Pendidikan adalah sebuah alat pembebasan atas cara berpikir manusia yang terbelenggu oleh prasangka dan ketidaktahuan sehingga mampu mengkualitaskan kemampuan berpikirnya dalam memahami gejala sosial dan lingkungan sekitarnya (Paulo Freire). Dengan bekal berpikir yang ilmiah dan sistematis, manusia mampu menciptakan peradaban yang luar biasa sejak masa lalu lewat teknologi dan sistem sosial yang menakjubkan.
Secara historis, pendidikan memiliki peran sangat penting dalam menghasilkan perubahan sosial menuju suatu tatanan masyarakat yang lebih maju dari suatu keadaan masyarakat yang dianggap tidak berkeadilan, mengenyampingkan kemanusiaan, dan perampasan hak masyarakat oleh penguasa. Pendidikan selalu melahirkan seorang pemikir dan penggerak perubahan yang menjadi tonggak perubahan zaman.
Jauh sebelum zaman kemerdekaan Indonesia, masyarakat masih terkungkung oleh pandangan gelap tentang haknya dengan menganggap bahwa mereka dilahirkan dengan takdir menjadi masyarakat kelas rendah yang senantiasa pasrah terhadap segala bentuk kebijakan yang menindas (Tanam Paksa, Kerja Rodi, Culturel Steelsel). Keinginan untuk mempertahankan haknya selalu terbentur oleh sistem hukum yang dibuat sedemikian rupa oleh penguasa untuk menundukan perlawanan rakyat sehingga tetap patuh. Kalaupun ada kehendak untuk berpikir “merdeka” akan selalu bertarung sengit dengan ketakutan atas ancaman pemiskinan, cap “pembangkang”, “pengacau”, dan berbagai sentimen yang disematkan sehingga memunculkan pewajaran atas situasi yang tidak berkeadilan tersebut.
Kebijakan “trias politica” yang dilahirkan oleh parlemen belanda tentang memberikan 3 hak dasar masyarakat Indonesia (Transmigrasi, Irigasi, Edukasi,. red) dengan tujuan dasar memperbaiki infrastruktur dan kualitas tenaga kerja (buruh paksa,. red) Indonesia sehingga dapat lebih meningkatkan keuntungan bagi penjajah dalam mengeksploitasi alam dan tenaga masyarakat.
Transmigrasi sebagai program perpindahan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk seperti Jawa ke daerah yang jarang penduduknya seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Papua adalah skema untuk mengisi pos tenaga kerja di sektor perkebunan di daerah yang membutuhkan tenaga kerja. Irigasi menjadi suatu proyek skala besar yang penting untuk menunjang program transmigrasi dengan tujuan mengelola perkebunan dan pertanian yang laku dipasaran Eropa. Kedua program tersebut di tunjang oleh program pendidikan yang hanya sebatas skill bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan, golongan bangsawan/priyayi yang patuh terhadap penjajah diajarkan untuk berhitung, membaca, dan tenaga kesehatan agar dapat mengobati penyakit menular kolera yang menjangkit masyarakat saat itu.
Program memberikan pendidikan bagi rakyat Indonesia ternyata menjadikan beberapa intelektual Indonesia melek huruf dan membaca berbagai referensi bacaan sehingga memiliki wawasan yang luas dan nalar kritis yang tajam, intelektual seperti Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Tjipto Mangkunsumo dan hampir seluruh pelajar Indonesia saat itu merupakan tokoh pencetus awal menggagas “kemerdekaan” bagi rakyat Indonesia yang saat itu bahkan tidak berani di impikan oleh semua masyarakat.
Menjadi seorang intelektual memiliki konsekuensi logis yaitu amanah untuk mencerdaskan diri dan lingkungan sekitar. Menjadi seorang intelektual bukanlah berlomba menempa kemapanan dan kenyamanan, apalagi kekuasaan semu.
Kekuasaan pada era sekarang merupakan sesuatu yang sangat dicari oleh beberapa pihak. Kenyamanan yang didapat, akses yang mudah, dihargai banyak orang itu semua merupakan buah dari kekuasaan yang diincar. Padahal sejatinya kekuasaan adalah amanah agar mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua orang yang dipimpin agar dapat memiliki prinsip berkeadilan.
Berbicara soal kekuasaan tak lepas dari proses seorang menuju kekuasaan tersebut dan motif dasar kenapa dia ingin berkuasa. Lalu apa konsep dan gagasan yang ingin dibangun ketika berkuasa. Kekuasaan sama halnya dengan memimpin yaitu suatu keterikatan yang absolut seseorang berkuasa berarti orang tersebut siap memimpin begitu pun sebaliknya yang mana seorang pemimpin harus mempunyai beberapa sifat salah satunya adil. Termaktub dalam Al Qur’an “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi kerana Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerana ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 135).
Kekuasaan adalah amanah yang sangat berat dan akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT karena diminta untuk memelihara amanah sebagaimana yang termuat dalam Al Qur’an : “Dan Orang-orang yang memlihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (QS. Al-Mu’minun Ayat 8).
Melihat realitas hari ini, intelektual, kekuasaan, dan makna keadilan sedikit berubah menjadi sesuatu tujuan yaitu mendahulukan kepentingan individu dan kelompok. Intelektual tidak lagi menjadi alat untuk berpikir ilmiah untuk membongkar realitas dan merubah suatu keadaaan menjadi lebih baik. Intelektual cenderung konservatif dan mempertahankan eksistensi kelompok sehingga berimbas pada perebutan kekuasaan yang cenderung tidak amanah ketika intelektual tidak memainkan peran ilmiahnya. Intelektual justru berubah menjadi kelompok yang menyembunyikan kebenaran dengan pengetahuannya bahkan memanipulasi kebohongan sebagai kebenaran absolut.
Makna Keadilan yang kita pahami itu adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan sesuai porsi sudah berubah fungsi seolah adil itu hanya milik beberapa kaum mengatasnamakan kemaslahatan. Hanya sebuah kedok fungsional semata namun dalam praktek berbanding terbalik, semua sudah diatur semua sudah direncanakan dengan sebaik-baiknya. Pertanyaannya adalah semua itu untuk siapa? Apakah benar sebaik-baiknya? Jika tidak efektif apakah boleh diubah? Kemudian bagaimana solusinya. Kembali lagi kepada makna intelektual dan amanah sudahkah dijalankan dengan benar, suatu kebijakan yang baik itu diserap dari bawah maka akan tau kemaslahatan apa yang akan terbentuk dan terjamin efektif dalam penerapanya, namun yang terjadi saat ini, intelektual, amanah, dan kekuasaan tidak pada tempatnya.
Suatu kebijakan yang ada akan memunculkan para pengkritik apalagi sampai kebijakan cacat yang terbentuk. Kritik bisa dalam lisan, tulisan, maupun seni. Apakah salah mengkritik, tentu munculnya suatu kritikan yang akibat adanya celah kekurangan, tujuannya adalah membuka mata seorang pemimpin bagaimana caranya menutup celah itu melalui kritikan yang diusung tetapi ternyata suatu bentuk kritik justru dianggap sebagai hambatan. Bagaimana bisa seorang pemimpin atau seseorang yang memiliki jabatan berpikiran demikian bahkan untuk menghindari kritik dibuat lagi kebijakan secara tidak langsung yang menutup ruang kritik maupun pendapat atau melakukan gerakan tambahan dengan membuat kebijakan diatas normal, tersembunyi, tak dapat diakses, tak adanya transparansi, yang ada didalam situ hanya tikus-tikus rakus pengisap kayu manis. Bagaimana tidak cacat suatu birokrasi yang terbilang sangat ketat dikuasai pihak-pihak berpemikiran demikian, yang mana ruang demokrasi akan tertutup, titip program sudah biasa, jabatan hanyalah jembatan bagi suatu sekte untuk memajukan dirinya dan apa-apa yang sudah terbentuk dalam lingkupnya itu.
Demikianlah adil, hanya berlaku bagi sekte pembuat. Teruntuk pengkritik hanya dianggap sekte pembangkang.
(Penulis/Habibi Kusuma Atmaja/KPI’19)
1 Comment
[…] juga lepas dari realitias sosial. Hari ini perubahan sosial berjalan cepat, sehingga diperlukan respon atas perubahan. Manusia […]