“Aku Laily, aku mencarimu”.
“mencariku?” Kata Kaiz.
Laily mengangguk lalu mengajaknya ke sebuah gazebo terdekat untuk berbincang, di gazebo itulah mereka saling menceritakan diri mereka, Laily dengan prahara rembulan nya Kaiz dengan kehidupan miskin yang dijalaninya.
“kamu kemarin bilang, kalau aku harus menggantungkan urusan ku dengan Tuhan” Kata Laily.
“Iya, lalu?”.
“Kalau begitu ajari aku dekat dengan Tuhan”.
Kaiz sempat terdiam mendengar ucapan gadis cantik itu kemudian tersnyum, Kaiz menyanggupi permintaan Laily. Keakraban terjalin antara ke dua nya, setiap pagi sebelum memasuki kelas Kaiz selalu mengajak Laily melaksanakan sholat dhuha di masjid kampus, setiap ada jam kosong Laily pun membantu Kaiz berjualan sebagai bentuk balasan walaupun berkali-kali Kaiz melarang nya. Di waktu malam, mereka gunakan untuk belajar bersama terkadang Kaiz berkunjung ke rumah mewah Laily, terkadang juga Laily berkunjung ke rumah sederhana Kaiz, tentunya dengan izin dan pengawasan orang tua. Apalagi Kaiz adalah pemuda soleh dan sedari kecil di didik ilmu agama cukup kental, sehingga ia tak membiarkan dirinya pulang larut malam.
Menjelang jam 02:00 dini hari Laily selalu mendapat telefon dari Kaiz, mengingatkan untuk mengerjakan Sholat Tahajud. Aktivitas-aktivitas religius terus Kaiz salurkan, membuat Laily kembali fokus dan maksimal mengerjakan tugas, perlahan tugasnya kembali memuaskan. Mereka selalu menjaga kebersamaan dari duri tajam yang dapat memecah belah, sampai pada suatu moment khidmat di mana mereka akan di wisuda, proses panjang masa muda mereka berakhir juga, setelah acara melempar topi toga mereka bertemu di depan masjid kampus untuk mengatakan saling sesuatu.
Tentu saja ada perasaan yang tak dapat di hindari dari ke akraban tersebut yaitu cinta, sebenarnya sudah lama Laily menyimpan rasa suka pada Kaiz begitu pula Kaiz, namun Kaiz tak mau mengungkapkan nya karena status kemiskinan, sekian lama perasaan Laily tak mendapat tanggapan dari nya, Laily memberanikan diri mengupas segala yang ia pendam.
“aku ingin mengucapkan terima kasih” Laily membuka percakapan.
“terima kasih? Atas apa?”Kaiz.
“selama ini kamu sudah mau menjadi purnama ku” Laily.
Pemuda itu di buat gagu dengan kalimat-kalimat Laily tak ada jawaban menarik yang di simpan otaknya.
“apa kamu tak pernah ingin tahu, apa yang masih menjadi keinginan ku?” Lanjut Laily.
“kamu masih punya keinginan? Apa memangnya?” Kaiz.
“aku ingin kamu menjadi purnama di sepanjang hidupku” Laily.
Mulut kaiz semakin gagu ketika hendak berkata, hati nya bisa menangkap bahwa maksut dari ungkapan tersebut adalah permintaan Laily pada nya untuk menjadi pendamping hidup. Kaiz menarik nafas panjang untuk selanjutnya memberikan tanggapan.
“tapi ada yang lebih baik dari ku, apa yang kamu harapkan pada ku, aku tak bisa memberi mu rumah mewah, berlian indah, dan kemewahan” Kata Kaiz.
Laily tersenyum tipis “aku tidak mau di samakan dengan uang atau pun duniawi, ajaklah aku lebih dekat lagi Tuhan dengan menjadi imam yang baik untuk ku, aku tahu bukan tanpa sebab kau berusaha menghabiskan masa mudamu untuk memakai toga itu, melainkan untuk kesuksesan. Jika kamu sudah mendapat kesuksesan mu itu, aku menunggu mu bersama orang tua ku di rumah” Kata Laily.
Tak lama kemudian Laily meninggalkan Kaiz di depan masjid kampus, sesuatu yang di tinggalkan gadis itu adalah memberi kesempatan Kaiz mendapat pekerjaan layak sebelum melamarnya, kesempatan tersebut tak di sia-siakan pemuda itu, dengan ikhtiar berbalut ketekunan dan penuh kesabaran Kaiz pun mendapat pekerjaan tetap bahkan bisa mengangkat taraf hidup keluarga. Merasa sudah siap, Kaiz mendatangi keluarga Laily dengan orang tuanya untuk mengajukan lamaran, Laily sudah menceritakan semua nya tentang pemuda yang melamarnya saat itu mulai dari keprihatinan nya se masa kuliah hingga seperti sekarang ini, sehingga Ayah dan Ibu nya tak menyimpan rasa ragu untuk menerima lamaran Kaiz.
Tidak berselang lama setelah lamaran, resepsi pernikahan dilaksanakan Kaiz nampak wibawa dengan jas pengantin nya dan Laily bertambah cantik saat mengenakan gaun putih. Kaiz membina keluarga dengan baik menjadi keluarga religius dengan menerapkan konsep kesederhanaan, bahkan sang istri mulai sering memakai jilbab syar’i. Tetapi tubuh Kaiz semakin rapuh setelah menikah, ia mulai di landa penyakit ringan dan sering batuk sesuatu yang tak pernah di sadari adalah ternyata Kaiz mengidap penyakit kronis yang se waktu-waktu bisa membunuhnya. Pada salah satu sela-sela kesibukan pekerjaan nya penyakit tersebut mulai menunjukkan keseriusan, ketika Layli berusaha memberitahukan kabar baik melalui via telefon.
“Halo! Ada apa Mi menelfon Abi?” Kaiz mengangkat telefon Laily.
“Maaf Bi, umi hanya mau memberitahukan kabar baik, Umi hamil Bi” Kata Laily.
“oh yaa Alhamdulillah”
Setelah mendapat kabar bahagia itu Kaiz mengalami batuk hebat dan terpaksa menutup telefon, tangannya mengambil tisu di atas meja kerja, ternayat batuk hebat nya mengeluarkan darah. Wajahnya menjadi usam serasa ada yang membisikinya bahwa hidup nya takkan lama lagi, ia mengambil se carik kertas dan pena lalu menulis sebuah surat, surat tersebut kemudian Kaiz selipkan di laci meja kantor menutup laci tersebut dengan tangan gemetar dan tetesan air mata.
Seiring hari silih berganti, perut Laily semakin besar saja sampai pada waktu dimana ia segera melahirkan, Kaiz tidak pernah menduga kalau hari itu istri nya akan melahirkan. Sehingga ia masih mengurusi pekerjaan nya di kantor, pihak rumah sakit menelfon nya memberitahukan bahwa Laily akan segera melakukan persalinan. Sesegera mungkin ia menuju rumah sakit, sebelum berangkat Kaiz mengambil surat di laci meja yang kala hari ia tulis, ia tidak datang terlambat dan masih bisa menyaksikan perjuangan Laily dalam persalinan. Suara tangis bayi kemudian terdengar sampai di luar ruang, bak melodi indah yang membuat kakek nenek mereka tak sabar memasuki ruang.
Laily melahirkan seorang puteri cantik, di tengah-tengah ke dua keluarga besar itulah Kaiz meng adzani sang puteri. Setelah selesai, Kaiz mengambil secarik kertas di saku baju kemudian menyelipkannya di samping telinga sang puteri, duduk di samping Layli terbaring dan menyerahkan bayi nya di pangkuan Laily. Wajah sembab nya terlihat saat menatap anak dan istri di hadapannya, Laily dapat melihat ada yang berbeda dengan Kaiz saat itu suami nya tersebut memang terlihat semakin pucat. Benar saja, kepala dan sebagian tubuh Kaiz tersungkur di pembaringan Layli, seluruh mata dalam ruangan itu di buat bingung, sementara Laily melihat ada kertas di samping telinga puterinya. Layli membaca kertas tersebut, dalam surat itu Kaiz menulis:
“sayang! Aku tidak pernah tahu kapan Tuhan memanggilku, tetapi aku yakin bahwa Ia akan selalu memberikan pra tanda. Jika kamu sudah membaca surat ini, mungkin sudah saat nya aku akan pulang pada Nya, aku sudah memenuhi permintaan mu menjadi purnama dalam hidupmu, aku harap kamu tidak sedih karena nya, kamu harus tahu bahwa saat satu purnama pergi akan datang purnama berikutnya yaitu anak kita, didik lah ia menjadi anak yang berbakti pada Tuhan, agar dapat menjadi penggantiku sebagai purnama mu, juga menjadi purnama ku di alam barzakh…”
Keringat Layli belum lah kering kini harus di tambah dengan derai air mata setelah membaca surat itu “Abi!!!!!!” demikian Layli berteriak, suara tangis bayi telah bercampur dengan suara tangis Ibunda dan kakek nenek nya, Yah! Kaiz meninggal tepat di hadapan sang istri dan anak setelah meng adzani dan belum sempat memberi nama. . .
“Shodaqallahul ‘adzim” Masyithoh menutup bacaan Al-Qur’an nya, tertutup pula kenangan Layli tentang Kaiz dan purnama. “miii” Masytihoh menari jilbab Layli,
“Iya ada apa nak?” Layli.
“Masiythoh rindu sama Abu” Masyithoh rindu sama Abi.
Layli tersenyum mendengar si buah hati mengelus kepala nya kemudian menunjuk ke arah purnama.“sayang! Itu Abi” kata Layli.
“itu???” Masyithoh melihat rembulan.
“iya sayang, Abi akan terus tersenyum sama kamu selama kamu terus menjadi anak solehah, do’akan selalu Abi ya sayang. Suatu saat kita akan berkumpul di tempat nan indah milik Tuhan” Layli.
Layli memeluk Mayithoh seraya menatap bulan yang sedang purnama, mata nya dapat mengukir jelas bagaimana wajah Kaiz tergambar dalam rembulan itu.
(Al-Saka)