Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro menerapkan program Ma’had Al-Jami’ah atau wajib belajar di Pondok Pesantren bagi mahasiswa penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) tahun ajaran 2022/2023. Hal ini telah berjalan selama kurang lebih satu bulan dan akan berlanjut hingga satu tahun ke depan atau dua semester.
Nuryanto selaku Kepala Ma’had Al-Jami’ah membenarkan hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa IAIN Metro baru bermitra dengan tiga pondok pesantren sehingga hanya mahasiswa penerima beasiswa KIP-K yang diwajibkan mondok.
Kurangnya persiapan yang tergolong belum mencukupi juga menjadi alasan tidak diwajibkannya mondok bagi mahasiswa reguler angkatan 2022/2023.
“Namun, apabila di tahun berikutnya pihak IAIN bermitra lebih banyak dengan pondok pesantren dan persiapannya sudah siap maka seluruh mahasiswa baru KIP-K dan reguler akan diwajibkan untuk mengikuti program ini,” ujarnya saat ditemui Kronika pada Selasa, 18-10-2022.
Lebih lanjut, Nuryanto mengatakan bahwa untuk mahasiswa reguler akan mengikuti program Ma’had di kampus. Program ini, menurut keterangan Nuryanto, bertujuan untuk mendapatkan sertifikat kelulusan Ma’had, yang nantinya akan berguna untuk mengikuti sidang munaqosyah dan ujian komprehensif di semester akhir.
Nuryanto juga mengungkapkan bahwa tiga Pondok Pesantren (PP) yang dimaksud yakni PP Mambaul Huda, PP Hidayatul Qur’an, dan PP Nurusholihin. Adapun biaya yang wajib dikeluarkan oleh masing-masing mahasiswa sebesar Rp700.000 per semester untuk mengikuti program ma’had ini.
Namun, biaya tersebut belum mencakup biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sementara itu, uang sebesar Rp700.000 tersebut dirogoh dari uang beasiswa KIP-K.
Bagi mahasiswa penerima beasiswa KIP-K yang menolak kebijakan tersebut, maka akan mendapatkan konsekuensi. “Ya pokoknya ada konsekuensinya, silakan ditanyakan ke WR (Wakil Rektor., red),” ujarnya.
Hal ini didukung oleh pernyataan Mahrus As’ad, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama. Ia menuturkan bahwa mahasiswa KIP-K harus patuh terhadap peraturan kampus.
“Persoalannya bukan dicabut atau tidak beasiswa KIP-K, jika penerima KIP-K tidak patuh terhadap aturan, ya berarti dia tidak mau nerima beasiswa tersebut. Jadi, bukan kita yang cabut tapi dia sendiri yang nolak,” ujarnya kepada pihak Kronika, Jumat, 28 Oktober 2022.
Di sisi lain, RNH, salah satu penerima beasiswa KIP-K tahun angkatan 2022, merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, sejak awal pendaftaran hingga pengumuman kelulusan beasiswa KIP-K, tidak ada pemberitahuan secara tertulis maupun lisan terkait adanya program wajib tersebut.
R juga sangat menyayangkan atas kebijakan wajib mengikuti pembelajaran di pondok pesantren. Ia merasa aktivitasnya sebagai mahasiswa lebih padat dan biaya yang dikeluarkan lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa reguler.
“Kebutuhkan Mahasiswa itu banyak seperti nge-print, kebutuhan kegiatan, belum lagi registrasinya, dan uang kitab juga termasuk. Maka bisa dilihat kebutuhan kampus kan gabisa dihitung kan, ya,” keluhnya.
Keluhan yang juga datang dari B, yang juga penerima beasiswa KIP-K, merasa berat dengan adanya kebijakan yang memakan biaya lebih banyak dan uang beasiswa KIP-K tidak mencukupi untuk kebutuhan program wajib Ma’had Al-Jami’ah.
“Kalau dari kampus kan disuruh bayar Rp700.000, nah dari pondoknya suruh bayar lagi Rp1.500.000, belum lagi SPP perbulannya Rp500.000,” jelasnya.
Ia berharap, kebijakan ini ditiadakan dan diganti dengan program yang biayanya lebih ringan untuk mahasiswa.
(Reporter/Bela/Elta)
Mengenai kewajiban berma’had bagi mahasiswa penerima KIP kuliah itu belum 100% semuanya menerima kebijakan tersebut dikarenakan mahasiswa merasa terbebani bukan dalam segi waktunya saja tetapi dalam segi tempat yang harus pulang pergi pondok ngampus pondok ngampus, dalam segi fikiran yang tugasnya bertumpuk tumpuk bahkan ketika UTS tiba kami tidak sempat belajar dikarnakan tidak sempat, selanjutnya dalam segi fisik kami masih belum terbiasa untuk kegiatan yang mungkin memberatkan bagi kami terlebih kami masih semester awal.