38°C
28 March 2024
Dosen Opini

ANTARA POLITIK DAN POLITIK-POLITIKAN

  • Oktober 21, 2010
  • 4 min read
Oleh : Didik Kusno Aji*
Dalam Sebuah Perjalanaan politik, sering kali kita, sebagai masyarakat diperlihatkan dua wajah ganda. Kadang baik, kadang buruk seperti tak punya nurani. Banyak sebagain orang beranggapan “itulah politik.” Tetapi, politik, pada hakikatnya tentu tak seperti itu. Tetapi, paradigma peta perpolitikan yang berkembangan dewasa ini menunjukan sisi buram dalam kiprahnya. Adanya conflik of interest yang terkadang berbenturan dengan berbagai norma yang ada. Baik norma hukum maupun norma-norma lain.
Secara faktual, perjalanan politik memiliki tiga kemungkinan. Pertama pihak yang dikorbankan, kedua pihak yang untungkan, dan yang ke tiga pihak yang memancing di air keruh alias memanfaatkan kondisi konflik. Dalam perpolitikan juga terkadang membuat segalanya jadi serba abu-abu. Kasus seperti Susno Duaji, Anggodo vs KPK, dimana publik dibuat ketar-ketir akan ending dari cerita tersebut. Suatu contoh Susno, dahulu banyak publik yang kecewa dengan sikap Susno yang cukup kontroversial dengan penyebutan istilah cicak vs buaya. Namun sekarang apa yang terjadi? Susuno justru dianggap sebagai pahlawan pembongkar kasus korupusi lantaran berbagai pernyataanya yang mengungkap berbagai kasus keterlibatan pejabat dalam kasus korupsi. Tentu semua itu tak akan terlepas dari sebuah strategi politik.
Begitu juga seperti kasus Anggodo vs KPK yang kemudian berujung adanya istilah kriminalisasi KPK. Bahkan, presiden SBY pun sempat gerah dengan istilah itu. Dalam konteks kedua kasus tersebut, tentu tak akan terpisahkan dari strategi politik. Yang benar bisa terlihat salah, dan yang salah bisa terlihat benar. Dampak dari semua itu tentu rakyatlah pihak yang paling dirugikan. Begitu sulitnya melihat sebuah kebenaran.
Lain lagi cerita sekretariat bersama (Sekber) dimana adanya unsur transpolitika. Permainan berbagai elit dalam pemetaan politik seringkali menabrak koridor-koridor yang ada. Sehingga seringkali kepentingan publik terabaikan, bahkan tumbuh menjadi permainan politik. Paradigma syarat kepentingan seperti ini tentu dapat berdampak pada konflik baru. Setiap ada action politik, pasti ada muatan politik. Apakah itu yang diharapkan dari perpolitikan kita?. Ataukah itu sebuah konsekuensi dari kalangan yang berkecimpung dengan “politik.” Kondisi ini jika terus berlanjut tentu masyarakat yang akan menjadi korban. Seharusnya, para elit politik punya sesibilitas yang tinggi terhadap kondisi masyarakat yang sedang terjadi. Bukan malah mempolitiki masyarakat dengan membuat strategi politik yang segalanya jadi tak tentu.
Momen pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, atau bahkan presiden, tentu tak akan terlepas dari permainan ini. Dengan tujuan kedudukan, kekuasaan, atau strata sosial. Itulah salah satu konspirasi sebuah politik. Dan sayangnya, jika semua tujuan politik sudah terwujut, seringkali kita enggan melepaskan berbagai baju yang telah kita dapat. Yang terkadang rela dipertahankan dengan sesuatu yang kurang etis atau dengan menginjak berbagai norma yang seharusnya menjadi tempat untuk berkaca. Bahkan terkadang harus menyeret pada tindakan yang kurang terpuji. “Politik uang atau politik-politikan” menjadi sesuatu yang dianggap masih manusiawi. Parahnya lagi, seringkali beralasan “masih ingin mengabdi” sebagai kalimat membela diri.
Banyak yang bilang, dalam politik tak ada kawan dalan lawan yang sejati. Yang ada hanya kepentingan yang abadi. Saling mencurigai, memojokan, mencela dan mencari titik lemah. Apakah itu identitas politik kita? Politik dalam kiprahnya tentu diharapkan tak seperti itu. Politik yang santun dan politik yang manusiawi seharusnya dijadikan pandangan ideal ditengah iklim demokrasi. Bukan malah sebaliknya. 
Wajah ganda dan serba abu-abu yang diperlihatkan elit politik kita akhir-akhir ini tentu menimbulkan berbagai kecemasan. Indonesia yang membentang begitu luas tentu membutuhkan seorang pemimpin yang patut diteladani dan memiliki sikap arif dalam menghadapi berbagai konflik yang timbul. Azas keadilan dan supremasi hukum harus dijujung tinggi demi tegaknya sebuah tatanan dan nilai-nilai luhur demokrasi yang bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Elit pilitik tidak seharusnya menunjukan sisi kelam pada sebuah permainan politik.
Kita sebagai masyarakat seringkali sulit membedan, antara politik dan politik- politikan. Dimana kedua hal tersebut terlihat begitu tipis. Dalam sebuah politik seringkali terdapat sebuah muatan-muatan politik. Begitu juga dalam permainan politik tak akan terlepas dari politik itu sendiri. Kita begitu sulit membedakan bukan? Adanya konspirasi dari sebuah sikap atau pernyataan politik tentu bisa berdampak pada tingkat keparcayaan masyarakat terhadap elit politik. Dampaknya, kepercayaan masyarakat mulai terkikis terhadap seorang pemimpin. 
Perjalanan politik bagai lingkaran setan. Ketika sudah masuk, seringkali kita akan sulit keluar pada lingkaran tersebut. Karir politik bagai menghitung perjalanan waktu. Setiap detik kita melangkah, kita hanya mengikuti arus dan sulit membendungnya. Jika kita tidak mengikuti arus politik-politikanya, maka bisa jadi kita akan tersingkir karena permainaan politiknya. Wallahualam bisowaf.[]





*Alumnus Pascasarja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tinggal di Lampung Tengah

Bagikan ini:
Baca Juga:  Konsultasi Agama
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *