38°C
26 April 2024
Cerpen

Aku Bukan Tulang Rusukmu

  • Februari 9, 2017
  • 9 min read
  • 32 Views

 

Aku terdiam menatapi air hujan yang berpendar  indah di wajah rumahku.  Berusaha menghilangkan kebosanan yang merangkulku dua tahun ini.  Menemukan sekelumit kesibukan adalah hal paling sulit untukku. Itulah sebabnya aku sulit mencari kerja. Cacian dan makian sudah hampir kenyang aku melahapnya setiap hari. Tetangga dan beberapa keluarga tak sungkan untuk mengejekku yang masih mengandalkan jasa orang tua untuk sekedar makan. Ya, aku memang  Sarjana S1 Pendidikan Bahasa Jepang dari Universitas  Kehidupan, Kota Damai. Kota yang sempat menjadi tempat singgahku selama lima tahun. Kota yang menyimpan banyak sejarah dan tangisan. Kota yang menjadi saksi pertama kali jatuhnya hatiku dengan seorang laki-laki.

Satu minggu yang lalu, Mas Ikhwan, sahabat SMA ku menawarkan pekerjaan untukku. Yaitu menjadi seorang karyawan di salah satu supermarket di kota Metro. Seperti sedang merangkai cinta. Sulit untukku mengungkapkan kegembiraanku mendengar kabar ini. Tanganku bergetar saat mengisi blangko pendaftaran. Sedang Mas Ikhwan masih dengan setia menemaniku.

“Izzah?”

“Ya,Mas. Kenapa?” jawabku mengeriyitkan dahi melihat wajah Mas Ikhwan.

“Apa kamu siap bekerja di sini? Seneng nggak?” tanyanya mencurigakan.

“Memangnya kenapa? Kan Mas Ikhwan yang nawarin ini ke Izzah?”

“Maas! Lihat ini! Astaghfirullah Mas, kenapa kok jadinya begini?” Aku terkejut melihat syarat-syarat yang terpampang di lembar blangko berikutnya. “Itulah kenapa Mas tanya seperti itu. Maafkan, Mas. Sebelumnya Mas ndak pernah tau kalo ternyata ada syarat begini Zah!” Mas Ikhwan menjelaskan dengan seksama. Bak helai-helai daun yang terbengkalai saat angin menggugurkannya dari ranting. Tubuhku merengkuh lesu. Bibir ini memutih seketika.

“Mas? Bagaimana menurutmu?” tanyaku meyakinkan lagi.

“Seperti namamu Izzah, “Izzah” itu artinya kemuliaan, harga diri.” jawab Mas Ikhwan menatapku erat-erat. Otakku kembali berfikir keras. Menimbang-nimbang mana yang akan menjadi keputusanku. Aku tahu, ini adalah pilihan yang amat berat dan berisiko. Aku takut Tuhanku murka denganku. Namun aku juga takut mereka akan dengan gilanya memakiku karena aku sebatas wanita pengangguran. Tidak seperti Angel, Sekretaris di kantornya. Seperti Vecy, guru Bahasa Indonesia di SMA favorit. Betty, seorang gadis lulusan SMP yang kini sudah menjadi pengusaha. Sedangkan aku? Argh..! Rasanya ini adalah kesempatan emas yang tak boleh ku sia-siakan.

“Mas? Tapi nggak mungkin aku melepaskan pekerjaan ini begitu saja! Apa kata tentangga kalo Sarjana S1 hanya menjadi seorang pengangguran?” kataku melotot ke arah Mas Ikhwan.

“ Lalu, apa kamu tau apa nanti kata Allah?” Mas Ikhwan lagi-lagi menyangkal pendapatku.

“Tapi, Mas?”

“Zah, sudahlah mundur saja. Masih banyak pekerjaan lain yang tidak menggunakan syarat-syarat seperti ini!” katanya sambil membalikkan badan. Entah setan apa yang berhasil mengusikku. Menumbangkan komitmenku sebagai seorang muslimah. Aku tetap saja kekeh untuk bekerja di supermarket ini. Aku muak dengan hinaan tetangga yang memekikkan telingaku. Selembar kertas berisi tentang surat pernyataan  aku tatap dengan penuh kesungguhan dan kemantapan diri, tanganku memaksa untuk menarikan coretan pena di surat pernyataan tersebut. Ya. Aku harus menandatanganinya. Dengan sigap kuraih pena bertinta hitam. “Please, Zah!!!” tangan Mas Ikhwan menahan jari-jemariku. “Mas? Kenapa Mas melarangku? Apa selama ini Mas membiayai kehidupanku? Memberiku makan? Ha..?” bentakku sedikit tegas dihadapan Mas Ikhwan. Beberapa pasang mata sempat memperhatikan percakapan kami berdua. “Baik! Mas akan menikahimu! Mas akan membiayai seluruh kehidupanmu, Insyaa Allah. Asal Izzah jangan bekerja di tempat ini!” ucap Mas Ikhwan sambil menatapku sungguh-sungguh. Air mataku jatuh  berdebam membasahi pipiku, sungguh ini adalah hal yang sangat mengejutkan. Aku diam seketika, tak berani berkata apa pun. Pernyataan Mas Ikhwan masih meresap dalam pikiranku, memangkas syaraf-syaraf kewarasan. Sungguh! Aku seperti gila!

Baca Juga:  Ku Percayakan Hati Pada Sang Ilahi

“Ikut  Mas  pergi dari sini!” Mas Ikhwan menggamit tanganku.

“Berhenti! Lepasin tangan Izzah! Mas nggak berhak untuk melarangku!” sangkalku.

“Apa perkataan Mas kurang jelas Zah? Mas akan menikahimu Zah! Mas akan menjamin semuanya, Insyaa Allah!”

“ Menikah tidak mungkin secepat ini Mas. Dengan menikah pun apa bisa menghanguskan bibir tetangga-tetangga yang senantiasa mengejekku? Justru mereka malah akan semakin mengejekku karena aku hanya ibu rumah tangga yang tak punya pekerjaan!”  Aku nyerocos tak karuan. Mas Ikhwan tampak lelah membujukku untuk tidak bekerja disini. Mukanya merah masam seperti naik pitam. Matanya sedikit melotot sambil berbalik arah dia meninggalkanku, membiarkan gadis yang keras kepala ini tetap bekerja disini. Mas Ikhwan melaju begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun. “Mas Ikhwan?” Aku kembali memanggilnya. Mas Ikhwan hanya menoleh tanpa menjawabnya. “Mas tak membenciku kan?” tanyaku sedikit berteriak. Lagi-lagi, Mas Ikhwan hanya menggelengkan kepalanya dan terus berjalan tanpa menoleh ke arahku lagi.

*****

Hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun silih berganti.  Semenjak aku memutuskan untuk bekerja di tempat ini. Mas Ikhwan kini hanya titik di kejauhan. Ia bahkan tak pernah menghubungiku lagi. Hanya gugusan bintang yang setia menemaniku . Air mataku selalu berderai-derai kala mengingat kisah kasih bersama Mas Ikhwan. Namun di sisi lain, Ayah dan Ibuku justru nampak kegirangan dengan profesiku saat ini. Mulut-mulut tetangga yang mulai bungkam untuk menyenandungkan makian kepadaku. Meski masih ada beberapa diantara mereka yang dengan bangga tetap mencari bilik-bilik kesalahan terhadap diriku. Memang semenjak bekerja di tempat ini aku memutuskan untuk menanggalkan hijab yang sudah melekat di kepalaku bertahun-tahun. Baju-baju gamis lebar, hijab tebal nan memanjang kini sudah ku museumkan di lemari. Kaos kaki bermotif warna warni, juga lengkap dengan macam-macam bros kini juga hanya ku wariskan pada adik perempuanku yang saat ini masih berada di Pondok Pesantren. Entah! Semua ini aku lakukan karena aku memang butuh pekerjaan sebagai kesibukanku.  Tak peduli dengan semuanya! Jangankan Mas Ikhwan, Sebelumnya  guru ngaji pun sudah menyarankan untuk tetap teguh pendirian dalam mengenakkkan hijab ini. Namun, na as! Syarat wanita yang boleh bekerja di ini adalah mereka yang tidak berhijab.  Semenjak itu, tubuhku hanya berbalut rok mini berwarna hitam, kaos kaki yang transparan dan baju-baju yang bisa menggugah syahwat kaum adam. Aku sungguh tidak peduli hal itu. Aku justru dengan ria nya mengenakannya ke sana kemari. Tak peduli beribu pasang mata memperhatikanku dengan ganasnya. Tatapan mata mereka tajam, seperti singa yang hendak menerkam mangsanya.

Baca Juga:  Optimis Berbuah Manis

*****

Siang itu, awan datang berarak. Sengatan panasnya menembus pori-poriku yang sedang mengendarai motor arah pulang. Sampai di rumah, baru saja aku melepaskan sepasang sepatu coklat berpita, tiba-tiba datang seorang laki-laki merekahkan senyuman sambil mengucapkan salam. “Walaikumsalam, ada apa ya, Mas?” jawabku santun. “Hanya mau mengantarkan undangan, Mbak!” katanya. Mataku sedikit berkunang-kunang melihat nama yang tertulis indah di undangan ini. Ya! Namanya Ikhwan! Ikhwan dan Laila. Undangan ini bukan hanya mencabik-cabik perasaanku, tapi juga mengkoyak luka yang belum kering dalam hati. “Kenapa menangis?” suara lembut itu bertanya padaku. “Bu, Mas Ikhwan akan menikah? Dia sudah melupakanku Bu!” ucapku terisak-isak. “Ah..masak? Setega itu kah si Ikhwan denganmu Nak?” tanya Ibu sambil melihat undangan duka ini. “Astaghfirullah, Izzah! Wong yang menikah itu Ikhwan!.” Ibu sedikit kaget. “Ya bener kan Bu? Mas Ikhwan? Mas Ikhwan yang selama ini aku cintai dalam diam.” jelasku. “Heey! Itu Ikhwan yang alamatnya di Punggur, Lampung Tengah. Lihat nih! Alamatnya di Bandar Lampung,Zah! Lagian, kamu sih nggak baca dengan teliti! Ini undangan kan untuk Ayah bukan untukmu!” Aku terperangah gembira mendengar ucapan Ibu. Aku rebut kembali undangan itu dan menelitinya lagi. “Oh My God!! Ku kira ini Mas Ikhwan!.” Aku selalu berdo’a, semoga Mas Ikhwan segera mencari tulang rusuknya yang hilang. Dan aku berharap, tulang rusuk itu adalah aku.

 

Pagi beranjak matang. Segala aktivitas akan dimulai. Kuperhatikan Ibu membawa sekulak butiran gandum ke pasar. Ayah yang sibuk menyiapkan cangkul dan sepedahnya ke ladang, juga aku yang sedang memoles wajahku dengan make up yang terbilang mahal. Keseharianku hanya begini-begini saja. Melayani orang-orang berduit yang menghabiskan uangnya untuk belanja. “Mas, bagaimana kalo calon bayi kita nanti, kita belikan sepatu lucu ini. Warnanya pink,Mas! Aku suka.” ucap salah satu pembeli pagi ini. Aku dengan ramah bertanya, “ Selamat berbelanja,Ibu! Ini ada lagi model yang baru,Bu! Warnanya juga pink lho?” Aku menawarkan sambil berjongkok mencarikannya. “Nah, ini,Bu! Baa…” Aku belum sempat melanjutkan perkataanku. Tanpa kompromi, air mata ini jatuh berderai melihat laki-laki gagah, berkumis tipis, mengenakan kaos putih. Rapi sekali! Sungguh tampan! Dia berdiri di samping wanita yang hendak membeli sepatu untuk calon bayinya. “Mas Ikhwan?? Kok di sini?” sapaku. Mas Ikhwan hanya merekahkan senyumnya. “ Nemenin istri Mas belanja Zah!” ucap Mas Ikhwan dengan santainya. Tangannya yang gagah mengelus perut wanita itu yang memang sedang mengandung. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis menyaksikannya. Buncahan duka dan lara sudah tak tertahan lagi. Benar-benar membuncah! Aku berusaha menahan! Aku berusaha tegar di hadapan mereka! Aku berusaha melayani mereka dengan profesional. “ Eh kenalin, ini istri Mas Zah! Namanya Wilda.” kata Mas Ikhwan. Aku hanya senyum menganggukan kepala. “Maafkan Mas ya Zah! Mas nggak ngabarin kamu kalo Mas udah menikah, karena Mas sekarang pindah di Bandung. Hari ini kebetulan Istri Mas pengen main ke sini!” Mas Ikhwan menjelaskan semuanya. Dia memang tidak pernah peka kalau aku mencintainya selama ini. Dalam hati hanya sabar yang ku harapkan. Istrinya cantik sekali! Aku sedikit cemburu melihatnya. Pakaikannya seperti pakaianku dulu, jilbabnya lebar ditutup dengan gamis kream yang begitu anggun. Rasanya pasangan ini memang pantas untuk Allah pertemukan. Sedangkan aku? Aiih aih…aku hanya sepotong hati yang dulu nyaris menjadi Istri Mas Ikhwan.

Baca Juga:  Senja Milik Laki-Laki Tua

Malam hari tiba, aku berjalan tersaruk-saruk menuju rumah. Hari ini aku bekerja seharian penuh, hingga harus pulang malam. Sambil berjalan, kejadian pagi tadi masih terhujam dalam relung-relung memoriku. Apa jadinya jika lelaki yang aku cintai menikah dengan orang lain? Aku bisa apa,Tuhan???? Dinginnya malam itu melengkapi semburat luka yang bertamu padaku. “Aku cemburu,Tuhan! Aku cemburu melihat mereka! Setega itukah Mas Ikhwan terhadapku? Apa karena aku menanggalkan jilbabku? Apa semuan ini karena pakaian miniku? Ah..memang janji Allah begitu nyata. Seandainya dulu aku tak bekerja disini. Seandainya dulu aku tak menanggalkan jilbabku! Pasti Mas Ikhwan akan memilihku, bukan wanita cantik itu!” protesku berandai-andai sambil mengusap air mata yang terus memaksa keluar. Janji Allah memang tersegalanya. Janji-Nya amat pasti untuk umatnya. Bahwa wanita baik untuk laki-laki yang baik pula, pun sebaliknya. “Ya Rabbana…aku tahu aku bukanlah wanita yang baik! Sungguh, gelar sholihah saja tak pantas melekat pada diriku! Tapi izinkan aku memperbaikinya, Izinkan aku Allah…Beri aku sebilah waktu untuk memperbaiki semuanya!” lenguhku berdo’a. Aku sabar menanti, tetapi Allah berkehendak lain. Ternyata bukan dirimu, dan aku bukanlah tulang rusukmu. Aku belajar dari penantian ini, biarkan senja yang mencoba menjawab semuanya.( Diah Ayu Hidayah/Jurusan Tarbiyah/TBI)

Bagikan ini:
About Author

Redaksi Kronika

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *