38°C
29 March 2024
Daerah Pariwisata

Goa Wara, Wisata Alam Yang Terpendam

  • Oktober 21, 2010
  • 5 min read
Beriring terik mentari yang tak seperti biasanya. Selepas pulang kuliah kuayunkan langkahku bersama Uun triwahyudi dari ma’had Darussalam untuk mengadakan perjalanan wisata. Kami telusuri jalanan tanah dari stadion Tejosari menuju goa yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat sekitar. Jalanan yang landai dan becek ketika hujan itulah yang membuat kami memutuskan untuk berjalan kaki. Khawatir akan susah mengendalikan jika masuk menggunakan sepeda motor. Namun perjalanan semakin indah dengan hamparan sawah yang menghijau. Ditambah lagi dengan bukit bukit kecil yang ditanami pepohonan sehingga terasa sejuk dipandang mata.

Setelah berjalan kurang lebih 20 menit, sampailah kami dimulut goa pada pukul 14.35. Sambil bercengkrama dengan Uun (sapaan akrab temanku) kucoba menyusuri goa tersebut yang terbentuk seperti batu cadas. Jika dilihat dari jauh tak begitu jelas kalau itu adalah goa, karena posisinya yang berada di tepi sawah dan dekat dengan sungai. Serta di bagian atas goa terdapat sawah sehingga air dari atas masih menetes. Selain itu, lantai goa masih tergenang air. Hal ini karena posisinya yang lebih rendah dari mulut goa dan tidak di buat jalur khusus untuk mengalirkan air.
Terlihat ada jejak-jejak manusia ketika kami hendak memasuki goa tersebut. Didalam menelusuri goa, tidaklah semudah yang kami bayangkan. Karena kami harus menggulung celana setinggi lutut agar tidak basah. Selain itu juga kami harus menundukkan kepala agar tidak terbentur dinding goa. Untuk menuju kepusat goa harus melewati mulut goa yang lebih pendek dari ukuran tinggi badan kami. Tampak kelelawar beterbangan setelah kami sampai didalam. Sesampainya didalam suasana sangat gelap yang mengharuskan kami untuk menyalakan senter HP (handphone).
Goa Wara berbeda dengan goa-goa lainnya. Biasanya di goa terdapat stalagtit atau stalagmit, karena umumnya terbentuk pada batuan kapur. Namun di goa wara ini berdasar pada tanah berpasir (cadas) sehingga tidak ada terbentuk stalagtit atau stalagmit.
Usai kami menyusuri goa berjarak sekitar delapan meter tersebut kami keluar setelah berdiam didalamnya selama kurang lebih 15 menit. Ada perasaan yang tidak karuan ketika didalam goa, khawatir jika runtuh, namun senang juga karena telah memasuki tempat yang masih penuh misteri itu. Selanjutnya kami menikmati pemandangan hamparan sawah yang berusia satu bulan dari masa tanam.
Sambil menikmati pemandangan yang ada, perjalanan kami bergeser sekitar 50 meter dari lokasi goa. Di tempat baru ini, kami temukan air terjun yang indah, meskipun hanya setinggi 2,5 meter, dan kondisinya kurang terawat namun mampu mengobati keletihan kami sepanjang perjalanan. Usai menikmati air terjun, kami lanjutkan menyusuri sungai 24 (begitu orang biasa menyebutnya) dan berjarak sekitar 100 meter dari lokasi air terjun tepatnya telah masuk daerah lampung timur, terlihat ada tempat yang agak aneh yang berada disebelah timur sungai. Kamipun mendekati tempat tersebut, ternyata kami temukan sebuah gua yang lain. Namun jauh lebih tidak terawat karena sampai terlihat tertutup semak.
Setelah menikmati beberapa saat kami bertemu dengan seorang laki-laki yang usianya sudah terlihat tua sedang mencari rumput untuk binatang ternaknya, Nasib Nasrudin begitu dia memperkenalkan dirinya. Setelah berbasa-basi sejenak, kami tanya mengenai keadaan goa tersebut, dan beliaupun bercerita dari nama sampai kondisi satu dasawarsa yang lalu.
Dia menceritakan bahwa gua yang berada di sebelah selatan adalah gua macan, dinamakan demikian karena dahulu merupakan tempat bersarang seekor macan. Namun ada juga masyarakat yang menamakannya dengan nama goa sireng seperti yang di ungkapkan oleh Ngadimin warga bedeng 26 yang kebetulan juga sedang mencari rumput untuk ternaknya. Sedangkan goa yang berada disebelah utara adalah goa wara yang artinya adalah seekor badak karena dahulu goa ini merupakan tempat badak bersarang.
Nasrudin, ayah dari tujuh bersaudara ini bercerita ketika dia baru masuk ke Bedeng 45. Tahun 1952 melalui jalur transmigrasi, daerah tersebut masih merupakan hutan belantara. Sehingga binatang masih banyak berada di daerah tersebut, dan sawah pada saat itu belum di cetak karena masih dipenuhi oleh semak belukar.
Setelah hutan didaerah tersebut oleh petani mulai di garap sebagai tempat bercocok tanam, hewan-hewan penghuni hutan tersebut mulai menjauh dari pemukiman penduduk. Terutama hewan yang bersarang di goa mulai jarang terlihat. Terlebih setelah daerah tersebut di jadikan persawahan sekitar tahun 80-an, yang tersisa hanyalah binatang melata yang masih menghuni tempat tersebut diantaranya ular, biawak, dan juga sesekali musang. Bahkan ketika dipasang kolo (jerat, red) oleh masyarakat setempat, sempat tertangkap seekor sawer (ular piton) sepanjang 4 meter. Dan beberapa kali sering terlihat pula dengan ukuran yang lebih kecil. Selain itu ada juga beberapa nyambek (biawak).
Dua goa yang merupakan tempat alami tersebut di era tahun 90-an merupakan daerah tujuan wisata bagi masyarakat lampung tengah, lampung timur dan daerah lain. “Di masa itu, goa ini merupakan salah satu dari tempat mengais rejeki dengan merawat dan juga menyediakan tempat parkir”, ujar sesepuh desa Adi Warno tersebut. Masih menurutnya, jika pengelolaan goa betul-betul baik maka hasilnya pun akan sangat memuaskan.
Berkaitan dengan hal itu, warga transmigran dari jawa ini menceritakan bahwa pemerintah juga sudah mencoba memfasilitasi dengan menyediakan lahan untuk dibuat jalan dari Bedeng 45 kalau itu dari daerah Lampung Timur, dan juga dari gardu induk Saluran Udara Tegangan Tinggi (Sutet) 24 untuk dari daerah Lampung Tengah yang sekarang masuk ke kecamatan Metro Timur. Hal demikian terjadi karena dua goa tersebut berada di daerah perbatasan, goa wara berada di Lampung Tengah kini masuk kota Metro, dan goa macan atau goa sireng berada di kabupaten Lampung Timur.
Niat pemerintah memajukan pariwisata tersebut ternyata berhenti ditengah jalan. Awal tahun 2000 yang merawatpun sudah enggan. Karena pengunjung yang tidak menetap. Sehingga hari ini goa tersebut berada pada kondisi yang memprihatinkan. Yang dahulu tidak tergenang air kini dipenuhi air, tertutup semak belukar, dan juga tertutup pepohonan. Selain itu, Nasib mengatakan jika tidak terawat maka dikhawatirkan akan mengakibatkan ambrol (runtuh). Karena selalu tergenang air. Padahal jika dirawat dan airnya dialirkan akan terlihat indah dan juga akan menjadi objek wisata alam yang sangat menawan di kota pendidikan ini. Sebagaimana pula disampaikan oleh Wakid dan Parno warga tejosari 24 polos.[]
Oleh : Sugiyanto
Bagikan ini:
Baca Juga:  Sejumlah 544 Mahasiswa Akan di Wisuda pada Selasa Mendatang
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *