Cahaya yang Mengantar Pulang
Redaksi Kronika
- Januari 22, 2024
- 13 min read
- 340 Views
Ada yang bilang, pegunungan panjang berwarna hijau yang memagari desaku itu berasal dari ledakan gunung berapi puluhan tahun lalu. Ledakan itu memunculkan sebuah danau besar yang diberi nama Danau Pandar oleh para tetua desa. Awalnya, aku tidak mengerti mengapa danau berisi ikan betok dan ikan gabus itu diberi nama Danau Pandar, tapi ayah bilang, Pandar berarti cahaya, yang maksudnya danau itu menjadi tempat penghidupan kami dikala kesulitan, seperti sebuah cahaya yang muncul dalam kegelapan.
Lagi-lagi cahaya, aku sempat heran mengapa penduduk di desaku sangat menyukai cahaya. Mungkin karena desa kecil kami ini belum teraliri arus listrik secara merata. Hanya ada beberapa tempat yang dialiri arus listrik, seperti bangunan pemerintah desa atau bangunan kesehatan. Itupun kadang-kadang saja, saat pak Kamil Kepala Desa kami sekaligus pemilik Langgar tempat kami biasa mengaji. ia menerangkan bahwa, mengaliri cahaya tidak semudah mengaliri air dari Danau Pandar ke celah-celah tanah.
Aku terdiam menatap biru air tawar di bawah sana. Sedikit merah tertimpa cahaya matahari tenggelam di ufuk seberang. Bayangan pepohonan kecil di tepi danau mengabur saat angin meniup permukaan air. Langit seperti tangan Tuhan yang tengah memeluk dunia buatannya, penuh rasa hangat dan kemegahan. Aku bergetar kecil tergelitik oleh ilalang tinggi disekitar badanku. Angin petang yang dingin membuat ilalang tajam itu menyerut tepi lenganku, membuat reflek mengangkat tangan ke dada sambil menyimpan Al-Qur’an di dadaku.
Padang rumput tebal yang mengelilingi danau ini selalu membawa kenangan tersendiri bagiku. Ada sebuah cerita rahasia yang tersimpan di antara aku dan danau ini. Hanya kami berdua. Mungkin Ayah juga mengetahuinya, tetapi aku tidak yakin ia benar-benar melihat apa yang aku lihat malam itu. Malam dimana aku tahu mengapa Ayah begitu menggilai cahaya seperti penduduk desa lainnya. Malam dimana aku mulai jatuh cinta pada cahaya juga, pada lentera yang membuatku bersin saat menghirup kepul asapnya.
Petang itu, saat aku masih berumur sekitar 10 tahun, aku biasa pergi mengaji ke langgar di ujung desa bersama teman-temanku. Tempat itu hanya berupa rumah panggung kecil dengan dinding papan dan atap dari ilalang tebal yang disusun sedemikian rupa. Hanya ada satu lentera kecil di tengah langgar, menyinari kami bersepuluh membaca Al-Quran. Pak Kamil yang biasa mengajari kami mengaji.
Dia selalu datang lebih dulu, mengenakan sarung yang ujungnya robek karena tersungut obat nyamuk saat ia menghidupkannya minggu lalu. Peci putih yang akhir-akhir ini kulihat mulai berubah kuning juga selalu terpasang di kepalanya yang bulat. Hari itu, aku diminta Pak Kamil membawa lentera untuk kami mengaji, karena lentera yang biasa dia bawa pecah tertendang anaknya yang baru berumur enam tahun. Saat aku meminta izin pada Ayah untuk membawa lenteranya ke langgar, Ayah hanya bilang.
“Tidak apa-apa, bawa saja, kita masih punya satu lentera lagi, tetapi pulang cepat hari ini, Ayah butuh lenteranya untuk menjala ikan di danau.” Jadi beliau memintaku untuk mengantarkannya ke tepi Danau Pandar lepas isya nanti. Aku hanya mengangguk.
“Cahaya adalah kehidupan. Dia muncul dalam gelap dan membuat kita dapat melihat yang tidak tampak. Cahaya bisa muncul dari mana saja. Seperti dari lilin, bulan purnama, atau dari mata kucing di malam hari begini,” Pak Kamil menunjuk lentera di tengah kami, menggaruk lengannya yang digigiti nyamuk.
“Atau juga dari lentera punya Dani ini. Cahaya bisa muncul dari mana saja.”
Aku tak pernah benar-benar mengerti apa yang dikatakan Pak Kamil. Dia bicara lebih seperti bicara untuk dirinya sendiri. Lagi pula, apa hubungannya mata kucing dengan kehidupan, coba? Bisa saja si kucing itu terlahir buta. “Dani,” Panggilan kecil Pak Kamil itu membuyarkan lamunanku, aku menepuk mukaku yang dijilati nyamuk.
“Lenteramu. Terima kasih sudah memberi kita penerangan malam ini.” Ia menyerahkan kembali lenteraku. Aku hanya tersenyum kecil, mengangguk sopan. Harus ku akui, aku tak terlalu suka kegelapan, tetapi bukan berarti aku suka cahaya. Terkadang silau cahayanya membuat pandanganku kabur, sampai-sampai aku jadi menabrak pohon saat mengendarai sepeda disiang bolong.
Sambil melipat sarung dan memegang erat lentera Ayah, aku keluar dari halaman pondok. Cahaya di dalam lentera itu berpendar-pendar, tergoncang oleh langkah kakiku yang brutal melintasi angin malam. Membelah jalan setapak kecil, aku melintasi padang rumput menuju tepian Danau Pandar. Ayah biasa menambatkan sampan kecilnya di sana, ditali ke sebuah pohon besar yang akhir-akhir ini daunnya mulai berguguran. Sebenarnya, Ayah memiliki satu lentera lagi yang ia pasang di salah satu cabang pohon itu. Lentera kecil yang tentu tak mampu menyinari kegelapan lebih dari tiga meter ke depan, tetapi dia bilang dia memasang lentera jelek itu hanya sebagai penanda tempat sampannya berlabuh.
Tiba-tiba, sebuah batu seukuran kelapa menghantam kakiku. Aku tersandung keras, jatuh terjerembab ke tanah dengan muka mencium ilalang berdaun tajam. Lenteraku mengggelinding ke tepi jalan. Rasa panas naik ke atas kepalaku, aku berteriak kesal, meraih lentera bodoh yang katanya menyinari kegelapan itu, tanpa ragu membantingnya keras-keras ke batu yang membuatku jatuh. Kaca yang memagari api lentera itu pecah, udara malam yang dingin membuat sumbu di dalamnya bergoyang-goyang dan akhirnya padam. Bau minyak tanah menguar ke udara. Aku benci lentera!
“Dani, kau kenapa?” Itu kalimat pertama yang diucapkan Ayah saat aku tiba di tepi danau Pandar. Dengan muka kusam disiniri setengah cahaya bulan dan setengah cahaya lentera di pohon besar, aku menenteng lentera remuk milik Ayah di tanganku. Melipat-lipat sarung di leherku, aku membiarkan angin malam meniup mata kakiku yang telanjang. Ayah menghela napas, mengambil lentera hancur dari tanganku, mengusap kepalaku sambil tersenyum miris.
“Cahaya lenteranya terlalu kecil, aku tidak bisa melihat jalan. Aku tersandung batu.” jelasku dengan napas naik turun, ingin membanting lentera di tangan Ayah lagi, tetapi ia hanya diam, menyuruhku mengambil bekas rangka lentera lain dari dalam sampan. Untuk beberapa saat, Ayah sibuk membetulkan lentera bodoh itu. Menyalakan kembali sumbunya dengan korek api kayu dari sakunya. “Lain kali, hati-hati saat berjalan. Jangan salahkan lenteranya, dia hanya bisa membantu, kaulah yang melangkah.” Lembut Ayah, menyerahkan lentera yang sekarang sudah benar itu kembali ke tanganku. Aku hanya terdiam, masih mengkal.
“Ayo! Ikut Ayah menjala ikan sebentar. Biasanya, malam-malam begini banyak ikan naik. Lumayan untuk tambah-tambah lauk esok.”
Menarik napas panjang, aku membantu Ayah menurunkan sampan ke air danau. Segera melompat naik ke atas sampan saat setengah tubuhku mulai tenggelam. Tugasku hanya satu, memegang lentera untuk menyinari jalan kami ke tempat tujuan. Ayah bilang, dia akan mencoba menjala ikan di tempat yang berbeda dari yang biasanya. Jadi, ini akan menjadi petualangan baru kami di Danau Pandar.
15 menit kemudian, kami sudah tak melihat cahaya lentera di tepian danau. Itu berarti kami sudah pergi cukup jauh. Biasanya, Ayah akan mulai bercerita untuk membelah keheningan diantara kami. Suara dayung yang tenang, tiupan angin yang membuat air bergelombang, dan sekumpulan rengit kecil disekeliling lentera mengawali dongeng ayah malam itu.
“Kau tahu, ada beberapa ikan yang senang muncul dimalam hari untuk mencari makan. Mereka tertarik dengan sumber cahaya karena berpikir mungkin ada makanan disana. Jadi, mereka akan mendekati kita selama kau menjaga lentera itu tetap menyala.”
Aku menjejalkan ujung jari tangan kiriku ke tepian air, sedikit takut kalau-kalau ada yang menerkam tanganku dari dalam kegelapan air itu. “Apakah kau ingat tentang cerita Ayah mengenai pemancing yang kehilangan lenteranya?” Ya, Ayah, kau telah menceritakannya berulang kali. Mengenai pemuda yang tak sengaja menjatuhkan lentera ke Danau Pandar saat memancing, lalu dia tenggelam ditarik oleh gelombang air yang tiba-tiba muncul. Anehnya, Ayah belum pernah menceritakan akhir dongeng itu. Apakah pemancing itu selamat atau tidak, Ayah? Ayah hanya tersenyum, lalu dia akan kembali mengulang ceritanya, dan sekarang aku tak ingin bertanya lagi, aku sudah bosan.
“Dengan sampan kecilnya, pemuda rendah hati itu mengeluarkan kail pancingnya, dengan sabar menunggu diantara desir angin malam dan gigitan serangga, tapi dia tak sengaja menyenggol lentera satu-satunya yang dia punya dan membuat lentera itu jatuh ke dalam danau. Tak lama dari itu, gelombang air pasang mendadak muncul. Membalikkan kapal sang pemuda hingga ia jatuh tenggelam.”
Aku tak mendengarkan cerita selanjutnya. Aku lebih tertarik pada, apakah jika lentera ditanganku mati, aku juga bakal tenggelam ditarik air yang jelas-jelas diam-tenang ini? Itu terdengar aneh meskipun mungkin saja terjadi. Membiarkan Ayah sibuk menceritakan kisahnya sambil mendayung sampan, aku diam-diam mengotak-atik lentera dan mencipratkan air danau ke dalamnya. Sebuah angin kencang mendadak masuk ke dalam celah lentera, bersamaan dengan cipratan airku yang masuk ke dalamnya. Sumbu api di dalamnya mendadak mati, dan cahaya disekitar kami lenyap. Aku setengah kaget, “Dani! Apa yang kau lakukan?”
Aku menoleh kebelakang, melihat tatapan khawatir yang terpancar di mata Ayah. Aku hanya bisa terpaku, melihat lentera di tanganku basah kuyup. Pasti akan sulit menghidupkannya kembali. “Berikan!” Ayah mendekatiku, mencoba meraih lentera dari tanganku, tapi sebelum ia benar-benar menggapainya, sebuah gelombang air menerjang tinggi dari sisi kiri dan kanan sampan kami. Aku ternganga kaget, gelombang itu tiba-tiba menyambar tubuh Ayah, membuatnya terjun jatuh ke dalam gelapnya danau. Aku terbatuk sakit karena menghirup air dari hidung. Mataku merah mencari keberadaan Ayah dalam samar-samar malam. Gelombang itu mendadak lenyap. Ayah mendadak lenyap. Tidak ada apa-apa selain napasku yang sesak dan sampan yang nyaris tenggelam terisi air danau. Aku gemetar hebat melongok ke kanan-kiri sampan, berteriak seperti orang gila mencari keberadaan Ayah.
Mengobrak-abrik air disekitarku, aku berharap Ayah muncul atau setidaknya ada pergerakan dari dalam air yang berkemungkinan adalah Ayahku yang mencoba naik. Tetapi tidak ada apa-apa. Begitu saja air danau ini tenang seolah tidak ada yang terjadi. Aku mengusap mukaku yang basah, menangis kencang seperti kesurupan, loncat dari satu sisi sampan ke sisi lain.
Lentera, mungkin jika aku menghidupkan lentera itu lagi, Ayah bisa kembali! Aku mencari kotak barang-barang Ayah di sudut sampan, membukanya dan menemukan setengah kotak itu sudah basah kuyup. Tak peduli, aku meraih korep api kayu dengan jariku yang kaku. Bergerak mengambil lentera yang tergelatak begitu saja di sisi sampan. Dengan tangan bergetar, aku mencoba menghidupkan kembali lentera itu. Sebagian besar korek apinya sudah basah, tidak dapat menghasilkan api barang sepercik. Aku mencoba tenang dan menahan tangis, tapi tidak bisa. Aku mulai merasakan desir panas di pembuluh darahku.
Namun, sebuah gelombang pasang aneh itu tiba-tiba muncul lagi. Kali ini dari belakang sampan. Aku mendongak gemetar, merasakan cipratan air di mukaku. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, gelombang air itu menimpaku seperti sebuah semak padat yang menghajar badanku. Lalu semuanya berubah gelap. Aku merasa kedinginan. Aku merasa bebas tapi tak bisa bernapas. Paru-paruku terisi oleh air di kedalaman Danau Pandar. Saat aku mencoba membuka mata, tak ada apa-apa selain rembulan samar di atas sana. Diantara gelombang air yang membuat cahaya tak bisa masuk ke dalamnya.
Aku tahu ini mungkin menjadi akhir kehidupanku. Mati konyol karena sengaja mematikan lentera milik Ayah. Napasku tak akan sampai jika aku naik ke permukaan danau saat ini juga, kakiku tak akan sanggup berkecipak merangkak ke atas sana untuk meraih udara. Aku juga tahu jika mataku perlahan mulai tertutup, dan cahaya dari rembulan di atas sana mulai surut. Aku kedinginan. Aku ingin memegang lentera dan merasakan serpihan kehangatan dari sisi kacanya. Aku butuh cahaya. Seperti sekumpulan anak ayam yang berkumpul pada lampu di tengah mereka. Aku butuh lentera.
Sebelum mataku benar-benar tertutup, aku merasakan sebuah dorongan kecil di punggungku. Sebuah dorongan yang makin lama makin menguat hingga menghempaskanku ke permukaan danau. Saat aku menyadarinya, Ayah menarik badanku naik ke atas sampan, memelukku erat sambil menepuk kecil sisi wajahku yang sayu. Mataku menangkap buram wajah Ayah. Melihat ia baik-baik saja dan ada di depanku, memelukku erat. Aku agak bingung. Karena Ayah ada, tetapi tidak ada cahaya disekitar kami. Memutar pandangan, aku menyadari lentera itu hilang. Tidak ada di sampan. Kemana?
“Sekarang kau tahu, ‘kan, kenapa kita butuh lentera sebagai penerang?” kata Ayah sembari mendayung sampan, mencoba mencari tepian danau. Aku hanya mengangguk kecil, duduk menggigil di dalam lingkaran lengan kanannya yang lembut. Kejadian beberapa waktu lalu masih membingungkanku. Ayah bilang, lentera di tanganku jatuh ke danau dan aku ikut terpeleset jatuh ke dalamnya karena mencoba menggapai lentera itu. Segera setelah aku tenggelam, Ayah menceburkan diri dan menarikku naik kembali ke atas sampan, tetapi lentera itu telah menghilang dan Ayah tak ingin susah-susah mencarinya.
Beberapa saat hening. Hanya terdengar gemeretak gigiku yang menggigil. Ayah tak banyak bicara. Mungkin sedang memikirkan bagaimana cara mengatakan pada Ibu jika anaknya baru saja tenggelam. “Dani, apakah kau tahu kenapa penduduk desa sangat menyenangi cahaya?” tanya Ayah tiba-tiba, membuatku mengangkat kepala ke arahnya. Aku tak menjawab, hanya menggeleng kecil.
“Desa kita belum terjamah cukup listrik, kau tahu itu, dan kita membutuhkan cahaya untuk menyinari gelapnya malam untuk menimbang ikan yang akan dijual esok, untuk kau mengerjakan tugas rumahmu, untuk Ibu menggoreng singkong buat para pemuda ronda.” Ayah mendongak kecil, mendayung sedikit lebih lambat.
“Tapi, cahaya yang dikagumi oleh penduduk desa bukan cuma sekedar itu, Dani.” ujarnya ringan, aku mendengarkan dengan seksama.
“Cahaya adalah kehidupan. Cahaya…adalah kehidupan. Coba tengok sekitarmu.” Aku memutar kepala kesana kemari, melihat sejauh pandangan hanya ada kabut putih tipis dan kegelapan malam yang menghantui. Ujung danau ini seperti tidak ada batasnya. Aku bahkan ragu apakah itu adalah ujung danau atau hanya ilusi semata.
“Apakah ada cahaya lain selain cahaya lemah rembulan? Apakah kau tahu dimana Ayah harus memutar sampan supaya kita sampai ke tepi danau?” Pertanyaan Ayah membuatku diam. Aku hanya menggeleng kecil, merasakan rasa bersalah yang mengendap di bahuku. Seharunya aku tidak bermain-main dengan lentera itu.
“Tanpa cahaya dari lentera itu, kita belum tentu bisa sampai ke tepi danau. Bisa jadi kita hanya berputar-putar sedari tadi.” Ucapan Ayah itu seperti menghantam kepalaku. Aku menunduk takut, memeluk paha.
“Maaf, Ayah.” balasku lemah, menahan tangis. Ayah tidak merespon apa-apa, dia justru memberi tepukan kecil di lenganku.
“Tidak apa-apa. Ayah hanya mau mengatakan, jika cahaya tidak harus bisa dilihat mata, Dani. Dia tidak harus hangat, tidak harus besar agar bisa mengantar kita menuju jalan pulang. Dia hanya harus dirasakan, harus ada di hatimu, disela-sela kegelapan hati manusia. Itulah cahaya yang penduduk desa kagumi.”
Aku ternganga setengah, sebab tak terlalu mengerti apa yang dikatakan Ayah, tetapi kalimat itu terdengar keren. Mengerjap bingung, aku menoleh ke sisi kanan sampan, melihat sebuah percikan air yang seperti serpihan cahaya berwarna kuning. Aku mengerutkan alis, memperhatikan lebih seksama. Benar! Setiap percikan air yang dibuat Ayah dengan dayungnya membuat percikan cahaya kuning itu muncul ke permukaan. Aku bergeser ke sisi kiri sampan, melihat hal yang sama terjadi di sana. Ini aneh. Aneh sekali. Bahkan titikkan cahaya itu mulai muncul beberapa meter di depan sampan kami, dimana tidak ada percikan air sama sekali.
Kepakkan burung-burung dari ujung danau terdengar sampai kesini. Biasanya tidak ada burung seramai ini di tengah malam. Aku mendongak, membulatkan mata melihat sekumpulan burung belibis berbadan gemuk muncul dan terbang dalam formasi segitiga dengan sampan kami di tengahnya. Mereka mengepakkan sayap dengan keras, dan di setiap kepakkannya, muncul sepercik cahaya biru terang seolah percikan itu berasal dari angin malam yang dirobek kencang. Mereka bersiul tajam, sesekali berpindah formasi dan terbang rendah di sekitar sampan kami. Aku duduk memaku, melihat beberapa burung itu terbang melintasi air danau di sampingku. Begitu cepat sehingga membuat air danau itu terbelah dua. Cahaya biru juga muncul di sana.
Semua cahaya di sekitarku menerangi jalan pulang kami. Mereka seolah menjadi penanda jika arah pulang yang kami tempuh saat ini sudah benar. Cahaya lain muncul di seberang sana. Aku memicingkan mata, menyadari cahaya itu berasal dari lentera yang Ayah pasang di pohon besar tepi danau. Ayah menghela napas lega, dan aku bingung bagaimana dia tahu jalan pulang bahkan tanpa cahaya. Bagaimana caranya?
Ayah yang duduk di sampingku hanya tersenyum melihat kebingunganku. Ia mendongak, seolah melihat pemandangan asing yang juga aku lihat. “Apakah kau melihatnya juga, Dani? Apakah kau melihat cahaya yang menerangi kegelapan dan mengantar kita pulang ini, Nak?”
Cahaya yang Mengantar Pulang oleh Adisti Ega Aulia