Kronika

Profil

Teguh dan sabar Menjalani Hidup

  • Juni 11, 2012
  • 4 min read
  • 115 Views
Teguh dan sabar Menjalani Hidup

Oleh: Kalimatuys, Ian

Siang hari dengan ditemani terik Matahari, Kronika menemui sosok wanita usia lanjut yang dari keadaan cukup memprihatinkan. Siti Miyanah merupakan seorang nenek yang kesehariannya berdagang sayuran, jambu biji, gaplek dan gori (nangka muda) dengan bakul yang dipikul di punggungnya. Tak seperti padagang lain pada umumnya, wanita renta yang sering disebut mbah Siti ini berdagang dari tempat kediamannya Rt.1 Rw.1 desa Polos 39 kecamatan Batanghari sampai dengan pasar Metro dengan berjalan kaki. Perjalanan setiap harinya jika menuju kota Metro pun harus menempuh tiga jam lamanya. Waktu tempuh itu diulang kembali jika akan hendak pulang. Sehingga setiap hari Siti harus berjuang melawan lelah untuk tetap teguh dalam menjalani hidup.
Dalam berdagang sering kali Siti Miyanah berdagang mulai berangkat pukul 08.00 dan pulang sampai di rumahnya pukul 16.00. Sedangkan barang dagangannya merupakan bukan hasil milik kebunnya, melainkan barang titipan dari tetangganya yang ingin dijualkan oleh Siti. Sehingga hasil yang diperoleh setiap harinya selalu pas-pasan hanya untuk makan. “Si mbah hanya menjualkannya saja nanti, kalau sudah pulang diserahkan uangnya dan diberi upah sedikit karena bukan hasil barang dagangan sendiri. Selalu berangkat dengan berjalan kaki tidak pernah naik sepeda, Alhamdullilah tidak ada kendala, karena mau bagaimana lagi,” tuturnya dengan bahasa Jawa halus.
Terkadang terlihat sosok Siti Miyanah selain sayuran terkadang ia juga membawa karung yang berisi beras untuk dijual. Tidak bisa dibayangkan diusia yang seharusnya masa istirahat Siti harus terus memikul beban berat untuk mencari sesuap nasi. Kehidupan yang tak mencukupi kehidupannya membuat Siti Miyanah harus terus berjuang mencari rejeki dengan jalan yang halal.
Siti juga mengatakan tidak ingin membuka warung di rumahnya karena sudah banyak warung. Jadi menurutnya ditakutkan ada persaingan sehingga Siti lebih memilih berjualan di tempat lain. “Alhamdullilah langganan mbah jauh-jauh mungkin sudah rejekinya seperti itu,” katanya. Tapi, terkadang dari cerita Siti, banyak pembeli yang menawar dan menghutang dagangannya dan bahkan ada yang sampai tidak membayar hutang. Siti terus berteguh hati menjalani hidup ini dengan tak henti-hentinya dalam berusaha walaupun hidup dengan keadaan keterbatasan.
Bukan hanya itu, wanita yang sudah berusia 60 tahun ini harus menerima derita lain, yakni penyakit yang belum diketahui yang muncul disekujur tubuhnya. Sekilas diperhatikan penyakit Siti seperti kutil besar yang menyelimutinya dan jika dipandang tak luput muncul rasa iba. Dalam kesulitan kehidupannya dan derita penyakit yang diidap sudah ada sejak kecil tersebut. Di masyarakat sekitarnya juga hingga memanggil Siti Miyanah ini dengan sebutan mbah Siti prentol. Tapi, julukan dari masyarakat tersebut tetap dimaklumi Siti karena ia melihat keadaan fisiknya yang ditumbuhi benjolan-benjolan. Tak sedikit pula bonjolannya ada yang berukuran besar seperti tumor di kaki dan dahinya. Keinginan untuk sembuh dari penyakit yang diderintanya selalu ada pada diri Siti Miyanah. Namun, karena keterbatasan biaya sehingga tak mampu mengobati penyakit yang membuat dirinya harus selalu sabar dan pasrah akan keadaan.
Dengan tidak putus harapan, Siti Miyanah yang lahir di Jawa Tengah ini sudah hidup mandiri dengan berjualan jagung dan beras sejak usia 12. Saat itu Siti putus sekolah dikarenakan keterbatasan biaya sehingga bersekolah pun harus bergantian dengan adik-adiknya. Singkat cerita dahulu Siti Miyanah menikah pada tahun 1970-an tepatnya ketika Siti Miyanah berumur 18 tahun dengan Musri akhirnya dikaruniai tujuh orang anak. Saat ini sudah berkeluarga semua. Namun diceritakan Siti, anak-anak dan cucunya jarang sekali berkumpul karena jauh dari lokasi tempat tinggalnya.
Sehingga dalam memenuhi kebutuhan Siti Miyanah harus berjuang keras karena suaminya Musri sudah tidak mampu lagi bekerja karena usia yang sudah sangat tua yakni berumur 82 tahun. Saat ini Siti Miyanah tinggal satu atap dengan anak perempuannya namun yang pekerjaannya sebagai petani dengan sawah sewa, dan gaduh sapi (memelihara sapi milik orang lain) belum mampu memberikan kesejahteraan dan membantu banyak untuk Siti dan Musri. Dan saat Kronika menengok tempat tinggalnya, ruang tamu yang ada di rumah sederhana milik anaknya tersebut tidak terlihat barang mewah seperti rumah-rumah lainnya yang dipenuhi perabotan dan hiasan. Tapi, saat itu hanya ada kursi plastik dan meja kayu dengan lebar 1×3 meter dengan setinggi pinggang seperti meja makan yang dapat dilihat. Sangat sederhana, kata itu yang cukup diucapkan.
Dari kisah nyata kehidupan Siti Miyanah di atas, dapat kita ambil hikmahnya bahwa masih banyak orang yang sulit menjalani hidup namun tetap teguh dan bersyukur atas pemberian Allah Swt. Maka sepatutnya seseorang yang masih memiliki tubuh dan fisik yang kuat serta sehat untuk terus semangat dan tak mudah putus asa jika berusaha. Perjuangan hidup dari seorang nenek tua yang mempunyai semangat gigih dan tanpa mengeluh walaupun banyak keterbatasan menjadi sebuah cerminan para kaum muda dalam menuntut ilmu dan semangat berusaha meraih cita-cita dan kesuksesan dunia akherat.[]

Bagikan ini:
Baca Juga:  Majalah Kronika Edisi 32
About Author

Redaksi Kronika

Kronika kini menjadi media mahasiswa yang telah memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam menyajikan informasi, analisis, dan opini mengenai berbagai isu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *