38°C
16 May 2024
Opini

PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI PARADIGMA PEMBEBASAN (TINJAUAN NORMATIF-FILOSOFIS)

  • Januari 7, 2012
  • 5 min read
  • 34 Views

 
 Oleh: Ahmad Basuki
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Metro
Islam adalah agama universal atau (syumuli)[1]yang menjadi pegangan hidup manusia. Di dalamnya mengandung pranata sosial, politik, ekonomi, budaya maupun pendidikan. Islam juga merupakan sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam bagi struktur yang menindas, sebagaimana yang terekam dalam lintas sejarah diawal kehadiran Islam ditengah-tengah suku Qurays Makkah[2]. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice). [3]
Islam melalui  sumber hukumnya al-Qur’an dan al-Hadits melarang praktek-praktek penindasan dan ketidakadilan. Sebaliknya memberi ruang bagi terciptanya kebebasan kepada manusia, sehingga Islam disebut sebagai agama pembebas kaum mustadh’afin. Baik lemah secara material, pemikiran maupun mentalitas serta kreatifitas.

Di sisi lain, secara faktual umat Islam masih tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain, khususnya dalam pengembangan sumber daya manusia, teknologi, dan kebudayaan. Hal ini dikarenakan pendidikan Islam belum berdaya secara optimal. Pendidikan Islam hanya mencetak muqallid-muqallid baru, kurang kritis, gagap menghadapi perubahan sarta kurang peka terhadap realitas sosialnya. Terjadi kesenjangan antara teks ajaran dengan konteks sosial masyarakat. Praktek-praktek pendidikan yang kurang membebaskan menjadi pemandangan sehari-hari di negara muslim, seperti masih berlangsungnya gaya pendidikan yang cenderung otoriter dan doktriner, siswa hanya dianggap objek pendidikan, struktur politik negara yang hegemonik, dan kurikulum yang kurang memberi ruang kekritisan, dialog, debat dan bentuk-bentuk kecerdasan lainnya, hingga yang paling mengenaskan sekolah sebagai representasi pendidikan justru menjadi alat legitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada (status quo) yang tidak jarang syarat penindasan. Murid menjadi konsumeristik terhadap hal-hal baru tanpa disertai dialog-partisipatorisdengan lingkungan sosio-educationsecara wajar.

Yang ada hanya pemaksaan kehendak, pemasungan kreatifitas yang telah terstruktur sekian lama, murid dianggap seperti botol kosong yang perlu diisi dan lain-lain. Pendidikan yang seperti inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai ”Pendidikan gaya Bank” dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke dalam celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut dikatakan, “konsep pendidikan gaya bank” juga memelihara (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid. Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).[4]
Bahkan di perguruan tinggi sekalipun masih dirasakan pendidikan yang membelenggu sebagaimana diungkapkan  Sudarwan Danim, bahwa tendensi tersebut ditandai antara lain dengan fenomena munculnya prahara akademik dilingkungan institusi pendidikan belakangan ini seperti kekerasan, perkelahian pelajar, dan adanya pelajar atau mahasiswa yang melakukan triping.[5]Selain dari pada itu terjadinya fenomena perjokian dan  praktek plagiatisme dalam penulisan skripsi atau laporan penelitian, bahkan calon ilmuan (mahasiswa) terang-terangan memburuhkan tugas kuliahnya. Masih menurutnya fenomena- fenomena tersebut merupakan simpul kekeringan dimensi manusiawi pendidikan, karena selama ini ia cendrung syarat diformat atas dasar interaksi pendekatan ekonomi, politik dan birokrasi yang melahirkan proses pembelajaran yang mekanistik dan dehumanisasi pendidikan, berupa corak eco paedagogical dictatorship yaitu proses pendidikan yang rijid dan penuh aturan-aturan politik dan birokrasi disatu pihak, dan berporos pada pencetakan tenaga kerja sektor industri secara mekanistik dipihak lain, dengan kurang didasari pada asesmen mendalam terhadap keragaman minat dan keberbakatan peserta didik.[6]
Dilain sisi orientasi pendidikan mestinya tidak sekedar untuk memenuhi pangsa pasar tenaga kerja, tetapi lebih dari itu sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, penanaman nilai-nilai dan pengalaman, pengembangan keterampilan, kebudayaan peserta didik. Dalam pandangan Islam setiap anak manusia yang dilahirkan adalah dalam keadaan fitrah atau membawa fitrah Ilâhiyah (potensi ke-Tuhanan yang hanif), artinya manusia secara natural dibekali potensi kearah condong kepada kebaikan. Dan hanya dengan instrumen pendidikanlah segenap potensi-potensi tersebut diyakini dapat dikembangkan secara utuh dan maksimal, dengan kata lain fungsi dan tujuan pendidikan adalah sebagai upaya  membebaskan fitrah atau potensi manusia secara maksimal, bukan sebaliknya sebagaimana yang jamak kita saksikan dalam dunia pendidikan kekinian, pendidikan justru diarahkan untuk mempola dan menciptakan manusia-manusia mesin dengan tujuan memenuhi  kebutuhan  pasar (Ansich). Pendidikan yang seperti inilah yang menyebabkan dehumanisasi (tidak memanusiakan manusia)dan bahkan sama sekali tidak membebaskan. Dari sinilah pentingnya pendidikan Islam tampil dan ditampilkan sebagai paradigma pembebasan. Oleh karena itu wacana pengembangan sistem pendidikan Islam yang diperlukan saat ini adalah rekonstruksi Pendidikan Islam sebagai sebuah Paradigma Pembebasan, yaitu pendidikan yang mampu menempatkan peserta didik pada posisi sentral (individu yang akan berkembang) dalam setiap perubahan yang terjadi, serta mampu pula mengarahkan seluruh potensi-fitrah tersebut secara utuh dan maksimal tanpa meninggalkan sisi humanistik makna pendidikan, serta juga mampu mengendalikan setiap perubahan tersebut.
Kemampun kita mengartikulasikan pendidikan Islam yang membebaskan dalam konsep yang jelas menjadi keharusan, mengingat Islam bukan agama yang statis melainkan sistem nilai yang dinamis, humanis, dan transformatif. Dari latar belakang berfikir sebagaimana tersebut diatas, maka sangat penting untuk diungkap  élan-vital atas semangat Islam sebagai agama dengan paradigma yang mencerahkan dan membebaskan. Semangat Islam ini lebih urgen lagi jika dilihat dari kacamata pendidikan, karena sebagaimana diketahui pendidikan adalah dasar atau fundamen dan sekaligus muara dari pembentukan kepribadian manusia atau yang dalam istilah Islam disebut dengan insan kamil.

Baca Juga:  Reorentasi Gerakan Mahasiswa

[1] Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, Gaya Media Pratama, Jakarta : 2002 h. 11
[2] Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology Essay on Liberative Elements in Islam,Alih Bahasa, Agung Prihantoro: Islam dan Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1999 h.4
[3]Ibid., h. 33
[4] Al-Fikra: Jurnal Ilmiyah Keislaman, vol.7, No. 2, Juli-Desember, 2008 h.9
[5] Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 h.12
[6]Sudarwan Danim, Loc. cit.                                                                              
Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *