38°C
25 April 2024
Cerpen

Sesal di Penghujung Cinta

  • Januari 9, 2017
  • 7 min read
  • 25 Views

sesal-di-penghujung-cinta

Mentari merangkak malu menuju singgasana. Tetesan embun masih jelas terlihat, bulir-bulirnya turun menyusuri permukaan dedaunan menumbuhkan kesejukan yang terasa oleh tiap insan yang terbangun menikmati indahnya alam di pagi hari. Udara masih rindang ditemani bunyi kokok ayam yang saling bersahutan tanda mentari akan naik ke tahta nya dan hari akan segera dimulai dengan semangat dan jiwa yang tak kenal putus asa. Pancaran mentari berdesakan memasuki celah ventilasi menambah kesan kehangatan yang masih menyelimuti tiap tiap insan. Masih terasa oleh ku kenangan dan janji manis yang kau beri, untaian untaian kata indah yang menerbangkan ku namun kembali kau lumpuhkan sayap sayap yang kau beri membuat ku terjatuh ke jurang penyesalan terdalam yang tak akan pernah bisa ku raih lagi.

*****

Jalanan dipenuhi hiruk pikuk keramaian yang menambah panasnya udara tatkala ku langkahkan kaki menyusuri trotoar pucat sebagai saksi bisu akan segala peristiwa yang terjadi. Namun aku tidak memperdulikan sekitar yang amat ramai ini. Aku hanya berjalan mengikuti kemana aku akan melangkah. Angkuh bukan?
Tepat pada saat sebuah pesan singkat berdering di ponsel ku, aku melangkahkan kaki memasuki sebuah kafe kecil di pusat kota. Mata ku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan terhenti ketika menatap seorang lelaki yang tengah duduk menatapku sembari melambaikan tangannya. Aku berjalan menuju tempat dimana ia berada dan duduk di depannya. Lelaki itu tampak tersenyum tipis seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

“kau terlambat 30 menit” ucap nya dengan kesal yang tertahan. “aku harus menemui dosen sebelum bisa menemuimu” jawab ku dengan santai seolah ini bukan pertama kalinya terjadi. Kulihat ia mengangkat tangan nya dan tersenyum masam. “kau ingat ini hari apa?” ucapnya dengan lembut melupakan kejadian barusan. Aku tampak mengingat ingat “bukankah ini hari rabu?” ku lihat ia tampak ingin mengucapkan sesuatu ketika seorang pramusaji datang dan meletakkan makanan dan minuman di depan kami, Ia menghela nafas berat dan menatap ku tajam “Ini hari jadi kita yang 3 tahun vania larasati, bagaimana bisa kau melupakannya?” aku terdiam dan menunduk malu “maafkan aku” suara tawa terdengar dari nya dan sebuah usapan dikepala ku terasa amat nyaman dan menyenangkan “aku mengerti kesibukan mu, tapi ada hal penting yang harus ku katakan padamu” Senyum nya kembali mengembang dan dengan sigap ia mengeluarkan sebuah kotak merah kecil dan membuka isinya tepat di depan ku, aku terpana melihat dua pasang cincin di dalam nya “mau kah kau menikah dengan ku? Hubungan kita sudah bisa dibilang cukup untuk mengenal satu sama lain dan aku ingin kau menjadi pendamping hidup ku karna…” ucapan nya terpotong ketika aku tanpa sadar berkata lirih “jangan sekarang dion, aku belum siap” raut wajah dion berubah kecewa, maafkan aku tapi aku tidak bisa berbohong, gumam ku dalam hati. Dion menatap ku dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa ku pahami “apa alasan mu belum siap?” tanya dion dengan nada yang benar benar kecewa “aku harus melanjutkan pendidikan S1, dan kalau kita menikah itu artinya aku harus berhenti dion” ucap ku “tapi aku memiliki pekerjaan dari keluarga ku, jangan fikirkan tentang…” “tapi aku punya masa depan yang ingin aku raih, tak bisakah kau mengerti itu?” potong ku lirih padanya. Dion terhenyak dan memaksakan sebuah senyum untukku “Aku akan menunggu mu” katanya sembari memasukkan kotak merah yang ia perlihatkan padaku. Aku tertegun dan terus menerus menundukkan kepala dalam diam “tidak apa apa, aku akan selalu menunggu mu, cepatlah menjadi sarjana” lanjutnya. Aku membalasnya dengan senyuman. Pernikahan itu tidak sama seperti pacaran, bila bosan kau bisa putus tapi dalam pernikahan kau harus setia pada satu orang seumur hidupmu. Gumam ku dalam hati merenungi pernikahan yang selalu menghantui fikiran ku. Untuk apa predikat 3 besar ku raih bila aku tidak bisa menjadi apa apa, ah dion terlalu terburu buru mengambil keputusan, ku tutup diary merah jambu dan memperhatikan materi yang diberikan dosen, aku harus menjadi guru, tekadku

Baca Juga:  Akhir Sebuah Penantian

~

Sejak memasuki perguruan tinggi, hubungan ku dengan dion menjadi sedikit renggang, terlebih ketika dion mengutarakan keinginan nya untuk meminang ku. Aku sangat mencintainya, tapi aku tidak mau menggantungkan kehidupan ku pada dion. Dengan kata lain aku ingin menjadi istri yang mandiri, ah andai kau tidak memikirkan keegoisan mu saja dion. Waktu berjalan sangat cepat, tak terasa aku telah sampai pada semester akhir di perguruan tinggi, aku tengah sibuk menyusun skripsi dan tak ku hiraukan semua pesan singkat yang dion berikan. Aku hanya fokus ke perguruan tinggi tidak dengan dion. Tapi aku selalu bersyukur dion bisa memahami itu.

Aku meraih ipk yang lumayan fantastis dengan 3,75 membuat ku masuk dalam deretan cumlaude di wisuda ku, dion berdiri mendampingi ku meraih gelar S1 ku “akhirnya kau meraih apa yang kau mau vania” ujar dion bahagia seraya memelukku. Aku tersenyum dan balas memeluknya “aku sangat bahagia dion, kau tau apa yang dosen pembimbing katakan kepada ku?” isakku bercampur bahagia, dion merenggangkan pelukan nya untuk menatapku “apa?” “aku mendapatkan beasiswa S2 di London bukankah itu kabar yang sangat membahagiakan?” “aku turut senang mendengarnya vania, itu artinya aku bisa mendampingimu selama di london” Serunya bersuka cita. “aku harus melanjutkan S2 dan tidak mungkin dalam keadaan bersuami, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau aku hamil? Aku tidak akan secemerlang ini, bisakah kau menunggu ku 2 tahun lagi?” aku tau dion terkejut mendengar pernyataan ini, ia hanya menanggapi ku dengan tersenyum lemah “kau mau pergi?” ucapnya tak yakin kepada ku “hanya 2 tahun dion”
“aku sudah menunggu mu selama 4 tahun” “kau bisa menunggu ku 4 tahun dan tidak bisa menunggu ku hanya dalam 2 tahun? Kau jahat dion” ucapku tak percaya.
dion mengangkat tangan nya tanda menyerah dan mengiyakan jawabanku. Hari yang bahagia untuk ku, tapi tidak dengan dion, ia bahkan tak ada waktu untuk mengantar ku ke bandara atau sekedar ucapan selamat tinggal, ah dion kau benar benar egois.

Baca Juga:  PADA UJUNG SENJA

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh bagian bandara dan tak menemukan keberadaan dion, dengan langkah gontai aku melangkahkan kaki menaiki tangga pesawat dengan fikiran bahwa dion akan menyusul ku ternyata tidak bahkan tidak ada pesan singkat yang ia beri pada ku. Inikah rasa kehilangan?

Aku menjalani hari hari sibuk ku di London, bertemu dengan para mahasiswa asing dan berbagi pengalaman baru, tak ada lagi deretan pesan dari dion yang dulu selalu menghias layar handphone ku, ia tidak pernah membalas semua pesan ku. Apa ada yang terjadi pada nya? Segala fikiran buruk ku tertuju pada nya dan ingatan tentang dion yang acap kali mengatakan pernikahan pun terngiang di benak ku.

Satu setengah tahun lama nya tak berjumpa dan tak ada sedikitpun pesan walau satu. Apa dion baik baik saja? Fikir ku gelisah dan dengan segenap keberanian yang aku punya aku meminta izin cuti untuk pulang ke Indonesia dan berharap dion terlihat seperti dulu “Aku menunggu mu di kafe tempat kita menghabiskan waktu luang” sebuah pesan singkat yang ku harap akan dion baca. Hampir 2 jam aku menunggu dan sesekali melirik ke arah pintu namun tak juga mendapati sosok dion.
Aku menundukkan kepala dan menghela nafas berat saat sebuah suara yang sangat ku kenal terdengar “Lama menunggu?” panggilnya yang sontak membuat ku tertegun menatap nya. Sungguh diri ini di dera kerinduan yang amat besar.
“kau terlambat 2 jam dion” lirih ku. Dalam hati aku tertawa mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu ketika ia dengan amarah tertahan menunggu keterlambatanku. “Maaf aku harus menyelesaikan pekerjaan di kantor” ucapnya sembari tersenyum tipis . “Dion, ini hari apa?” sambung ku ceria “Bukankah ini hari Jumat?” Aku memasang wajah kesal padanya namun sebelum sempat aku membalas nya tak sengaja ekor mata ku melirik ke arah jemari dion yang kini memakai cincin. Dion menyadari apa yang ku lihat dan berdehem pelan yang sontak membuat ku mengalihkan pandangan “Vania, aku sudah menikah 6 bulan yang lalu” pernyataan yang membuat ku ingin terjatuh dan berharap ini hanya lelucon “Dion, aku kembali ke Indonesia. Aku sudah siap untuk menikah. Jadi kapan kita akan…” “Maafkan aku, aku sudah menikah Vania. Ku harap kau menemukan lelaki lain yang bisa mendampingimu bersama mimpi-mimpi indah mu itu, aku permisi ada seseorang yang menunggu ku dirumah” Aku terdiam menatap punggung dion yang semakin menjauhi ku sebelum akhirnya menghilang.
Memori tentang kenangan kenangan kebersamaan ku dengan dion berputar bagai melodi indah yang kini amat memberi luka mendalam, sesakit inikah akhir cinta kami?

Baca Juga:  Luka yang Terawat

Andai waktu kan terulang, aku akan memenuhi permintaan mu dion, mungkin kini aku akan hidup bahagia dengan anak anak kita yang lucu, menikmati hari bahagia kita selamanya dan semua kisah cinta itu tinggallah penyesalan. Penyesalan yang tak berguna.  (Bunga Puspita)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *