Istana Maimoon, Saksi bisu Budaya Melayu di tanah Batak
“Di tengah-tengah padatnya kota Medan, bangunan itu terlihat megah dan indah. Dengan warna kuning yang cerah dan ornamen khas Melayu menambah kemewahan di pandang mata. Dan sudah berusia lebih dari se-abad. Bangunan ini menjadi saksi sejarah kota itu.”
Memasuki pekarangannya yang luas dan melihat bangunan itu dari dekat membuat setiap orang merasakan kota Medan adalah tanah Melayu, bukan tanah Batak seperti yang selama ini menjadi anggapan banyak orang di luar Sumatera Utara. Nuansa Melayu berbalut warna kuning cerah yang khas, diselingi ukiran berwarna hijau, menunjukkan kentalnya budaya muslim yang dianut para Sulthan kala itu.
Istana Maimoon, begitu bangunan itu diberi nama dan disebut. Istana ini adalah salah satu warisan Kesultanan Deli. Berdiri di atas sebidang tanah berukuran 217 x 200 meter dan dikelilingi pagar besi setinggi kira-kira satu meter dan menghadap ke timur. Di sebelah baratnya, mengalir sungai Deli. Sedangkan di sebelah utaranya dibatasi oleh jalan Tanjung Meriam. Dan di depannya adalah jalan Brigjen Katamso, yang merupakan salah satu di antara jalan protokol di kota Medan.
Sebagaimana lazimnya, bangunan istana kerajaan Islam pada zaman dahulu yang selalu dikaitkan dengan masjid, kira-kira 100 meter di depan istana Maimoon terdapat bangunan masjid Al-Mashun, yang konon berfungsi sebagai masjid kerajaan. Dengan luas 2.772 meter, bangunan istana Maimoon itu terbagi atas tiga bagian. Yaitu bangunan induk, sayap kiri dan sayap kanan. Bangunan ini bertingkat dua, ditopang 84 tiang batu dan 43 tiang kayu dengan lengkungan-lengkungan yang berbentuk limas perahu terbalik. Atapnya berbentuk limas dan kubah, sedangkan dari segi bahannya ada atap sirap dan tembaga. Atap limasan terdapat pada bangunan-bangunan induk, sayap kiri dan kanan. Sedangkan atap kubah sebanyak tiga buah terdapat pada penampilan depan.
Dilihat dari sudut arsitekturnya, secara keseluruhan bentuk atap adalah bertingkat dua. Melalui koridor bertangga dari batu pualam kita dapat naik ketingkat dua bangunan induk yang berteras di kiri dan kanannya yang disebut anjungan. Dan melalui gerbang dengan pintu dorong ala Eropa, kita sampai pada sebuah ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu. Di kiri dan kanan ruang tamu, ada sebuah kamar. Kedua kamar ini konon merupakan kamar kerja bagi para pejawat dan para dayang yaitu pembantu-pembantu pria dan wanita Sulthan. Disisi ruangan kiri ruang induk terdapat singgasana Sultan yang berwarna-warni. Bentuknya segi empat lengkap dengan kubahnya dengan lengkungan-lengkungan runcing pada ketiga sisinya. Pada dinding ruangan terdapat hiasan dari cat minyak motif geometris dan floralistis. Pada plafonnya terdapat pula motif hiasan yang sama dan masih natural. Di samping itu, pada dinding ruangan tergantung lukisan dan foto-foto Sulthan Deli terdahulu. Yang menarik ialah pada sudut atas bingkai cermin terdapat hiasan flora.
Di bagian atas, Istana Maimoon mempunyai 12 ruangan. 2 ruangan yang besar dan 10 ruangan yang lebih kecil. Sedangkan sebelah bawahnya ada 10 ruangan, termasuk kamar mandi, dapur, penjara dan gudang. Di sisi kanan depan istana, berdiri sebuah bangunan rumah Batak Karo. Dimana di dalamnya ditempatkan sebuah meriam yang sudah putus. Oleh sebagian masyarakat setempat, benda ini dianggap suci dan keramat serta selalu dihubungkan dengan legenda putri hijau. Dan kira-kira 10 meter di depan Istana, ada semacam panggung yang dahulunya bangunan itu sebagai pondasi dari dua buah patung kuda yang berfungsi sebagai pancuran. Seorang pemandu wisata mengatakan, “Istana ini didirikan menghabiskan biaya FI. 100.000 (mata uang belanda, red) dengan arsiteknya seorang tentara KNIL yang bernama Kapten TH. Van ERP.” Menurutnya, Istana Maimoon didesain meniru berbagai gaya, yaitu gaya tradisional istana-istana Melayu yang memanjang di depan dan bertingkat dua. Ciri khas lainnya yaitu pola India Islam yang diambil dari Eropa. Berdasarkan Prasasti berbahasa Belanda dan Melayu yang terdapat pada sekeping batu marmer di kedua tiang ujung tangga naik, dapat diketahui bahwa peletakan batu pertama pembangunan Istana Maimoon dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sulthan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah yang merupakan sulthan ke-9 di kerajaan Melayu Deli. Dan mulai ditempati pada tanggal 18 Mei 1891.
Kini, warisan Kesultanan Deli itu sudah berumur 120 tahun, dan telah menjadi saksi Kota Medan. Meskipun dari segi kronologi usia bangunan ini tidak begitu tua, namun dilihat dari sudut historinya Istana Maimoon memiliki sejarah kebudayaan yang sangat penting. Hal itu dikatakan karena bangunan ini mengandung nilai-nilai arsitektur yang tinggi. Pada bangunan ini juga sangat terlihat unsur-unsur seni bangunan Indonesia dengan unsur-unsur luar seperti, kesenian India dan Eropa. Sehingga yang bisa saya katakan “kurang sempurna,” jika ke Medan tidak berkunjung ke istana ini. Ditinjau dari sudut arkeologi maupun arsitekturnya, Istana Maimoon termasuk salah satu diantara monumen yang harus dilindungi, dipelihara dan harus dilestarikan agar generasi penerus tidak kehilangan data dalam merekonstruksi masa lampaunya.
Sekilas sejarah kerajaan Melayu Deli
Selain sebagai tempat tinggal para raja, bangunan itupun merupakan saksi sejarah perjalanan silsilah kerajaan Melayu Deli. Pada abad ke 16 berdiri sebuah kerajaan, yang bernama kerajaan ARU yang terletak di daerah sungai Lalang Delitua. Dan pada tahun 1612 kerajaan ARU ini ditaklukan oleh pasukan kerajaan Aceh. Di bawah pimpinan Panglima Hisyamudin yang merupakan seorang turunan dari Zulkarnaeni Bashasid Syekh Batraluddin Hindustan dari negeri Shindi Hindustan. Dan akhirnya ia diangkat oleh Sulthan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh sebagai wakil kerajaan untuk daerah Sumatera Timur yang berkedudukan di sungai Lalang dan diberi gelar Panglima Gocah Pahlawan. Akibat perubahan waktu dan situasi lingkungan. Pada tahun 1632 kerajaan Aceh menetapkan berdirinya kerajaan Deli dan Panglima Gocah Pahlawan diangkat menjadi raja Deli I dengan gelar ”Tuanku Panglima Gocah Pahlawan” dan wafat pada tahun 1669.
Ditahun yang sama, Raja Deli I digantikan oleh Tuanku Panglima Parunggit yang merupakan raja Deli ke II. Pada kepemimpinannya, pusat kerajaan dipindahkan ke daerah padang datar yang saat ini sudah menjadi kota Medan. Pada tahun 1698 beliau wafat dan diberi gelar ”Mahrum Kesawan”. Setelah itu, Tuanku Panglima Padrap menggantikannya sebagai Raja Deli ke III. Raja ini saat memimpin kerajaan Deli memiliki empat putra. Dan memindahkan pusat kerajaan ke daerah Pulo Brayan. Pada tahun 1728 beliau pun wafat dan diteruskan oleh Tuanku Panglima Pasutan dan menjadi Raja Deli ke IV. Pada masanya, pusat kerajaan pun dipindahkan lagi ke Labuhan Deli serta memberi gelar Datuk untuk memperkokoh kedudukan kepala-kepala suku yang merupakan penduduk asli kerajaan Deli. Dan lebih dikenal pada masa itu dengan sebutan Datuk empat suku. Yang mana keempat daerah yang memperoleh gelar adalah; Daerah Sepuluh Dua Kuta yang merupakan daerah hamparan perak dan sekitarnya. Daerah Serbayan yang merupakan daerah sungai dan sekitarnya. Daerah Senembah yang merupakan daerah Patumbak, Tanjung Morawa dan sekitarnya. Yang terakhir, Daerah Sukapiring yang merupakan daerah Kampung Baru dan kota Medan.
Pada Tahun 1761, Panglima Pasutan digantikan oleh Tuanku Panglima Gandar Wahid karena wafat. Raja Deli ke V ini memerintah hingga tahun 1805. Di bawah kepemimpinan beliau, kedudukan Datuk empat suku semakin kokoh sebagai wakil rakyat. Disaat setelah Raja Deli ke V wafat, Putra dari Tuanku Gandar Wahid yaitu Sulthan Amaluddin Mengedar Alam menggantikannya yang menjadi Raja Deli ke VI. Pada masa pemerintahannya, hubungan dan pengaruh kerajaan Siak lebih kuat dari kerajaan Aceh. Hal ini ditandai dengan pemberian gelar Kesulthanan kepada kerajaan Deli.
Di tahun 1850 Sulthan Osman Perkasa Alamsyah menggantikannya. Sulthan yang memerintah dari tahun 1850 sampai tahun 1858 ini mendapat pengesahan dari kerajaan Aceh. Bahwasanya, Kesulthanan Deli merupakan daerah yang berdiri sendiri. Hal itu ditandai dengan diberikannya pedang Bawar dan Cap Sembilan. Itupun bertujuan untuk mengurangi pengaruh kerajaan Siak di kesulthanan negeri Deli.
Memasuki masa Sulthan Mahmud Rasyid Perkasa Alamsyah yang memerintah dari tahun 1858 hingga tahun 1873 ini, mulai menjalin hubungan dengan pemerintahan Belanda. Hal ini ditandai dengan kerja sama pembukaan lahan tembakau di daerah kerajaan Deli. Setelah Sulthan Mahmud wafat, pada tahun 1873 digantikan oleh Sulthan Ma’mun Rasyid Perkasa Alamsyah. Pada masa pemerintahan beliau, perdagangan tembakau sudah semakin maju dan kemakmuran kesulthanan Deli mencapai puncaknya. Di masa beliau, pusat kerajaan dipindahkan ke kota Medan dan mendirikan Istana Maimoon pada tanggal 26 Agustus 1888 dan diresmikan pada tanggal 18 Mei 1891.
Disamping Istana Maimoon, dimasa pemerintahan beliau juga mendirikan beberapa bangunan yang sekarang ini menjadi bangunan bersejarah di kota Medan. Diantaranya yaitu, Masjid Raya Al Mahsun yang didirikan pada tahun 1906 dan diresmikan pada tanggal 10 September 1909. Ditahun yang sama saat didirikannya masjid itu, dibangun pula sebuah kantor kerapatan yang berfungsi sebagai Mahkamah keadilan bagi pemerintahan Sulthan Ma’mun Al Rasyid Alamsyah. Dan sekarang ini bangunan itu merupakan bekas kantor Bupati Tingkat II Deli Serdang. Selain itu, beliau juga membangun fasilitas-fasilitas kepentingan umum lainnya demi kemajuan masyarakat dan juga dua bangunan masjid di daerah-daerah untuk kepentingan Syiar agama Islam pada waktu itu.
Pada tahun 1924, masa pemerintahan pun harus digantikan oleh Sulthan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah karena Sulthan Ma’mun wafat pada tahun itu. Pada masa ini, hubungan dagang dengan luar negeri dan kerajaan-kerajaan lainnya di nusantara terjalin dengan baik. Hal ini ditandai dengan pengambangan pelabuhan laut. Selain itu, dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerinta Kesulthanan Deli mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dan kedudukan Sulthan-sulthan selanjutnya menjadi penguasa tertinggi adat istiadat dan kebudayaan Melayu Deli.
Pada tahun itu juga, Sulthan Amaluddin wafat dan digantikan oleh putranya Sulthan Osman Al Sani Perkasa Alamsyah yang menjadi penguasa adat dari tahun 1945 hingga 1967. Pada tahun 1967 Sultan Azmi Perkasa Alamsyah mengantikan ayahnya. Yang pada masa itu beliau menjadi penguasa tertinggi adat istiadat Melayu Deli sampai tahun 1998. Perjuangan pun dilanjutkan oleh Sulthan Otteman Mahmud Perkasa Alam hingga tahun 2005. Beliau merupakan Sultan Deli ke 13 yang berpangkat kolonel dan meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat angkatan darat CN 235 yang terjadi di lapangan udara Malikul Shaleh, Lhokseumawe, Aceh pada tanggal 21 Juli 2005. Sebagai penggantinya hingga saat ini, Kerajaan Deli di pimpin oleh Sulthan Mahmud Lamantjiji Perkasa. Beliau merupakan Sultahn termuda sepanjang sejarah. Karena beliau dinobatkan sebagai Raja Deli ke 14 pada usia 12 tahun. Dan beliau merupakan Raja turunan Deli sesudah proklamasi 1945 yang tidak pernah diakui oleh Pemerintahan RI dan tidak pula pernah secara hukum dihapuskan.[]
Oleh: Mustahsin