Kronika

IAIN Kampus Mahasiswa Opini

Darurat Sipil VS Karantina Wilayah, Mana yang Lebih Efektif?

  • April 4, 2020
  • 4 min read
  • 398 Views
Darurat Sipil VS Karantina Wilayah, Mana yang Lebih Efektif?

Pandemi virus Corona beberapa waktu ini menghebohkan dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, wabah virus Corona muncul pada awal Maret 2020, dengan 2 orang dinyatakan positif terinfeksi virus Corona.

 

Keadaan ini membuat masyarakat mulai khawatir, hal ini membuat pemerintah mulai mempersiapkan diri untuk mengantisipasi wabah, dengan membuat rumah sakit darurat yang dapat menampung 3000 pasien. Rumah sakit darurat ini digunakan ketika rumah sakit rujukan sudah tidak dapat menampung pasien Corona.

Pemerintah terus berupaya untuk mencegah penyebaran virus ini, beberapa langkah yang dilakukan salah satunya adalah kebijakan social distencing. Hal ini pun berimbas kepada kebijakan pemerintah, meniadakan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan keramaian dan meliburkan sekolah, puncaknya Ujian Nasional yang semula direncanakan akan dihapus di tahun 2021, pada Ujian Nasional 2020 ini telah dihapuskan sebagaimana surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Nomor 4 tahun 2020.

Berjalannya waktu, tingkat kasus virus Corona di Indonesia semakin meningkat, sampai hari ini mencapai lebih 1600 kasus yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Merespon hal tersebut, beberapa wilayah mengeluarkan wacana karantina wilayahnya. Namun, hal ini mendapat penolakan dari pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri, dan ditambah dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan Karantina Wilayah adalah wewenang dari Pemerintah Pusat. Hal ini menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Melihat kondisi yang semakin memburuk, Presiden Jokowi memberikan statement saat ini perlu diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan jika memungkinkan kebijakan Darurat Sipil perlu dilaksanakan.

“Saya meminta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disipin, dan lebih efektif lagi. Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampimgi adanya kebijakan sipil,” kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas yang disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).

Baca Juga:  Hasil Placement Test IBA Segera dikoreksi dan diumumkan Secepatnya

Statement tersebut mendapat tanggapan yang bermacam-macam, ada yang mendukung untuk dilaksanakannya Darurat Sipil sebagaimana dalam Perpu Nomor 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya, dan ada juga yang menyayangkan kenapa karantina wilayah yang diterapkan sebagaimana Undang-undang  Nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan Kesehatan, yang didalamnya mengatur karantina wilayah yang mana UU tersebut persiden Jokowilah yang mengesahkannya.
Pemerintah terlihat lebih melirik penetapan darurat sipil dan dipadukan dengan pembatasan sosial berskala besar, dibandingkan dengan melakukan karantina wilayah, mungkin karena beban dan tanggung jawab pemerintah yang berat dalam UU kekarantinaan kesehatan, akan berdampak pada perekonomian nasional.

Kita pahami terlebih dahulu, darurat sipil adalah keadaan bahaya selain keadaan darurat militer dan keadaan perang, terjadi manakala alat-alat perlengkapan negara dikhawatirkan tidak dapat mengatasi kondisi keamanan, atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau sebagian negara. Sedangkan, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi, sedimikian rupa untuk pencegahan penyebaran penyakit.

Sekilas menilik sejarah, kebijakan darurat nasional ini pernah dilakukan pada masa Soeharto, yang mana diterapkan ke wilayah Aceh, lalu setelah itu presiden Habibie memberlakukan darurat sipil di Aceh berkenaan dengan pemberontakan GAM. Selanjutnya pada tahun 1999 juga diberlakukan darurat militer, di Timor Timur terkait Referendum diwilayah.

Pemerintah sejak saat ini memang belum menentukan sikap dan tidak akan menggunakan kebijakan darurat sipil, untuk mengahadapi pandemi virus Corona, tetapi bisa saja kebijakan itu dilakukan ketika keadaan memburuk.
“Sekarang itu (darurat sipil) tidak untuk menanggapi virus Corona, kecuali jika perkembangan jadi lebih buruk dan menghendaki itu,” kata Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopohukam).

Baca Juga:  Bawaslum dan Panitia Pemilihan, Teknis Baru Sistem Pemilihan Sema Dema-I

Mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 12, dikatakan bahwa presiden berhak menyatakan status keadaan berbahaya atau dengan kata lain darurat nasional. Lalu merujuk kepada undang-undang Nomor 23 tahun 1959, tentang bahaya, dan dalam undang-undang Nomor 24 tahun 2007 disebutkan ada tiga kelompok bencana alam yakni bencana alan, non alam, dan bencana sosial.

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa pandemi global virus Corona termasuk kedalam kelompok bencana non alam. Ketentuan terkait tentang bencana non alam, secara eksplisit diatur dalam pasal 1 undang-undang Nomor 24 tahun 2007, yang mana bencana tersebut diakibatkan oleh penyebaran wabah penyakit.

Adanya kondisi demikian, haruslah diadakan peningkatan status. Kemudian pemerintah memilih menggunakan status keadaan berbahaya, dengan diberlakukannya darurat sipil. Setelah ditetapkan keadaan bahaya dan darurat sipil akibat pandemi, pemerintah segera melakukan rencana strategis untuk mencegah penyebaran virus tersebut.
Upaya untuk mencegah penyebaran virus, maka pemerintah berpedoman pada undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Presiden sudah memberikan pernyataan akan menerapkan (PSBB) dalam menangani pandemi virus Corona.

Jika kondisi semakin memburuk, presiden dapat meningkatkan status menjadi darurat sipil, dan langkah selanjutnya adalah upaya tindakan pencegahan yaitu dengan memutuskan tindakan karantina wilayah, sebagaimana telah diatur dalam undang-undang Karantina Kesehatan. Sesuai dengan undang-undang tersebut, maka pemerintah pusat melibatkan pemerintah daerah, bertanggung jawab terhadap kebutuhan dasar orang dan makan ternak.

(Penulis/Zezen Zainul Ali/AS’17)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *