38°C
17 May 2024
Argumen

Profesionalitas Muncul Secara Kondisional

  • September 15, 2017
  • 3 min read
  • 34 Views
Profesionalitas Muncul Secara Kondisional

Memilih profesi guru sebenarnya gampang-gampang susah. Memutuskan menjadi guru atau pendidik kita harus siap dengan konsekuensinya. Meskipun guru sering dilabeli “Pahlawan tanpa tanda jasa,” tapi tak jarang juga guru dipandang sebelah mata. Bisa dikatakan profesi guru kalah bergengsi dengan profesi idaman semacam bidan, dokter, polisi, tentara, atau pramugari. Tak jarang juga seseorang mengambil kuliah di Fakultas Keguruan karena tidak ada pilihan lain. Artinya menjadi guru menjadi opsi terakhir dari berbagai pilihan.

Tapi tidak semua mahasiswa jebolan Fakultas Keguruan menjalani profesi guru. Begitupun sebaliknya seseorang yang tidak kuliah di Fakultas Keguruan malah menjadi guru. Memang tidak relevan, tapi begitulah adanya. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana keprofesionalan mereka? Bekerja tidak sesuai keahlian yang dimiliki? Berbicara keahlian berarti berbicara kompetensi juga. Namun profesionalitas sesungguhnya juga tidak hanya kompetensi yang baik, tidak hanya mencakup kualifikasi sebagai pendidik yang dibutuhkan pada profesi guru, melainkan lebih dari itu. Profesionalitas juga timbul saat keadaan benar-benar membutuhkan, dimana kemampuan pengkondisian situasi dan historical background dari masalah yang dihadapi peserta didik.

Bagaimana jika disorientasi kualifikasi pendidikan bisa menyebabkan kemunduran pendidikan? Ternyata tidak selamanya begitu, karena pengajaran muncul secara alamiah sesuai dengan situasi dan kondisi, metode dan media yang baik. Bisa jadi tenaga kependidikan bukan berasal dari jebolan Fakultas Keguruan, justru dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kompentensi sebagai pendidik tetapi memiliki kemampuan dalam membangun karakter dan kepribadian.  Bahkan sekarangpun perguruan tinggi mengeluarkan dua ijazah saat kelulusan, ijazah utama dan ijazah pendamping. Itu berarti keahlian seseorang tidak hanya dibatasi oleh bidang Fakultas yang ia pilih saat kuliah.

Ketidakprofesionalan tidak hanya dikarenakan kurangnya kompetensi yang dimiliki seorang guru. Melainkan ketidakmampuan guru merespon kebutuhan peserta didik. Menjadi guru memang harus disiplin tetapi peraturan yang ada bisa berubah fleksibel saat situasi mengalami perubahan. Jawaban profesionalitas merupakan jawaban mengenai kesiapan tanggung jawab. Misalnya anda alumni Pendidikan Agama Islam namun ketika terjun disuatu sekolah ternyata bidang studi Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia yang membutuhkan guru tambahan. Maka disitulah seseorang akan mengeksplorasi segala kompetensinya untuk memenuhi kualifikasi guru bidang studi lain.

Baca Juga:  Literasi Mati Suri

Salah satu permasalahan yang cukup pelik dan sering menjadi momok seorang guru adalah beraneka ragamnya karakter peserta didik. Dalam mengajar guru tidak bisa membuat generalisasi karakter peserta didik. Mereka memiliki sifat dan kemampuan yang berbeda-beda, maka disitulah kesiapan guru dalam memberikan apersepsi pada setiap jiwa peserta didik secara merata. Untuk mengenal dan memahami karakter yang beragam itu, guru haruslah paham ilmu psikologi pendidikan. Sebab di dalamnya akan dibahas mengenai keanekaragaman karakter peserta didik dan bagaimana mengatasinya. Di dalam psikologi pendidikan dan perkembangan, guru juga akan diberi pemahamman bahwa sesungguhnya seluruh peserta didik tidak ada yang bodoh. Hanya saja kompetensi mereka yang berbeda, itulah yang sering kita sebut dengan multiple intellenges (kecerdasan majemuk). Diantara mereka ada yang pandai menganalisis, menghitung, berbahasa, olahraga dan seterusnya.

Tetapi kita juga tidak boleh berasumsi bahwa seseorang yang tak pernah mempelajari psikologi pendidikan tidak bisa mengajar. Karena psikologi bukanlah satu-satunya gudang solusi atas persoalan-persoalan yang muncul di dunia pendidikan. Psikologi pendidikan memang penting tetapi hal itu bukanlah bidang yang menyeramkan untuk direalisasikan. Sementara seorang guru juga harus berusaha bagaimana membangun kreativitas belajar. Tidak hanya pengetahuan dan intelektualitas saja.

Penulis: Ririn Erviana

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

1 Comment

  • Semakin berintegrasi sekarang kronika di bawah pimpinan Wahid. Semangat untuk berkarya Wahid dkk.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *