Kronika

Artikel IAIN Kampus Kota Metro Mahasiswa

Sejarah Tradisi Sungkeman Saat Lebaran

  • Juni 8, 2019
  • 5 min read
  • 318 Views
Sejarah Tradisi Sungkeman Saat Lebaran

Bagi kebanyakan orang bersalaman antar satu orang dengan orang lainnya mungkin adalah hal yang biasa, bersalaman dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, baik pada acara tertentu maupun pada saat bertemu atau berpapasan di jalan.

Namun di Indonesia ada aktivitas bersalaman yang tergolong unik, aktivitas itu sering disebut dengan sungkeman.

Sungkeman sendiri berasal dari kata sungkem yang maknanya bersimpuh atau duduk berjongkok sambil mencium tangan. Biasanya sungkeman dilakukan oleh orang muda kepada orang yang lebih tua. Namun lazimnya hal ini dilakukan oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya sendiri.

Bagi masyarakat Jawa sungkeman merupakan tradisi turun temurun.

Sejarah Tradisi Sungkeman

Tak banyak yang mengerti jika sebenarnya tradisi halal bi halal, atau silaturahmi untuk saling memaafkan di hari Lebaran, ternyata berasal dari kota Solo.

Menurut penjelasan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger, Pengageng Kasentanan Keraton Surakarta, sejarah halal bi halal berawal dari tradisi sungkeman di Keraton Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Pura Mangkunegaran.

Ada sejarah yang menyebutkan, jika sungkeman masal pertama kali dilakukan di era Kanjeng Gusti Pangeran Agung (KGPA) Sri Mangkunegara I. Bersama seluruh punggawanya berkumpul bersama dan saling bermaafan setelah salat Ied dilakukan.

Namun seiring dengan pergolakan yang terjadi di Nusantara pada saat itu, pihak Keraton sendiri tak bisa leluasa menggelar tradisi sungkeman. Penyebabnya karena kaum kolonial mencurigai tradisi sungkeman, sebagai pertemuan terselubung untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Bahkan dikisahkan, saat terjadi prosesi sungkeman di gedung Habipraya, Singosaren, saat Lebaran pada tahun 1930, Belanda nyaris saja menangkap Ir. Soekarno, dan dr. R. Radjiman Widyodiningrat yang merupakan dokter pribadi SISKS Paku Buwono (PB) X, Raja Keraton Surakarta.

Baca Juga:  Tidur Saat Puasa: Antara Ibadah dan Dampak Negatif

Sontak PB X yang juga berada di lokasi pada saat itu, langsung spontan menjawab jika itu bukan aksi penggalangan masa, tapi halal bi halal saat Lebaran. Dan yang dimaksud halal bi halal yang sungkeman itu sendiri.

Jadi memang sangat diawasi pihak kolonial saat itu. Tapi karena peristiwa itulah, akhirnya PB X justru malah membuka tradisi sungkeman menjadi semacam open house seperti sekarang, jelas Gusti Puger.

Dalam budaya Jawa, seseorang sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji dan ini merupakan bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua atau dituakan. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau nyuwun ngapura. Istilah ngapura tampaknya berasal dari bahasa Arab ghafura.
Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah Swt.

Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah Swt., bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orang-orang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka?

Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).

Sungkeman sering dilakukan pada acara-acara seperti perkimpulan, perpisahan, dan lebaran, namun ada juga yang melakukannya di luar waktu-waktu itu tujuannya untuk meminta maaf atas prilaku kurang menyenangkan yang dilakukan maupun mengharapkan doa dari orang yang di sungkem. Tak jarang mereka yang melakukan sungkeman berderai air mata sembari sesenggukan, sementara yang disungkem pun juga mengalami hal serupa sambil memberi nasehat-nasehat bijak sekaligus doa-doa yang baik.

Baca Juga:  Workshop MICIS Ke-7 Dalam Harmoni Kontribusi Islam

Perlu dipahami bahwa sungkeman bukanlah bentuk penyembahan seorang manusia kepada manusia, namun sungkeman merupakan bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua.

Sungkeman menunjukkan kesopan santunan orang yang masih muda. Tak bisa dipungkiri bahwa sungkeman menjadi salah satu cara untuk mendekatkan hubungan antara anak dengan orang tuanya, atau antara orang muda dengan orang tua.

Dalam perkembangannya sekarang ini budaya sungkeman semakin jarang kita temukan padahal filsafah sungkeman ini memiliki makna yang sangat bagus dan patut kita tanamkan pada generasi penerus agar mereka senantiasa mengingat betapa budaya Jawa senantiasa menjunjung tinggi bakti tulus kepada orang tua.

Tata Cara Sungkeman

Pada umumnya adat sungkeman dilakukan pada saat lebaran pertama, misalnya seorang cucu yang ingin sungkem kepada neneknya akan menghadap sang nenek dan duduk bersimpuh didepan nenek, kemudian cucu mengucapkan kalimat sungkeman dalam bahasa Jawa. Biasanya, kalimat tersebut akan dijawab dengan permohonan maaf kembali dan disambung dengan doa dari kerabat yang dituakan dan di amini oleh yang sungkem. Dan semuanya tentu tidak luput dari penggunaan tingkat dalam bahasa jawa sesuai tingkat usianya.

Nah, itulah contoh kalimat sungkem di hari raya dari sang cucu kepada neneknya. Kita juga bisa merangkai perkataan sendiri, yang terpenting adalah niat kita tulus. Dan sembari berkata tersebut kita bersujud taklim kepada orang tua, serta mencium tangannya.

Jika anda berniat menghadap orang tua atau orang yang dituakan dan ingin menghaturkan sujud sungkem kepadanya, silahkan pandai-pandai menyusun kata-kata yang pantas. Atau untuk keperluan sungkeman pernikahan, cara yang dilakukan adalah hampir sama dan dapat disesuaikan sendiri kalimatnya.

Semoga tradisi sungkeman bisa kita jaga dan lestarikan, karena budaya ini merupakan salah satu keunikan yang layak menjadi kebanggaan Indonesia.

Baca Juga:  Hanya Dua Calwakot Metro Yang Hadiri Debat Publik

(Reporter/Syarif)

Reference:

https://www.google.com/search?q=foto+tradisi+sungkeman+lebaran&tbm=isch&safe=strict&tbs=isz:l&bih=560&biw=360&safe=strict&hl=id&ved=2ahUKEwjwh9XR8c7iAhVmx3MBHQoHCpYQ258EegQIARAE
https://www.google.com/amp/s/amp.kaskus.co.id/thread/5203e9431e0bc3c369000008/mengenal-tradisi-sungkeman-pada-masyarakat-jawa

Sejarah Asal Usul Halal Bi Halal dan Sungkeman

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *