38°C
30 April 2024
Cerpen

Al-Qur’an untuk laila

  • Mei 31, 2012
  • 11 min read
  • 69 Views

Oleh: Annisa Nurbaiti
PGMI: IV
      al-quranTemaram lampu-lampu di jalanan, sekilas berkelap-kelip nan cantik. Mengantar senja pada penghujungnya. Seperti biasa tiga atau empat laki-laki berpakaian koko lengkap dengan sarung dan pecinya, lewat di depan rumahku menuju ke masjid. Dari hari ke hari angkanya tak pernah bertambah, hanya tiga-empat. Beberapa menit kemudian salah satu dari laki-laki itu mengumandangkan adzan. Meski tidak fasih, tapi suaranya memecah keheningan suasana petang ini. Namun tak ada satu pun yang hatinya terpanggil. Mereka asyik bersenda gurau di dalam rumah mereka masing-masing. Asyik dengan benda kotak bergambar yang biasanya di letakkan pada ruang tengah. Menonton sinetron yang wallahu’alam kapan akan berakhir ceritanya. Anehnya, sinetron itu sedang seru-serunya ketika waktu yang bersamaan dengan waktu sholat. Lalu para orangtua memarahi sang anak, memaksanya untuk sholat, tapi mereka sendiri….?. “Sholatnya gantian” alasan paten mereka. Tragis.
            Setelah selesai ku tunaikan ibadah sholat maghrib, aku bergantian dengan emak menjaga kedua adikku yang masih kecil. Agar emak juga bisa sholat dengan tenang. Ku putar kembali rekaman kata-kata bapak tiga tahun yang lalu dalam memory.
            “Lela, sholat itu tiangnya agama. Jangan pernah Lela ninggalin sholat, karena amalan yang pertama kali dihisab nanti adalah amalan sholat. Dalam keadaan sakitpun kita tetap diwajibkan untuk sholat. Kalau nggak kuat berdiri boleh sholat sambil duduk. Kalau nggak kuat duduk, sambil berbaring juga boleh. Jadi, nggak ada alasan kita untuk ninggalin sholat.”
            Nasihat terakhir dari bapak waktu itu benar-benar sudah tertancap dalam batinku. Andaikan bapak masih ada, pasti saat ini ia sedang mengajari ku mengaji. Aku sangat bersyukur memiliki orangtua seperti bapakku. Ia adalah orangtua yang sarat dengan nasihat. Ia pribadi yang kuat juga berjiwa besar. Bapak seringkali memberikan nasihat-nasihat tentang agama, ia pun semangat sekali jika mengajari aku mengaji. Bapak juga yang selama ini mengajariku untuk ikhlas, tidak gampang mengeluh meskipun hidup kami serba kekurangan.
            Perlahan ku ambil Alqur’an yang sudah usang dari dalam lemari. Alqur’an ini adalah satu-satunya pemberian dari bapak, hadiah ulang tahunku 10 tahun yang lalu. Walaupun sudah sangat buruk tapi aku masih gemar membacanya. Kadang merasa sedih juga, ketika sedang khusyuk membaca, halaman berikutnya lepas dan hilang entah kemana. Bahkan rayap-rayap yang kelaparan pun memakan Alqur’an ku tanpa ampun. Hingga bagian atas dari Alqur’an ini sudah termakan oleh rayap. Sempat terdetik rasa rindu yang mendalam akan sosok bapak disini.
            Dengan terbata-bata ku baca ayat demi ayat yang masih bisa ku baca. Hatiku bergemuruh, sesak rasanya dada ini. Ayat-ayat yang indah meski tak fasih aku membacanya. Siapa pun yang membacanya, Alqur’an ini sudah indah adanya. Sampai pada klimaksnya, air mataku membuncah. Sungguh tak sanggup lagi aku menahannya, sebab jika ku tahan dadaku begitu sesak. Namun, kedamaian seketika menelusup memenuhi setiap rongga-rongga dalam jiwaku. Menghangatkan pikiranku dalam dinginnya, menyatukan hatiku dalam retaknya, dan melancarkan lidahku dalam kelunya. Aku sedih, karena apa yang ku baca saat ini aku tak dapat mengetahui apa artinya.
            Emak heran memandangiku yang sibuk mengusap air mata sedari tadi. Emak menghampiriku sambil menyuapi Latif, adikku yang paling bungsu.
            “Kamu kenapa, la? Nangis ya??” tanya emak
            “Enggak..” jawabku
            “Ih, mbak Lela nangis!” kata adikku Fatimah, meledek.
Ku tutup-tutupi wajah ini karena malu.
            “Kenapa toh, la? Cerita sama emak.” Bujuk emak
            Aku berfikir sejenak, apakah aku akan menceritakan hal ini kepada emak. Tapi aku malu jika menceritakan tentang hal yang sepele ini.
            “Lela!”
            Tangan emak berusaha mengangkat kepalaku yang sedari tadi ku sembunyikan. Terlihat wajah emak yang begitu bingung menatapku, jadi merasa bersalah.
            “Cerita sama emak. Kamu kenapa nangis?”
Ku kuatkan hati untuk mengatakan keinginanku.
            “Mak, beliin Lela Alqur’an…”
Emak terpatung dengan wajah datar. Aku jadi bertambah merasa bersalah. Ku akui, untuk makan sehari-hari pun kami masih sangat kurang. Semenjak bapak meninggal, aku dan Fatimah mutlak putus sekolah karena tak ada yang dapat mencari biaya untuk kami sekolah. Dan untuk sekedar menyambung hidup, tiap pagi dan sore aku berjualan kue. Jika pagi aku berjualan di sekolah, dan jika sore aku berjualan di TPA, tempat anak-anak mengaji. Kue yang aku jajakan pun bukan buatan emak, tapi aku mengambil di rumah tetanggaku. Upahnya pun tak menentu. Tergantung kue yang habis terjual. Kadang hanya di beri upah Rp 3000 atau Rp 5000. Jika hanya terbeli beberapa kue, akupun hanya di upahi beberapa kue juga.
            Sedangkan emak, tiap pagi berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan jasa mencuci. Begitu peliknya hidup yang aku rasakan semenjak bapak meninggal. Tapi aku sudah cukup terlatih untuk belajar ikhlas. Biarkanlah kejadian ini berjalan sesuai dengan skenario Nya.
            “Ini kan juga Alqur’an, la…” emak angkat bicara setelah beberapa menit mematung.
            “Tapi Alqur’annya udah nggak lengkap, mak. Lela pengen Alqur’an kayak anak-anak TPA itu. Ada terjemahannya.”
            “Memang berapa harganya?”
            “Yang kecil empat puluh lima ribu, mak….” jawabku pelan, karena sebenarnya aku pun tak tega.
Emak langsung menggendong Latif pergi menjauh dariku.
            “Emak…” panggilku.
            Emak tetap berlalu tak mendengarkan panggilanku. Air mataku kembali tumpah. Ya Allah, betapa egoisnya aku memaksakan kehendakku tanpa memikirkan perasaan emak. Padahal aku tahu emak tak mungkin bisa membelikan Alqur’an untukku. Aku jadi menyesal mengatakan hal ini kepada emak.
******
            Pagi harinya seperti biasa, aku mengambil kue bersama Fatimah untuk di jajakan. Walaupun Fatimah masih berumur delapan tahun, tapi ia sudah bisa berfikir dewasa. Ia selalu semangat menemaniku menjual kue. Mungkin karena keadaan juga yang membuatnya seperti ini.
            Akhirnya kami sampai di SD, tempat biasanya kami menjual kue. Alhamdulillah, baru beberapa menit kami duduk, datang guru-guru SD membeli kue-kue kami untuk sarapan mereka katanya. Sepuluh kue sudah terjual, tinggal lima belas kue lagi. Jika habis terjual, aku akan membawa pulang uang lima ribu hari ini. Angan-anganku melayang, bisa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membeli Alqur’an. Huft! Segera ku buyarkan angan-angan itu. Sudah tidak mungkin!
            Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan keluar kelas. Kue ku hari ini diserbu habis-habisan. Alhamdulillah, aku pulang dengan baskom kosong hari ini. Bu Sumiati memberiku upah Rp 5000 plus beberapa kue untuk ku dan Fatimah. “Semoga sore nanti kue-kue ku bisa habis terjual juga.” Bisikku dalam hati.
            Sesampainya dirumah, emak sedang memasak nasi untuk kita sarapan. Sebenarnya bukan sarapan tapi makan siang jika orang lain menyebutnya. Kami memang tidak pernah makan pagi, supaya kami bisa makan dua kali sehari kami makan di waktu siang. Baru malam nanti kami makan lagi. Itupun lauknya tidak pernah ganti. Tempe-tahu atau kerupuk. Kami hanya bisa makan daging setahun sekali, waktu Idul Adha. Miris.
            “Mak…” panggilku.
            “Hemmm…” jawab emak malas.
            “Hari ini Lela dapet upah lima ribu, kalau boleh Lela minta dua ribu buat Lela nabung.” Kataku pelan, takut emak marah seperti tadi malam.
            “ Buat apa nabung-nabung segala? Kayak hidup kita ini udah kelebihan duit aja. La!”
            “Lela pengen nabung buat beli Alqur’an…”
            Emak terdiam lagi. Tak menjawab sepatah katapun. Aku menunggu dengan takut jawaban dari emak.
            “Mak…” panggilku lagi.
            “Nggak usah, emak nggak dapet cucian hari ini.”
            Rasanya sakit begitu mendengar jawaban dari emak. Aku berjalan keluar rumah karena tak mau emak tahu aku menangis lagi. Kata-kata emak tadi benar-benar mematahkan semangatku. Aku berjalan tanpa arah hanya menuruti kaki melangkah. Tiba-tiba kaki ini berhenti tanpa perintah tuannya pada sebuah bangunan kecil, tapi selalu sejuk jika aku memandangnya. Surau yang biasanya digunakan untuk anak-anak mengaji ini, selalu bersih dan rapi walau hanya berukuran kecil. Dulu aku pernah merengek-rengek dengan emak ingin ikut mengaji di surau ini, tapi emak bersikeras tidak membolehkan. Karena dikenakan biaya Rp 5000 tiap bulannya. Angka yang besar bagi keluarga kami.
            “Nanti emak aja yang ngajarin ngaji.” Kata emak
            “Emang emak bisa ngaji??” tanyaku heran.
            Mendadak emak pucat, ia baru sadar bahwa sebenarnya ia pun tak begitu lancar mengaji.Namun lama kelamaan aku mengerti, memang inilah resikonya menjadi orang miskin. Tak usah banyak menuntut, yang penting manut.
            Ku intip isi surau itu dari balik jendela. Ada dua papan tulis, ada meja panjang, dan banyak poster-poster doa di dindingnya. Tiba-tiba ada sesuatu yang memanggil-manggilku. Mataku langsung tertuju pada panggilan semu itu. Di pojok surau itu bertumpuk Alqur’an yang tertata rapi. Spontan saja, bibirku merekah. Menghapus semua tangis di pipiku. Kakiku berjalan lagi tanpa ku perintah. Tangan meraih daun pintu dan akupun memasuki surau yang tidak di kunci itu. Langkah kaki semakin cepat,  kali ini aku yang memerintah. Ku ambil satu Alqur’an dari atas etalase. Merinding ketika aku memegangnya. Baru sekali aku memegang Alqur’an seindah ini. Berbeda sekali dengan punyaku. Perlahan ku buka Alqur’an itu dan betapa bahagianya aku ketika ku lihat itu adalah Alqur’an terjemah. Tanpa ku sadari ada selembar kertas disampingku yang sudah robek sebagian. Ku ambil kertas itu, ternyata kertas itu pun adalah bagian dari halaman Alqur’an.
            “Astaghfirullah, kenapa bisa sampai sobek sih?” tanyaku dalam hati.
Ku baca halaman Alqur’an yang telah sobek itu.
            52. Di dalam kedua syurga itu terdapat kedua buah-buahan yang berpasang-pasangan.
            53. Maka nikmat manakah yang kamu dustakan?
            54. Mereka bersandar diatas dipan yang bagian dalamnya dari sutera tebal. Dan buah-buahannya dapat (dipetik) dari dekat.
Ini adalah ayat yang menjelaskan tentang syurga. Masya Allah, betapa bahagianya aku ketika membaca halaman Alqur’an yang disia-siakan ini. Meskipun hanya sedikit yang dapat ku baca, meskipun aku tak tahu itu surat apa, tapi ini sudah cukup membuat  hati ku menjadi tenang dan bahagia mendengar sedikit cerita tentang isi syurga.
            “Apa bapak sudah ada di syurga ya?” pikirku.
            Ku kantongi halaman Alqur’an itu, dan ku letakkan kembali Alqur’an itu pada tempatnya.
******
            Sore ini meski tak banyak kue yang terjual, tapi entah mengapa hatiku begitu tenang dan nyaman. Ku baca berulang-ulang halaman Alqur’an yang sudah sobek ini. Bahagianya bapak jika saat ini bisa berada dalam syurga-Mu ya Allah.. Tak lupa aku juga menceritakan pada Fatimah. Ia antusias sekali mendengarkan ceritaku.
            “Dek, di syurga itu ada banyak buah-buahannya.”
            “Terus ada apa lagi mbak?”
            “Di syurga itu kita nanti bersandar diatas dipan yang empuk, terbuatnya aja dari sutra. Terus buahnya bisa diambil dari deket. Nggak perlu dipanjat. Jadi nggak usah takut nggak kebagian bagi yang nggak bisa manjat pohon kayak kita.”
            “Hehehehe, enak dong mbak? Terus ada apa lagi mbak?”
            “Apa ya……..? Enggak bisa kebaca lagi dek, soalnya sobek.”
            “Yaaaaa…” kata Fatimah kecewa.
Jadi merasa bersalah juga sudah membuatnya kecewa.
            Sesampainya dirumah , suasananya sepi tak ada emak dan Latif.  Tumben. Biasanya sore-sore begini ramai suara Latif menangis tak mau mandi.
            “Mungkin lagi nyari cucian, dek.” Kataku menenangkan Fatimah.
            “ Tapi kok sampek sore banget, mbak? Ini udah jam lima lewat loh!”
            “Enggak tahu nih, kita tunggu aja deh!”
           
            Mendung sedari tadi bertambah gelap. Emak dan Latif belum terlihat juga. Sore berlalu bersama rinai hujan. Aku sibuk mencari baskom untuk menadahi air dari genting yang bocor. Sayup-sayup terdengar adzan maghrib. Jantungku berdegup kencang, aku mulai khawatir dengan emak. Tapi ku tepis kegalauanku dengan melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan Fatimah.
            Baru saja kami akan melaksanakan sholat, tiba-tiba muncullah dari balik pintu emak dengan Latif yang sudah basah kuyup.
            “Emak!” panggil Fatimah
            “Ya Allah, mak! Emak darimana sih? Latif kedinginan, mak!” tanyaku.
Emak tak segera menjawab. Ku gendong Latif dan ku lepas semua baju-bajunya. Kasihan Latif, ia begitu kedinginan. Setelah emak ganti baju, aku memberanikan diri untuk bertanya lagi kepada emak.
            “Mak,sebenarnya emak tadi darimana?” tanyaku pelan.
            Emak bukannya menjawab malah masuk ke dalam kamar. Aku jadi bingung, apakah aku benar-benar telah membuat emak marah?
            “Ini Alqur’an buat kamu, la. Tapi agak basah kena hujan. Besok dijemur dulu.”
            Aku terkejut, tak percaya dengan apa yang dibawa emak. Badanku kaku tapi lemas, sangking tak percayanya.
            “Heh, ini ambil. Enggak suka ya?” tanya emak.
            “Emak dapet ini darimana?”
            “Kemarin waktu emak mau ambil cucian tempat pak haji Dulah, emak ngeliat ada Alqur’an banyak dirumahnya. Setumpuk, la! Terus emak tadi berani-beraniin aja minta Alqur’an satu sama pak haji. Emak cerita kalau Lela pengen banget punya Alqur’an. Alhamdulilllah, dikasih sama pak haji. Malah pak haji seneng kalau Lela punya keinginan kayak gitu.”
            “Ya Allah emak…” kataku sambil memeluk emak. Ia rela kehujanan hanya demi mencari Alqur’an buatku.”
            “Udah, nggak usah nangis segala. Cengeng kamu ini. Emak cuma bisa ngasih Alqur’an ini, nggak bisa beliin yang baru.”
            “Iya nggak apa-apa, mak. Ini juga Lela udah seneng banget. Makasih ya mak..” kataku sambil menahan tangis.
            Kini kuhiasi setiap malam-malam ku dengan lantunan ayat-ayat suci Alqur’an. Sekarang aku bisa memahami dan mengerti kandungan setiap ayat yang ku baca. “Kan sekarang ada terjemahannya!” Dan sekarang aku juga sudah tahu surat apa yang ada di lembaran Alqur’an yang ku temukan waktu itu di surau. AR RAHMAN ayat 52-54. Senyum terkembang tanda bahagiaku. Betapa Allah sangat menyayangi kita dengan memberikan petunjuk seindah ini untuk hambaNya.
Bagikan ini:
Baca Juga:  Di Ujung Bahagia
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *