38°C
16 April 2024
Mahasiswa Opini

“UU pornografi VS Eksistensi seni budaya”

  • Oktober 21, 2010
  • 6 min read
  • 564 Views
Oleh : Ainun Ni’mah
Mahasiswa PBI, Semester V
Masih terasa segar di ingatan kita betapa Indonesia sempat diguncang oleh ramainya pro dan kontra terhadap RUU (Rancangan Undang-undang) anti Pornografi dan porno aksi di awal tahun 2007 hingga sampai di sah-kanya di penghujung tahun 2008. Pro dan kontra masyarakat terus bermunculan baik secara vertikal maupun horizontal. Namun yang nampak paling menarik pada kasus ini adalah kritikan-kritikan pedas yang banyak di hujankan oleh masyarakat kontra UU pornografi terhadap pemerintah yang dinilai tidak demokratis dalam menetapkan Undang-undang. Mereka menilai bahwa UU pornografi melanggar HAM dan mendeskriminasi suatu kolompok, bahkan mengkerdilkan kreatifitas anak bangsa terutama dalam hal seni dan budaya yang sangat dominan dengan hal-hal yang berbau ponografi. 

Sepintas memang kontra yang dilontarkan dari berbagai pihak terutama mereka para pecinta seni budaya sangat masuk akal. Karena secara tidak langsung seni kebudayaan Indonesia yang beragam inilah yang telah membesarkan dan mengharumkan nama bangsa di kancah dunia. Dimana bangsa Indonesia tersohor sebagai bangsa yang kaya akan kemajemukan budaya yang hampir tidak dimiliki oleh bangsa lain. Bahkan hampir di setiap pulau di Indonesia menjadi objek wisata para wisatawan domestik yang tertarik untuk menyaksikan secara langsung khazanah kebudayaan Indonesia. Disamping mengukir kebanggaan bagi bangsa kita atas kunjungan mereka. Keragaman seni dan budaya juga mendatangkan vinansial bagi perekonomian bangsa.
Namun jika dikaji lagi, begitu banyak memang budaya warisan para pendahulu yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan agama. Seperti tarian-tarian yang mayoritas menuntut penarinya membuka anggota tubuh yang tidak layak dilihat, juga gerakan-gerakan badaniyah yang terlalu eksotik dan vulgar sehingga cenderung mengacu pada praktek pornoaksi. Namun disadari atau tidak, bahwa jauh sebelum islam masuk ke Indonesia dan lalu menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Negeri ini telah jauh lebih dulu dihuni oleh masyarakat Hindu-Budha yang memang tidak menganggap vulgarisme dan eksotisme sebagai sesuatu yang menyimmpang dari norma agama. Oleh karena kultur ini, maka wajar jika meski Indonesia dikenal sebagai negara dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia namun memiliki keragaman seni budaya yang mmenyimpang dengan norma Islam itu sendiri. Yang perlu diingat adalah bahwa islam yang masuk ke Indonesia bukan Islam yang membangun Indonesia.
Dengan keseluruhan kuantitas penduduk yang mencapai 220 juta jiwa, Indonesia adalah Negara dengan penduduk terbesar ke-empat setelah China, India dan Amerika Serikat. Dan jika di lihat dari kuntitas umat islam yang mencapai kisaran 85% berarti Indonesia memang layak dikatakan Negara dengan umat muslim terbesar didunia. Maka adalah sebuah keniscayaan jika norma-norma kesusilaan dalam kacamata islam turut diunduh oleh pemerintah dalam merancang dan membuat undang-undang demi kesejahteraan bangsa. 
Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi disingkat RUU APP, kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi dan pornoaksi pada awalnya). Setelah melalui proses sidang yang panjang, Kamis siang, akhirnya RUU Pornografi disahkan. RUU tersebut disahkan minus dua Fraksi yang sebelumnya menyatakan walk out, yakni Fraksi PDS dan Fraksi PDI-P. UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.
Jika dihitung hampir dua tahun sudah Undang-undang pornografi disahkan oleh para pemegang wewenang pengesahan RUU, namun jika kita menengok pada realitas yang ada, agaknya sampai sekarang pemerintah sendiri belum sepenuhnya membuktikan komitmennya terhadap undang-undang yang telah disahkan.
Terbukti dengan semakin maraknya pornografi dan pornoaksi yang seolah bisa dengan leluasa menerobos setiap penjuru negeri yang katanya berbudi ini. Sebagai sampel ketidak-seriusan pemerintah dalam menangani kasus pornografi dan pornoaksi kita dapat melihat dibeberapa media yang ada, seperti media elektronik dan media cetak. Pornografi dan porno aksi masih sering kita jumpai dengan mudahnya. Bahkan nyaris tidak ada tindakan tegas dari pihak pemerintah terhadap tayangan-tayangan televisi yang memuat esensi pornografi dan pornoaksi seperti film, sinetron, FTV, acara-acara musik dan lain sebagianya.
Secara tekhnis agaknya semua komponen masyarakat mengakui bahwa penerapan undang-undang pornografi memang seringkali terhambat oleh banyak hal. Diantaranya adalah, kultur masyarakat Indonesia yang dikenal liberal dan majemuk sehingga batasan norma disatu daerah bisa saja berbeda dengan daerah lain. Selain itu, esensi norma seringkali berbenturan dengan eksistensi tradisi dan seni budaya yang memang merupakan khazanah bangsa yang perlu dilestarikan. 
Dan juga sulitnya menentukan batasan-batasan dimana seseorang pada kasus tertentu (brafi dan berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi) bisa dijerat pasal pornografi. Misal pada ketentuan umum UU pornografi pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:
”Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar,sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/ melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.”
Pada satu kasus misal seseorang melakukan tindak pornografi berupa tarian eksotik, maka secara otomatis orang tersebut seharusnya terjerat UU pornografi, namun sebelum menjeratnya pada kasus pelanggaran undang-undang hendaknya oknum hukum harus lebih dulu mengukur seberapa eksotik gerakan yang dilakukan si pelaku hingga pantas dijerat pasal pornografi? dan pada batasan yang mana saja gerak tubuh seseorang dinilai eksotik dan mengundang hasrat seksual? Toh pada realitasnya tidak semua penikmat seni tari memandang tarian sebagai sesuatu yang mengundang hasrat seksual! 
Menilik dari berbagai abstraksi batasan yang tersirat dalam draft UU pornografi, agaknya memang sangat sulit mengimplementasikan UU pornografi secara eksplisit dan menyeluruh. Namun apapun alasanya, pemerintah haruslah menunjukan kesriusan dalam menjalankan wewenagnya mengatur Negara melalui undang-undang yang telah disetujui dan disahkan, terlepas dari adanya pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Dan menaggapi perihal pro dan kontra atas diberlakukanya undang-undang pornogirafi dikalangan masyarakat baik secara garis vertikal maupun horizontal, agaknya ke depan umat islam Indonesia harus lebih dewasa dan realistis. Indonesia memang Negara dengan umat muslim terbesar di dunia, namun kita juga harus roleran terhadap kultur dan tradisi umat lain. Bersatu dan bersaudara memang wajib, tetapi bukan berarti bahwa seluruh umat harus ditanggalkan dalam satu wadah yang sama dengan aturan yang sama, paham keagamaan dan keyakinan yang tunggal. Perbedaan kepercayaan dan tafsir agama pada kenyataanya tidak bisa dihindarkan. Ambisi untuk menyatukan semua paradigma dalam satu wadah secara formal pada kenyataanya hanyalah wujud refleksi terhadap nafsu hegemonik yang tersimpan untuk mendominasi diri sembari menafikkan orang lain. seperti lazimnya anak manusia, bahwa daripada tinggal satu rumah namun hidup dengan saling konflik, maka lebih baik tinggal dirumah masing-masing namun hidup saling rukun dan damai.
Dengan segala perenungan ini maka salah satu tugas kita sebagai generasi muda islam Indonesia adalah bagimana kita mampu “mengislamkan budaya dan membudayakan islam”, sehingga tercipta islam yang berbudaya dan budaya yang islami.
Bagikan ini:
Baca Juga:  Komisi II Sema-I, Sosialisasi Pedoman Perpustakaan dan Kotak Aspirasi Mahasiswa
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *